Chapter: 15

1275 Kata
Malam itu, suasana rumah sudah lengang ketika pintu depan terbuka. Damien masuk dengan langkah sedikit goyah, aroma alkohol menempel kuat pada tubuhnya. Matanya redup, tapi gerakannya masih penuh kendali yang membuat siapapun enggan mendekat. Tanpa menuju kamarnya sendiri, ia langsung menaiki tangga menuju kamar Seraphina. Di dalam kamar, Seraphina terlelap, sampai suara ketukan keras disertai benturan membuatnya tersentak bangun. “Seraphina,” suara Damien terdengar serak, berat, dan tertekan. Pintu terkunci. Damien memukulnya lagi, kali ini lebih keras. Seraphina bangkit dan berjalan perlahan. Ia membuka kunci, dan begitu pintu terbuka, sosok Damien sudah berdiri di sana. “Dokter Damien… ada apa?” tanyanya dengan suara bergetar. Damien berdiri di depan Seraphina, tatapannya turun-naik, seakan meneliti setiap reaksi di wajahnya. Nafasnya berat, membawa aroma alkohol yang menusuk. “Kau kelihatan gugup,” ucapnya pelan, sudut bibirnya terangkat tipis. Seraphina menelan ludah, mencoba menjaga suaranya agar tetap tenang. “Aku hanya kaget kau datang larut begini.” Damien melangkah mendekat, begitu dekat hingga Seraphina bisa merasakan panas tubuhnya. Tangannya terulur, menyentuh ujung rambutnya, memelintir helai itu di antara jarinya. “Kau tahu? Aku tidak suka kalau sesuatu mengganggu pikiranku sebelum tidur.” Ia menunduk sedikit, lalu berbisik rendah di telinga Seraphina. “Dan kau, Seraphina… entah kenapa selalu ada di sana.” Seraphina menegakkan punggungnya, berusaha mundur, tapi ranjang di belakangnya membuatnya terjebak. “Dokter, jangan…” Alih-alih menjauh, Damien hanya tersenyum tipis. Jemarinya bergerak dari helai rambut ke rahang, menahan wajahnya agar ia menatap langsung ke matanya. “Kau tahu, ada banyak cara untuk memastikan sesuatu.” Sorot matanya menusuk, membuat Seraphina merasa terjebak di bawah pengawasannya yang seperti perangkap yang tak terlihat. Jemari Damien bergeser perlahan dari rahang Seraphina ke bahunya, menekan ringan namun cukup untuk membuatnya sulit bergerak. “Aku ingin melihat, seberapa jauh kau akan bertahan,” ucapnya dengan nada seperti sedang menantang. Seraphina mengernyit, mencoba melepaskan cengkeramannya. “Damien, aku tidak mengerti maksudmu.” Damien tersenyum tipis, tapi matanya tetap dingin. “Oh, kau mengerti. Kau hanya pura-pura tidak paham.” Tangannya kemudian meluncur ke lengan Seraphina, menggenggamnya erat, lalu menariknya sedikit lebih dekat hingga lutut mereka hampir bersentuhan. Seraphina menahan napas. Degup jantungnya kian cepat, bukan hanya karena jarak yang nyaris hilang, tapi juga tatapan Damien yang seperti mengupas setiap lapisan keberaniannya. “Aku bisa tahu banyak hal dari reaksi kecil,” gumam Damien sambil memperhatikan wajahnya lekat-lekat. “Seperti… kapan kau mulai takut. Atau kapan kau mulai goyah.” Seraphina menggeleng cepat, suaranya tercekat. “Lepaskan aku.” Damien tidak langsung menuruti. Ia hanya memiringkan kepala sedikit, mengamati matanya, lalu menekan jarinya di lengannya, cukup kuat untuk meninggalkan sensasi hangat yang membuatnya gelisah. “Tidak malam ini, Seraphina.” Seraphina merasa dinding-dindingnya semakin menutup, dan satu-satunya jalan keluar ada di tangan pria yang kini berdiri terlalu dekat dengannya. Damien tidak mengendurkan genggamannya sedikit pun. Jemarinya seperti belenggu yang membekukan setiap gerakan Seraphina. Nafasnya berat, bercampur aroma alkohol, memenuhi jarak sempit di antara mereka. Seraphina meronta, tapi setiap gerakannya hanya membuat Damien menguatkan pegangan. “Aku sudah bilang, malam ini kau tidak akan ke mana-mana,” ucapnya rendah, nada suaranya menekan seperti palu. Matanya mengurung wajah Seraphina, membaca setiap kerutan, setiap tarikan napas paniknya. Tubuhnya condong ke depan, memaksa ruang di antara mereka hilang sepenuhnya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Seraphina, tapi itu tak mengubah raut Damien. Dengan gerakan cepat, ia menariknya mendekat, lalu mendorongnya hingga punggung Seraphina menghantam kasur. Damien berdiri di tepi ranjang, pandangannya menyapu tubuh Seraphina yang terbaring. Tangannya bergerak, menarik kain tipis yang membungkus bahunya. Bahan itu melorot, menggesek kulitnya, membuat Seraphina meringis dan memeluk dirinya sendiri. Setiap langkah Damien ke arah ranjang terasa terukur, seakan ia sengaja memberi waktu bagi ketakutan itu untuk mengendap. Lututnya menekan kasur, membuat permukaan tempat tidur bergoyang. Tangannya kembali bergerak, menyingkirkan sisa penghalang di tubuh Seraphina satu per satu, tanpa memberi kesempatan bagi