Chapter: 20

1060 Kata
Langkah kaki Seraphina meninggalkan jejak samar di pasir yang mulai mengering. Di tangannya, keranjang berisi ikan dari Pak Dani terasa agak berat. “Ikan segar begini enaknya dimasak apa, Nak?” tanya ibunya sambil tersenyum. “Boleh kita goreng saja, Bu. Lama sekali aku tidak memakan masakan Ibu.” Ibunya terkekeh. “Kalau begitu, malam ini kita goreng sebagian, sisanya Ibu bikin sup. Kau masih suka sup ikan, kan?” Seraphina mengangguk, tapi matanya sesekali melirik ke belakang. Sejak tadi ia merasa ada yang mengikuti. “Kau kenapa sering menoleh?” Ibunya heran. “Tidak, Bu. Cuma… rasanya seperti ada yang melihat dari jauh.” Ibunya berhenti berjalan. “Siapa? Ibu tidak melihat siapa-siapa.” Seraphina menarik napas pendek, mencoba menenangkan diri. “Mungkin cuma perasaanku.” Ibunya melanjutkan langkah, sambil bercerita, “Besok Ibu mau coba tanam cabai di belakang rumah. Kamu bantu, ya.” “Boleh, Bu,” jawab Seraphina pelan, matanya masih menyapu sekeliling. “Tapi… kalau tiba-tiba ada orang asing datang ke rumah, jangan langsung percaya.” Ibunya menoleh cepat. “Apa maksudmu? Kau sembunyikan sesuatu, Nak?” Seraphina terdiam beberapa detik, lalu memaksa tersenyum. “Tidak, Bu. Aku cuma khawatir saja.” Setibanya di rumah, aroma kayu basah menyambut mereka. Ibunya langsung menaruh keranjang ikan di dapur, sementara Seraphina duduk sebentar di kursi kayu ruang tamu. Jendela terbuka, angin laut menyusup, membawa suara serangga malam. Seraphina meraih ponselnya yang sejak tadi mati. Ia menyalakannya, dan dalam sekejap, layar dipenuhi notifikasi: panggilan tak terjawab, pesan singkat, bahkan email. Semua dari Damien. Jantungnya berdegup kencang. Pesan-pesan itu singkat, tapi membuat Seraphina panas dingin. “Kau di mana?” “Jangan coba-coba kabur.” “Kau tahu akibatnya kalau aku kehilanganmu, kan?” Tangan Seraphina gemetar. Ia buru-buru mematikan kembali ponselnya, takut ibunya melihat. Nafasnya tercekat. Ia tahu, waktu kebebasannya tak akan lama. Damien pasti sedang mencarinya. Malam ini, makan malam terasa hangat di meja sederhana mereka. Ibunya menata hidangan sambil tersenyum, seolah dunia begitu damai. Seraphina berusaha menyesuaikan diri, bercanda seadanya, padahal hatinya terus-menerus gelisah. “Bu,” kata Seraphina pelan, “Kalau nanti aku harus kembali bekerja, jangan khawatir ya.” Ibunya mengernyit. “Baru saja pulang, sudah bicara soal kerja lagi? Kau tidak lelah?” Seraphina tersenyum tipis, mencoba menutupi kegelisahan. “Aku hanya takut membuat Ibu repot kalau aku sering bolak-balik. Aku tidak mau Ibu merasa terbebani gara-gara aku.” Ibunya menatap lebih dalam, suaranya melembut. “Nak, Ibu tidak pernah menganggapmu beban. Tapi, sepertinya kau menyembunyikan sesuatu. Ada masalah di tempat kerja?” Seraphina terdiam sejenak, lalu menggeleng cepat. “Tidak, Bu. Semuanya baik-baik saja." Seraphina ingin jujur, tapi bibirnya terkunci. Bagaimana ia bisa menjelaskan siapa Damien? Bagaimana ia bisa menceritakan dunia gelap yang selama ini membelenggunya, tanpa membuat ibunya ketakutan? ****** Seraphina masih duduk gemetar di tepi ranjang ketika suara ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih pelan, tapi tegas. “Ibu…” Suara Seraphina tercekat, “Jangan dibuka.” Namun ibunya sudah terlanjur melangkah ke ruang depan. “Nak, kalau ada tamu malam-malam begini, justru harus kita lihat. Jangan menakutkan diri sendiri.” “Bu, tolong jangan—!” Seraphina berlari menyusul, tapi terlambat. Pintu sudah terbuka. Di ambang pintu, berdiri Damien. Wajahnya datar, hampir tanpa ekspresi. Jas hitam yang ia kenakan tampak asing di antara kesederhanaan rumah desa itu. Ibunya tertegun. “Oh… Anda siapa? Cari siapa malam-malam begini?” Damien hanya menunduk sedikit. Suaranya dalam dan dingin. “Damien.” Ia menoleh sekilas ke arah Seraphina yang pucat, lalu kembali ke ibunya. “Suami Seraphina.” Udara seketika membeku. Ibunya terbelalak. “Suami? Seraphina… ini apa maksudnya? Kau menikah di kota tanpa bilang ke Ibu?” “Bu… bukan begitu—” Damien melangkah masuk. Gerakannya tenang, dan matanya tajam menusuk. “Dia istri saya." Seraphina meraih lengan ibunya. “Bu, jangan percaya… jangan biarkan dia—” Damien tidak menoleh. Pandangannya tetap lurus menatap Seraphina. “Dia harus pulang dengan saya,” ucapnya tegas. Ibunya menatap Seraphina dengan bingung. “Nak, benar? Kau menikah diam-diam?” tanyanya dengan nada menuntut. Ia menggeleng keras, tak mampu menjawab. Ibunya masih tertegun di depan pintu, matanya bergantian menatap Seraphina dan Damien. “Kalau begitu… silakan masuk dulu. Mari kita bicara baik-baik. Ibu ingin mendengar penjelasan semuanya.” Seraphina buru-buru berbisik, “Bu, jangan—” Namun Damien sudah melangkah masuk dengan tenang. Ia duduk di kursi ruang tamu, gerakannya santai, seakan rumah itu memang tempatnya. Ibunya menuang teh, lalu duduk berhadapan. “Tolong jelaskan, Nak Damien. Ibu sama sekali tidak tahu anak Ibu sudah menikah.” Damien menatap singkat ke arah Seraphina sebelum membuka mulut. “Seharusnya saya datang lebih awal, Bu. Saya ingin melamar dengan restu Ibu. Hanya saja… pekerjaan saya terlalu padat. Saya tidak ingin menunda lebih lama, jadi pernikahan kami sederhana saja. Tanpa sempat mengundang.” Ibunya terdiam, menelan kecewa. “Jadi begitu ceritanya. Pantas saja Seraphina jarang pulang.” Seraphina menggeleng cepat. “Bu, bukan begitu. Aku—” Damien kembali memotong. “Saya yang salah. Seharusnya saya tidak biarkan Seraphina menanggung semua. Tapi percayalah, Bu, saya ingin bahagiakan dia.” Ibunya menatap Damien lama, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, Ibu hanya minta satu hal. Jangan sakiti anak Ibu.” Damien mengangguk singkat. “Tidak akan, Bu.” Setelah cukup lama berbincang, Ibu Seraphina mengajak Demien untuk makan malam bersama. Seraphina menurut saja, meski sebenarnya perutnya masih kenyang karena baru saja terisi. Meja makan pun kembali ramai. Ibunya tertawa kecil, sesekali menanyakan hal-hal sepele. Tentang pekerjaan Damien di kota, makanan kesukaannya, atau rencana masa depannya. Damien hanya menjawab singkat, tapi cukup untuk membuat ibunya percaya. Sesekali ia menyelipkan senyum tipis, berpura-pura bersikap hangat. Seraphina pun hanya bisa duduk kaku. Baginya, setiap kata Damien terdengar seperti pisau berbalut madu. Usai makan, ibunya menepuk tangan Seraphina dan Damien bergantian. “Kalian berdua tinggal dulu di sini beberapa hari. Anggap ini rumah sendiri. Ibu senang sekali bisa kumpul.” Seraphina buru-buru menolak. “Bu, tidak perlu. Aku… aku harus kembali ke kota lebih cepat.” Damien menoleh sekilas padanya, lalu kembali ke ibunya. “Kami tinggal di sini, Bu. Beberapa hari.” Seraphina menatap Damien, matanya membelalak, bibirnya bergetar. “Tidak, aku—” Tangan Damien meraih punggung tangan Seraphina di bawah meja. Gerakannya tampak lembut, tapi genggamannya begitu kuat hingga membuatnya tak bisa menarik diri. Dengan suara tenang namun penuh tekanan, ia berkata, “Beberapa hari saja.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN