Seraphina menatap rumah kecil di ujung jalan desa dengan d**a berdebar. Hujan semalam masih meninggalkan sisa basah di atap genteng, dan tanah di halaman beraroma tanah basah yang segar. Ia menuruni bus terakhir dengan langkah cepat, sambil menggenggam tas kecil dengan erat.
Begitu sampai di halaman, matanya langsung menangkap sosok ibunya yang sedang membungkuk, memetik rumput liar.
“Bu…!” Seraphina berlari tanpa bisa menahan diri. Ia melompat, memeluk ibunya erat, menempelkan wajahnya ke bahu yang familiar. Air matanya jatuh begitu saja.
Ibunya terkejut, tangannya berhenti memetik rumput liar.
“Seraphina?! Nak, kenapa kau menangis?” Ia menatap putrinya, raut wajahnya campur aduk antara kaget dan bingung.
“Kau pulang begitu saja? Kenapa tidak bilang pada Ibu?”
Seraphina melepas pelukan sebentar, wajahnya menempel di lengan ibunya, suara tercekat di antara isak.
“Aku… aku hanya rindu, Bu. Aku rindu sekali pada Ibu.”
Ibunya mengelus rambut Seraphina, menariknya lebih dekat.
“Aduh, Nak… Ibu senang kau pulang. Datanglah kapan saja, asal kau bilang ya. Jangan bikin Ibu kaget seperti ini lagi.”
Seraphina tersenyum sambil menghapus air matanya. Ia menahan diri, tidak menceritakan apa pun soal alasan ia pergi diam-diam.
“Iya, Bu… aku hanya ingin bertemu Ibu. Itu saja,” jawabnya.
Ibunya menepuk punggungnya perlahan. “Ayo masuk ke rumah, minum teh hangat. Kau pasti kedinginan setelah perjalanan panjang.”
Seraphina mengangguk. Hatinya lega bisa berada di dekat ibunya, meski ia menyimpan rahasia yang tak bisa diungkapkan. Ia tak ingin ibunya khawatir. Untuk saat ini, yang penting ia bisa berada di sini, merasa aman, dan menikmati momen hangat yang sederhana bersama ibunya.
Setelah beberapa saat duduk di teras, menyesap udara segar pagi di desa, Seraphina merasa tubuhnya perlu bergerak. Ia melihat halaman yang luas dan halaman belakang yang belum dirapikan.
Dengan senyum kecil, ia menepuk tangan ibunya.
“Bu, aku ingin bantu. Mari kita bersihkan halaman.”
Ibunya tersenyum hangat. “Baiklah, Nak. Mari kita kerjakan bersama.”
Siang ini, matahari bersinar hangat, menyinari halaman rumah yang tak terlalu luas. Seraphina keluar dari rumah membawa sarung tangan kain lusuh, mengikuti ibunya yang sudah mulai membersihkan rumput liar di halaman.
“Kau ini, jangan malas-malas ya,” canda ibunya sambil mencabut rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman sayur.
“Aku tidak malas, Bu. Aku hanya ingin bantu Ibu tapi sedikit saja,” jawab Seraphina sambil tersenyum, matanya menatap rumput liar yang harus dicabut satu per satu.
Mereka bekerja bersama, tangan mereka kotor terkena tanah lembab. Sesekali, Seraphina tertawa saat rumput yang ia cabut tersangkut di sarung tangannya.
“Ngomong-ngomong, Nak.” Ibunya memulai sambil menatap Seraphina, “Di kota sana, kau bagaimana? Pekerjaanmu lancar? Sehat-sehat saja kan?”
Seraphina menunduk sebentar, lalu tersenyum kecil.
“Iya, Bu. Semua baik-baik saja. Pekerjaanku lumayan sibuk, tapi aku bisa atur. Jangan khawatir.”
Ibunya mengangguk, menepuk tangan Seraphina lembut.
“Baguslah kalau begitu. Ibu hanya ingin kau hidup sehat, jangan terlalu lelah.”
Setelah halaman bersih, Seraphina membantu menanam beberapa bibit sayuran baru. Ia menggali lubang kecil, menanam bibit, dan menutupnya dengan tanah.
“Bu, aku ingin bibitnya cepat tumbuh, supaya nanti kita bisa masak yang segar-segar,” katanya ceria.
Ibunya tertawa. “Sabar, Nak. Semua butuh waktu. Tapi bagus, kau semangat. Kau tetap seperti dulu, rajin dan perhatian.”
Seraphina menatap ibunya. Ia sengaja menahan cerita soal masalah dan rahasia yang ia bawa, memilih menikmati momen sederhana itu.
Setelah beberapa jam membersihkan halaman dan menanam bibit, ibunya menepuk tangan Seraphina.
“Cukup untuk sekarang, Nak. Sekarang, mari kita ke peternakan ikan. Ibu ingin masak seafood kesukaanmu nanti malam.”
Seraphina tersenyum lebar. “Iya, Bu! Aku sudah lama ingin ke sana lagi.”
Mereka mulai berjalan menyusuri jalan kecil yang menanjak sedikit, kaki mereka menapak di tanah yang hangat, angin laut menyapa wajah mereka. Perjalanan ke peternakan ikan memang agak jauh, tapi Seraphina menikmati setiap langkah. Mereka saling bercakap-cakap ringan, tertawa ketika ibunya menunjuk sesuatu di jalan, atau ketika hewan-hewan kecil di pinggir jalan mengagetkan mereka.
Setibanya di peternakan ikan, Seraphina langsung ikut memeriksa kolam-kolam kecil bersama ibunya. Ia menabur pakan, membersihkan sebagian yang kotor, sambil tertawa ketika beberapa ikan meloncat tinggi, percikan air mengenai tangan mereka.
“Hei, nakal banget, ya, ikan-ikan ini,” keluh ibunya sambil menepuk tangan.
Tiba-tiba, Pak Dani, pedagang ikan yang sudah akrab dengan keluarga mereka, muncul dari gudang.
“Waduh, Seraphina! Masih suka ganggu ikan-ikan ini?” sapa Pak Dani sambil tersenyum lebar.
Seraphina tertawa. “Pak Dani! Aku hanya mau memastikan mereka tidak kelaparan."
Pak Dani mengangguk. “Hati-hati ya, jangan sampai ada yang lompat keluar kolam lagi, basah semua nanti!”
Ibunya ikut tersenyum, lalu menepuk pundak Seraphina.
“Lihat, anak Ibu masih perhatian sama ikan-ikan ini, lebih dari Ibu sendiri.”
Seraphina menoleh sambil tertawa. “Ya, maklum, Bu. Aku kan mau belajar dari Ibu, biar bisa merawat kolam juga.”
Pak Dani ikut tertawa. “Senang melihat kalian berdua. Seraphina, aku senang kau kembali ke sini.”
Seraphina tersenyum hangat. “Aku juga senang, Pak Dani. Rasanya rindu sekali dengan tempat ini.”
Suasana jadi hangat, penuh canda dan tawa. Seraphina dan ibunya bekerja sambil sesekali bercanda, menikmati sinar matahari siang dan gemericik air kolam yang bikin hati terasa ringan.
“Lihat! Ikan-ikan ini terlalu rakus!” Seraphina tertawa, menepuk air sambil mencoba mengusir ikan-ikan itu.
Ibunya ikut tertawa. “Sudah biasa, Nak. Kau juga dulu suka bermain di sini.”
Selesai memberi makan ikan, Ibu Seraphina menggandeng tangannya, mengajak berjalan ke tepi pantai yang tak jauh dari peternakan. Pasir hangat menyentuh kaki mereka, ombak sesekali menjilati ujung sepatu.
Seraphina melempar batu kecil ke laut dan terkikik ketika ombak menyapu kakinya. “Ah, Bu, enak sekali bisa bermain di sini lagi. Aku lupa rasanya bersentuhan langsung dengan laut.”
Ibunya menepuk punggung Seraphina sambil tersenyum. “Ya, terkadang kita memang membutuhkan tempat seperti ini agar pikiran tidak penat. Lihat, anginnya sejuk, ombaknya pun tenang.”
Mereka terus melempar batu, bercanda dan tertawa.
Seraphina menatap laut yang terbentang. Hari ini, ia benar-benar ingin melupakan semua beban, terutama tentang Damien. Angin laut menyapu rambutnya, menghadirkan sensasi bebas di wajahnya. Ia menutup mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik pelan pada dirinya sendiri.
"Hari ini, aku hanya ingin ada di sini. Aku tidak akan kembali ke rumah itu, setidaknya untuk sementara."
Ibunya menepuk punggungnya lembut, membaca tatapan serius di wajah Seraphina. Seraphina tersenyum tipis, menatap ibunya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa aman, dan benar-benar hidup dalam momen sederhana ini.
Tak lama kemudian, mereka berjalan ke peternakan ikan kecil yang ada di belakang rumah. Suara ombak lembut terdengar dari kejauhan, karena rumah mereka memang dekat laut. Seraphina membantu ibunya memberi pakan ikan, menaburkan pelet di permukaan air. Beberapa ikan meloncat, menciptakan percikan kecil.
“Hati-hati!” seru ibunya sambil tertawa.
Seraphina tersenyum lebar, merasakan kebebasan yang tak pernah ia rasakan di rumah Damien. Angin laut menyapu rambutnya, aroma asin laut menyatu dengan tanah basah. Ia menatap ibunya, yang sedang sibuk memberi pakan, dan hatinya terasa hangat.
“Bu… aku senang bisa di sini,” ucapnya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak.
Ibunya menoleh, menepuk bahu Seraphina. “Ibu juga senang kau pulang.”
Seraphina menunduk, lalu tersenyum kecil, menahan diri untuk tidak menceritakan alasan sebenarnya ia kabur. Di sini, di rumah ibunya, ia bisa bernapas lega, setidaknya untuk beberapa saat.
Sementara Seraphina dan ibunya asyik bermain di tepi pantai, seorang pria berdiri di balik semak-semak agak jauh, matanya menatap setiap gerakan mereka. Ia menyembunyikan tubuhnya rapat-rapat, hanya sesekali mencondongkan kepala untuk memastikan mereka tetap terlihat.
Pria itu mengeluarkan ponselnya, menekan beberapa tombol dengan cepat, lalu berbicara pelan melalui sambungan telepon.
“Target terlihat. Seraphina bersama ibunya di tepi pantai. Aktivitas normal, tidak mencurigakan. Lokasi terpantau.”