Chapter: 16

1341 Kata
Udara di kamar mandi masih dipenuhi uap air panas ketika Seraphina menutup keran. Air mengalir dari kulitnya, menghapus sisa sabun, tapi dingin yang bersarang di hatinya tak ikut luntur. Setiap gerakan terasa berat, bukan hanya karena nyeri yang menusuk di bagian tubuh tertentu, tapi juga karena beban pikiran yang terus membelit. Tangannya bergetar saat meraih handuk di gantungan. Ia membungkus tubuhnya rapat-rapat, lalu menatap bayangan dirinya di cermin. Mata sembab yang memerah, wajah pucat, bibir kering, semuanya seolah menelanjangi kelemahan yang mati-matian ingin ia sembunyikan. "Jangan terlihat lemah…" batinnya memaksa, meski ia tahu topeng itu rapuh dan mudah pecah. Suara ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. “Nona Seraphina?” Suara itu milik salah satu asisten rumah tangga, terdengar ragu namun sopan. Seraphina menoleh ke arah pintu. “Ya?” “Dokter Damien menyuruh saya menyiapkan sarapan untuk Nona di kamar. Beliau juga bilang, kalau Nona membutuhkan pakaian bersih, sudah saya letakkan di kursi dekat pintu. Ada air hangat dan perban kecil kalau Nona memerlukannya.” Seraphina terdiam. Ada jeda singkat sebelum ia menjawab, “Terima kasih, taruh saja di sana.” Suara langkah kecil terdengar di luar, diikuti bunyi tarikan nafas si asisten yang seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. “Kalau Nona butuh bantuan, saya ada di dapur,” ucapnya akhirnya, lalu pergi. Seraphina mendekati kursi di dekat pintu. Di sana, terlipat rapi sepasang pakaian sederhana, blus putih longgar dan celana kain lembut bersama handuk kecil, sebotol air mineral, dan nampan berisi bubur hangat. Uapnya naik tipis, aroma kaldu ayamnya menusuk hidung. Ia meraih pakaian itu dengan hati-hati, seolah setiap lipatannya membawa pesan diam dari Damien, pesan yang entah harus ia terima dengan rasa lega atau dengan kecurigaan. "Dia sempat memikirkan ini?" pikirnya ragu. Namun bayangan tatapan dingin Damien semalam kembali menghantam, menenggelamkan kemungkinan itu dalam lautan tanda tanya yang terlalu gelap untuk diselami. ***** Di ruang makan, aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruangan. Lauren sudah duduk di ujung meja, membaca berita di tablet sambil menyeruput kopi hitamnya. Damien turun dari lantai dua dengan kemeja putih yang rapi, lengan tergulung setengah, dan wajah yang tampak lebih dingin dari biasanya. Ia menarik kursi, duduk, lalu mulai menikmati sarapannya dalam diam. Lauren menatapnya sejenak sebelum berkata pelan, “Tadi pagi aku dapat kabar dari kediaman keluarga Vale. Mereka bilang, ada tanda-tanda Celine mulai merespons. Kemungkinan dia akan segera sadar dari komanya.” Sendok di tangan Damien terhenti. Sorot matanya menegang, seolah menimbang kabar itu dengan cepat. “Sejak kapan?” tanyanya datar. “Baru saja. Itu sebabnya mereka memanggilmu. Ayah mertuamu ingin kau berada di sana,” jelas Lauren, nadanya penuh kehati-hatian. Damien menghela napas panjang, lalu mendorong piringnya sedikit menjauh. “Baik. Aku akan berangkat sekarang. Sampaikan pada siapa pun yang mencari, aku akan tinggal di kediaman Vale selama beberapa hari.” Lauren mengangguk, matanya mengikuti Damien yang bangkit dari kursinya. “Hati-hati,” ucapnya singkat. Tanpa banyak bicara lagi, Damien meraih jas yang tersampir di sandaran kursi dengan gerakan tegas. Ia melangkah keluar rumah, meninggalkan aroma kopi yang masih mengepul samar di meja makan. Bau itu tercampur dengan hawa pagi yang dingin, membuat ruangan terasa lebih kosong begitu pintu berderit tertutup. Lauren menghela napas, lalu menyusul di belakang Damien. Tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai granit. Sementara itu, Seraphina yang baru saja selesai merapikan diri, membuka pintu kamarnya. Ia berniat turun untuk bergabung, mungkin sekadar mencuri kesempatan bertatap muka dengan Damien. Namun langkahnya terhenti di pertengahan tangga. Dari sana, ia melihat punggung Damien yang kokoh bergerak menjauh melewati pintu utama, diikuti Lauren yang setia mengekor. Dadanya seketika terasa sesak. Ada sesuatu yang menusuk, dan tak kasat mata. "Apakah Dokter Damien benar-benar menghindariku? Setelah semua yang terjadi semalam, dia pergi begitu saja? Tanpa sepatah kata pun?" Seraphina menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang bergejolak. Rasa getir itu menjalar ke seluruh tubuh, membuatnya ingin berteriak, tapi yang keluar hanyalah desahan pendek yang bahkan tak terdengar oleh siapa pun. "Mungkin hari ini aku harus mencoba pergi ke rumah Ibu. Entah bagaimana caranya, tapi aku harus melihat beliau. Aku tidak bisa terus di sini. Terjebak dalam diam. Terjebak dalam bayangannya." Yang tidak Seraphina ketahui, Damien bukanlah kabur darinya. Mobil hitam yang membawanya melaju cepat meninggalkan halaman, bukan menuju kantor, bukan pula rumah sakit. Tujuannya adalah sebuah alamat yang hanya diketahui segelintir orang, sebuah lokasi yang selalu dirahasiakan, bahkan dari keluarga terdekat. ***** Gerbang besi setinggi tiga meter itu terbuka perlahan, suara gesekannya memantul di udara sore. Mobil Damien melaju masuk melewati jalan batu yang diapit taman rapi, tampak indah, namun dingin seperti pemilik rumah ini. Begitu mobil berhenti di pelataran, seorang pelayan membuka pintu, mempersilakan Damien turun. Tuan Vale sudah berdiri di teras. Wajahnya kaku, tatapan tajamnya seperti mengiris. “Damien,” sapanya datar. Tidak ada senyum, hanya anggukan singkat yang bahkan terasa seperti formalitas semata. Damien membalas dengan anggukan sopan. “Tuan Vale.” “Celine sedang beristirahat,” ujar Tuan Vale tanpa memberi tanda untuk masuk ke kamarnya. “Ikut aku.” Nada perintah itu tak memberi ruang untuk menawar. Damien mengikutinya, langkah sepatu mereka bergema di lorong marmer hingga berhenti di depan sebuah pintu kayu gelap, ruang kerja Tuan Vale. Begitu pintu tertutup, aroma kayu tua dan cerutu memenuhi udara. Marcus sudah ada di dalam, berdiri di dekat rak buku, seakan sudah menunggu. “Damien,” sapanya singkat, bibirnya melengkung tipis namun matanya menyimpan sesuatu yang lebih dingin dari senyumnya. Tuan Vale duduk di kursi kulit besar, jarinya mengetuk-ngetuk meja. “Kita langsung saja. Kau tahu kenapa aku memanggilmu.” Damien tidak menjawab. Ia memilih duduk di kursi seberang, matanya memperhatikan setiap detail gerak dan ekspresi mereka. Marcus maju selangkah, lalu berkata dengan suara rendah. “Kondisi Celine semakin memburuk. Waktu kita tidak banyak. Kita sudah memeriksa semua kemungkinan donor hasilnya sama. Hanya satu yang cocok.” Damien sudah tahu siapa yang dimaksud, tapi ia tetap diam, rahangnya mengeras. Tuan Vale mencondongkan tubuh, tatapannya menusuk. “Seraphina Hartana. Aku tidak peduli bagaimana caranya, Damien. Bawakan dia ke sini. Cepat.” Marcus menimpali, “Prosedurnya akan berjalan lebih lancar kalau dia dibawa tanpa banyak perlawanan. Dan kita tahu kau punya akses ke dia.” Ruangan itu seolah menyusut. Damien masih tidak menjawab, membiarkan kata-kata mereka mengendap di benaknya. Ia tahu setiap detik ia berdiam diri akan membuat mereka mengira ia mempertimbangkan perintah itu, padahal pikirannya berputar mencari celah. Tuan Vale akhirnya berkata lebih tegas, “Kau menantangku, Damien? Anak perempuanku akan mati jika kau terlambat.” Damien menghela napas perlahan, menahan semua amarah dan kegelisahan yang bergolak di dadanya. Ia tahu satu hal, yaitu misi mereka jelas, dan ia tak akan bisa keluar dari ruangan ini tanpa memberi jawaban. Tuan Vale melanjutkan, “Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Waktu kita tidak banyak.” Damien menarik napas pelan, lalu berkata dengan nada terkendali, “Sebelum kita bicara lebih jauh, aku ingin bertemu dulu dengan Celine.” Kerutan muncul di kening Tuan Vale. “Itu tidak perlu untuk saat ini,” jawabnya singkat. Damien tetap diam, namun di balik ketenangannya, ada sesuatu yang mengeras. Ia mendengar Marcus kembali menekan, “Prioritas kita adalah membawa gadis itu secepatnya. Setiap hari yang terbuang memperburuk kondisi Celine.” Damien tak memberi jawaban langsung, ia hanya menundukkan kepala sedikit, seolah menyimpan responsnya untuk nanti, sambil menyusun langkah berikutnya. Tuan Vale berdiri dari kursinya, menatap Damien dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Alex,” panggilnya singkat pada asisten pribadinya. “Antar Damien ke ruang perawatan Celine.” Damien mengangguk sopan, mengikuti langkah asisten itu menuju pintu. Ketika bayangan Damien menghilang di balik koridor, ruangan itu terasa lebih senyap. Marcus yang sejak tadi duduk di ujung meja, memiringkan tubuhnya sedikit ke arah Tuan Vale. “Aku rasa,” ucapnya pelan, “Damien menyembunyikan sesuatu.” Tuan Vale hanya menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis tanpa benar-benar menunjukkan emosi. “Mungkin saja. Karena itu, Lauren harus lebih sering memberi laporan hasil pantauannya tentang Damien kepada kita.” Marcus mengangkat alis. “Kau masih belum percaya padanya?” “Percaya?” Tuan Vale menggeleng perlahan. “Damien memang belum pernah mengkhianati kita, tapi bukan berarti dia pria yang setia."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN