Damien menggerakkan tangannya, seakan hendak mengeluarkan sesuatu dari saku, tapi urung. Ia baru berpaling setelah beberapa detik yang terasa terlalu lama.
Tatapannya lurus, tenang, tapi ada lapisan dingin yang membuat Seraphina sulit membaca isi pikirannya. “Kita bicarakan nanti,” katanya pelan.
Nada itu bukan penolakan, tapi juga tidak memberi ruang untuk menganggapnya persetujuan.
Seraphina menelan ludah, mencoba tersenyum tipis walau dadanya terasa berat. “Baik,” jawabnya singkat.
Ia kembali membuka bukunya, pura-pura membaca. Namun matanya tidak bergerak mengikuti baris kata. Telinganya tetap menangkap suara langkah Damien yang perlahan menjauh.
Di kepalanya, pikirannya berputar. ‘‘Nanti’ itu artinya apa? Dia akan mengizinkan, atau mencari alasan untuk menahanku?"
***
Seraphina berdiri di ambang pintu ruang tengah, menatap halaman belakang yang tampak dari kaca besar. Taman itu terlihat rapi, hijau, dan sepi, tempat yang mungkin bisa memberinya sedikit ruang bernapas.
Di sisi lorong, seorang asisten rumah tangga lewat sambil membawa baki. Seraphina memberanikan diri memanggil pelan, “Maaf… aku boleh duduk sebentar di taman yang ada di sekitar komplek?”
Wanita itu berhenti, menoleh sekilas. “Saya akan tanyakan pada Nona Lauren dulu,” jawabnya singkat, lalu berjalan ke arah dapur.
Seraphina menunggu di tempat, memandangi jemarinya sendiri. Tidak butuh waktu lama, asisten itu kembali. “Nona Lauren mengizinkan, tapi saya harus menemani.”
“Baik,” ucap Seraphina, berusaha tersenyum.
Mereka berjalan bersama melewati teras. Udara sore langsung menyambutnya, membawa aroma rumput basah dan bunga yang baru disiram. Asisten itu duduk di bangku lain, tidak banyak bicara, sementara Seraphina memilih duduk di bangku batu di bawah pohon kecil.
Ia menghirup napas dalam-dalam.
"Setidaknya di sini tidak ada tembok kaca yang mengurungku."
Seraphina sudah duduk hampir setengah jam di bangku batu. Angin sejuk berhembus pelan, membuat ujung rambutnya bergerak ringan. Ia hanya memandangi rerumputan dan bunga yang berjajar rapi di sisi jalan setapak, mencoba menikmati suasana tanpa merasa diawasi.
Langkah pelan terdengar dari arah belakang. Ia menoleh, dan melihat seorang pria dengan jas Dokter berjalan mendekat, membawa cangkir beruap di tangan.
“Teh hangat,” ucapnya sambil mengulurkan cangkir. “Sore di sini bisa cukup dingin.”
Seraphina menerimanya hati-hati. “Terima kasih… Dokter…?”
“Marcus,” jawabnya singkat, bibirnya membentuk senyum tipis. “Kita sudah pernah berbicara secara langsung, jangan terlalu kaku padaku.”
“Oh… iya. Maaf…” jawab Seraphina, sedikit canggung.
Marcus duduk di bangku sebelah, menjaga jarak sopan.
“Tidak apa-apa. Aku dengar kondisimu sudah jauh lebih baik.”
Seraphina mengangguk, meniup permukaan teh sebelum menyesapnya pelan. Hangatnya langsung mengalir di tenggorokan.
“Ya, sudah lumayan.”
Marcus menatap taman sebentar, lalu kembali ke Seraphina.
“Kalau boleh jujur, jarang sekali ada pasien yang bisa tinggal di rumah Damien. Kau pasti orang yang istimewa.”
Kata itu membuat Seraphina terdiam sejenak. “Istimewa?” Ia mengulang pelan, mencoba menangkap maksud di balik ucapan itu.
Marcus hanya tersenyum samar, lalu mengangkat bahu.
“Anggap saja begitu.”
Ia lebih mendekatkan tubuhnya ke Seraphina yang ada di sebelahnya.
“Bagaimana harimu?” tanyanya, nada suaranya ringan.
“Seperti biasa,” jawab Seraphina sambil menyeruput tehnya. Hangatnya cukup menenangkan, tapi rasa ingin tahunya belum reda.
Marcus mengalihkan pandangan ke arah pohon yang menaungi mereka. Matanya kosong, seolah sedang memikirkan hal lain.
“Kau perlu hati-hati. Jangan terlalu percaya semua orang di rumah ini.”
Seraphina langsung menoleh, alisnya mengerut. “Apa maksudmu?”
Marcus tidak segera menjawab. Ia masih menatap dedaunan yang bergerak pelan diterpa angin.
“Semua tidak seindah kelihatannya,” ucapnya lirih, seolah sedang berbicara kepada dirinya sendiri.
Sebelum Seraphina sempat bertanya lagi, Marcus sudah bangkit.
“Aku ada pekerjaan. Selamat bersantai, Cantik.”
Ia melangkah pergi dengan tenang, meninggalkan Seraphina sendirian di bangku batu. Matanya mengikuti punggung Marcus sampai menghilang di balik pagar taman.
Cangkir teh masih hangat di tangannya, tapi pikirannya penuh tanda tanya.
"Apa yang sebenarnya dimaksud Marcus? Dan kenapa dia memilih mengatakannya padaku?’
Seraphina baru saja hendak menyesap teh lagi ketika asisten rumah tangga yang duduk tak jauh darinya menerima telepon. Perempuan itu berdiri sedikit menjauh, berbicara singkat, lalu mematikan sambungan.
“Nona, kita harus masuk. Nona Lauren bilang jangan terlalu lama di luar,” ucapnya sambil mendekat.
Seraphina mengangguk pelan. “Baik.” Ia bangkit, membawa cangkirnya untuk dikembalikan nanti, lalu berjalan bersama asisten itu menuju pintu belakang rumah.
Begitu mereka masuk, udara hangat dari dalam rumah langsung menyelimuti.
“Saya pamit ke dapur dulu, Nona. Mau membantu menyiapkan makan malam,” kata asisten itu sebelum menghilang ke lorong samping.
Seraphina menatap punggungnya sebentar, lalu melangkah ke arah tangga. Ia baru menginjak anak tangga pertama ketika pintu ruang kerja Damien terbuka.
Lauren keluar lebih dulu. Dress merah ketatnya menempel di tubuh, dengan belahan d**a rendah yang langsung mencuri perhatian. Rambutnya tergerai rapi, bibirnya dilapisi lipstik warna senada. Gerakannya anggun, seolah ia terbiasa menjadi pusat pandang.
Beberapa detik kemudian, Damien menyusul. Jas hitam yang ia kenakan membuatnya tampak semakin berwibawa. Wajahnya tenang, langkahnya mantap, seakan ia siap menghadapi acara formal.
Lauren menyadari keberadaan Seraphina di tangga.
“Oh, Sera…” sapanya dengan nada ramah tapi entah kenapa terdengar sedikit dibuat-buat.
“Baru dari taman, ya? Semoga udaranya segar.”
Seraphina hanya mengangguk tipis. “Iya, lumayan.”
Damien tidak menoleh ke arahnya. Ia melewati Lauren menuju pintu depan.
“Aku tunggu di mobil,” katanya singkat pada Lauren. Suaranya datar, tanpa nada emosional, lalu ia keluar rumah.
Lauren tersenyum tipis sambil menatap punggung Damien, kemudian berbalik lagi pada Seraphina.
“Selamat beristirahat,” ucapnya singkat sebelum mengikuti Damien keluar.
Dari tempatnya berdiri, Seraphina melihat mereka berjalan beriringan ke arah mobil yang terparkir di halaman. Ada kesan selaras di setiap langkah mereka, dan itu cukup untuk menimbulkan rasa ganjal di dadanya. Ia tidak tahu apakah itu cemburu, curiga, atau hanya perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan.
***
Damien sudah duduk di kursi belakang limosin, posisi tubuhnya sedikit bersandar namun matanya tetap fokus pada layar ponsel. Jemarinya bergerak mantap, menggulir pesan-pesan yang masuk, beberapa dari kolega bisnis, beberapa dari staf rumah sakit.
Suara pintu di sisi lain terbuka. Lauren masuk dengan langkah tenang dan langsung duduk di sampingnya. Aroma parfum floral tipis langsung mengisi kabin, menyatu dengan pendingin udara yang membuat suasana di dalam mobil terasa tenang.
“Seraphina tadi bertemu dengan Marcus,” ucap Lauren pelan, seperti menyampaikan laporan yang sifatnya rahasia.
“Asisten rumah tangga yang melihat, lalu memberi tahu aku.”
Gerakan jari Damien di layar ponselnya mendadak terhenti. Ia tidak langsung menoleh, hanya menatap layar sejenak, seakan sedang memproses kalimat itu. Keheningan singkat mengisi ruang sempit di antara mereka, hanya terdengar dengungan mesin mobil yang sudah mulai melaju.
Setelah beberapa detik, ia kembali menggulir layar ponsel.
“Pastikan dia tetap diawasi,” katanya dengan nada datar tapi tegas. “Aku tidak mau dia banyak berinteraksi dengan orang luar.”
Lauren menatap profil wajah Damien yang diterangi cahaya layar ponsel.
“Baik,” jawabnya singkat, tanpa mencoba mempertanyakan alasannya.
Damien menyimpan ponselnya ke saku jas, lalu menoleh perlahan pada Lauren. Pandangannya turun sebentar, lalu kembali ke wajahnya.
“Bukankah kau terlalu seksi malam ini?” Suaranya rendah, seperti komentar biasa, tapi mengandung nada penilaian yang membuat Lauren sadar Damien sedang memperhatikannya sejak tadi.
Rona merah segera muncul di pipi Lauren. Ia berusaha menyamarkannya dengan senyum kecil.
“Kita akan makan malam dengan beberapa pejabat rumah sakit. Aku tidak ingin membuat malu seorang Damien.”
Damien mengangguk tipis, matanya tak lepas darinya. Ia mencondongkan tubuh, jarak di antara mereka berkurang.
“Mendekatlah.”
Lauren menurut, tubuhnya bergeser hingga aroma parfum dan hangat napas Damien terasa lebih jelas. Lengan Damien melingkari pinggangnya, telapak tangannya menempel erat di sisi tubuh Lauren.
“Selagi di perjalanan,” ujarnya pelan, “Aku rasa aku ingin menguji sesuatu yang dari tadi mencuri perhatianku.”