gadis itu untuk menahannya. Seraphina memalingkan wajah, rahangnya mengeras menahan isak. Nafasnya terengah, tapi ia tak lagi berusaha melawan. Semua tenaganya sudah tersedot habis. Damien menunduk, wajahnya mendekati telinga Seraphina. Suaranya terdengar serak, nyaris seperti gumaman. “I’ll make sure of it.” Di luar, suara hujan tipis di jendela menjadi satu-satunya saksi. Sementara di dalam kamar, Seraphina hanya bisa memejamkan mata, pasrah di bawah bayang tubuh Damien. *** Cahaya pagi menyusup dari celah tirai, menyentuh permukaan selimut yang menutupi dua tubuh di bawahnya. Seraphina membuka mata perlahan, kesadarannya kembali bersama rasa nyeri yang menusuk di bagian bawah tubuhnya. Nafasnya tercekat saat ia menyadari selimut itu menyelimuti kulitnya langsung, tanpa sehelai kain pun. "Kenapa aku seperti ini? pikirnya panik. "Tolong, ini cuma mimpi buruk…" Ia menoleh. Di sebelahnya, Damien masih terlelap dengan napas teratur. Wajahnya tampak lebih santai daripada semalam, tapi bayangan peristiwa malam itu segera membanjiri pikiran Seraphina. "Jangan ingat… jangan…" batinnya memohon, namun kenangan itu tetap memaksa masuk, membuat perutnya mengeras. Ia mencoba bangkit, namun gerakannya membuatnya meringis, rasa sakit memaksanya duduk diam. "Sakit sekali… aku bahkan tidak bisa berdiri. Bagaimana kalau dia bangun? Apa yang harus kulakukan?" Gerakannya yang kecil rupanya cukup membuat Damien terusik. Ia mengerjap, memfokuskan pandangan, lalu matanya menyapu sekitar. Sekilas, terlihat keterkejutan singkat ketika ia menyadari berada di kamar Seraphina dengan kondisi yang jelas tidak semestinya. Pandangan Damien lalu beralih ke Seraphina, yang masih duduk di tepi ranjang dengan selimut terbungkus di tubuhnya. Gerakannya kaku, wajahnya menunduk, terlihat kesulitan untuk bangun. Tanpa mengucap apa pun, Damien beranjak dari ranjang. Ia membungkuk, meraih celana yang tergeletak di lantai, lalu berdiri tegak sambil mengibaskannya sebentar sebelum mengenakannya. Seraphina buru-buru memalingkan wajahnya, pipinya memanas. Jemarinya menggenggam erat tepi selimut, seolah itu satu-satunya perlindungan yang ia miliki. Damien sempat meliriknya sekilas, sudut bibirnya terangkat tipis. “Seraphina, semalam… kau sudah melihat semuanya. Jadi, untuk apa malu sekarang?” Seraphina merasakan dadanya mengencang. Ia menggigit bibir, memilih diam, tapi matanya tetap menolak untuk menatap pria itu. Di sudut pandangnya, ia masih bisa melihat bayangan Damien yang tenang, seolah tidak ada yang salah dengan apa yang terjadi. “Aku akan membantumu,” ucapnya singkat, nada suaranya tak memberi ruang untuk bantahan. Sebelum Seraphina sempat merangkai kata penolakan, Damien sudah menunduk, kedua lengannya melingkar kuat di bawah lutut dan punggungnya. Tubuh Seraphina terangkat dari kasur, membuatnya tersentak. Refleks, ia menahan d**a Damien dengan telapak tangan, mencoba menciptakan jarak. “Tidak, aku bisa sendiri,” tolaknya. “Terlalu lambat,” jawab Damien datar, lalu melangkah mantap menuju kamar mandi. Jejak kakinya terdengar di lantai, sementara Seraphina hanya bisa menggigit bibir, pasrah berada dalam gendongannya. Damien mendorong pintu kamar mandi dengan bahunya, lalu membungkuk sedikit untuk menurunkannya perlahan di atas closet. Tatapan matanya sekilas menyapu wajah Seraphina yang menunduk, sebelum ia berbalik ke arah shower. “Aku akan menyalakan air. Kau butuh membersihkan diri,” katanya sambil memutar kran, suara air mulai mengisi ruangan kecil itu. “Aku tidak perlu bantuanmu.” Suara Seraphina terdengar pelan, namun ada nada tegas di dalamnya. Damien berhenti sejenak, menoleh, dan menatapnya. Diam. Hanya mata yang berbicara dan mata yang sulit ditebak antara membaca atau menilai. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia memalingkan wajah kembali, lalu berjalan keluar tanpa sepatah kata pun. Pintu kamar mandi tertutup rapat. Seraphina duduk diam, jantungnya berdebar cepat, mencoba mengatur napas di antara rasa sakit, malu, dan bingung yang bercampur jadi satu. Saat Damien turun ke lantai satu dan berjalan menuju ruang kerja, suara langkah lain terdengar dari arah koridor. Lauren berdiri di sana, alisnya terangkat, tatapannya tajam. “Kenapa kau keluar dari kamar Seraphina?” tanyanya dingin. Damien bahkan tidak memperlambat langkah. “Bukan urusanmu.” Jawaban itu membuat wajah Lauren menegang, matanya menyipit penuh ketidaksenangan. Ia menatap Damien sampai sosok pria itu menghilang di balik pintu ruang kerja, meninggalkannya dengan rasa kesal yang membakar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN