Seraphina membeku.
Ruangan itu tampak gelap dari sudut tempatnya berdiri. Saat ia hampir memutuskan untuk kembali ke dapur, tiba-tiba sebuah suara terdengar. Suara rendah, bergelombang dengan napas berat. Seperti lenguhan perempuan.
Matanya membelalak.
Tanpa sadar, tangannya mendorong pintu itu lebih lebar.
Dan di sana, dalam remang cahaya yang cukup untuk memperlihatkan dosa, Seraphina melihatnya.
Lauren duduk di atas pangkuan Damien, tubuhnya telanjang. Rambutnya tergerai, bibirnya terbuka menahan napas dan hasrat. Dan matanya, mata itu menatap langsung ke arah Seraphina. Tidak terkejut ataupun malu. Justru tampak seperti disengaja.
Dengan gerakan penuh gairah dan kesombongan, Lauren menggeliat lebih dalam ke pangkuan Damien yang terlihat pasrah dan mabuk.
“Te…rlalu dalam, T-tuan Damien—” Erangan bersahut-sahutan di dalam ruangan itu, menciptakan sensasi panas.
Seraphina ingin berteriak, ingin membanting pintu atau mungkin bertanya kenapa semua ini harus terjadi di depan matanya. Tetapi ia justru memutar tubuhnya dan pergi.
Ia bergegas ke dapur, mengambil gelas dan menyalakan keran air. Tangannya gemetar saat mengisi gelas. Ia meneguk air itu seperti orang yang kehausan di tengah gurun. Tapi yang terasa justru nyeri, bukan di kerongkongan, melainkan di dadanya.
Pahit. Hangus. Hancur.
Naik kembali ke kamar, ia mengunci pintu, lalu terduduk di tepi ranjang. Kedua tangannya menekan d**a, seperti mencoba menghentikan denyut jantung yang seolah menolak tenang. Ia tidak tahu apa nama rasa ini. Bukan cemburu. Bukan benci. Tapi ada sesuatu yang menusuk, dalam, tak kasatmata.
Damien bukan siapa-siapanya. Tapi mengapa rasanya seperti dikhianati?
***
Gerakan Lauren semakin cepat dan semakin dalam, membuat Damien mengerang rendah dari tenggorokannya. Kepalanya menengadah, sementara matanya tertuju pada payud*ra sintal itu, mengguncang tanpa kendali setiap kali tubuh Lauren menekan turun.
Pantulannya di atas tubuhnya membuat darah Damien menggelegak. Putingnya yang keras tampak basah karena keringat dan sisa ciuman Damien sebelumnya. Pemandangan itu seperti cambuk bagi hasratnya yang selama ini terbungkam.
"Shit..." Damien mencengkeram pinggul Lauren dengan kasar, membenamkannya lebih dalam lagi. Tubuhnya menegang, otot-ototnya melengkung seperti busur yang siap melepaskan panah terakhir.
"Aku hampir—" desah Damien, suaranya serak penuh amarah dan gairah.
Gerakan Lauren kian menggila, naik turun di atas tubuh Damien dengan irama panas dan menggoda.
Pemandangan itu memantik bara di tubuh Damien, membuatnya merasa seperti hendak meledak dari dalam.
“Astaga…” gumamnya pelan, napasnya berat dan terputus-putus.
Tangannya tak tinggal diam. Ia meremas d**a Lauren, jari-jarinya menemukan titik paling peka, lalu memelintirnya dengan keras dan tanpa ampun.
Lauren mendesah nyaring, tubuhnya bergetar saat sensasi tajam itu mengalir ke seluruh tubuhnya, membuat punggungnya melengkung dan dadanya semakin membusung, seolah menantang Damien untuk lebih.
“Damien…” Napasnya tercekat saat Damien menekannya lebih dalam lagi.
Ia bisa merasakan Damien semakin menegang di dalam dirinya. Keras, panas, dan nyaris tak tertahankan. Lauren tahu pria itu berada di ujung batas. Tapi alih-alih melambat, ia justru menggencarkan irama. Ia ingin semuanya. Ia ingin Damien menyerah di bawah kendalinya.
Dan akhirnya…
Tubuh Damien menegang, suara erangan rendahnya memenuhi ruang gelap itu. Lauren bisa merasakan ledakan itu, kuat dan dalam, seolah Damien melepaskan seluruh amarah, gairah, dan kebingungan dalam satu tarikan napas terakhir.
Tubuh mereka sama-sama gemetar. Lauren terduduk lemas di atasnya, senyumnya merekah kecil, penuh kemenangan. Dalam diam, ia menatap Damien yang tertidur pulas di bawahnya.
Perlahan, ia bangkit, meraih ponsel dari tasnya di lantai. Satu klik. Satu foto. Satu bukti.
Senyum dingin menyungging di bibirnya.
Damien tertidur setelah ronde ketiga, tubuhnya terkulai di sofa. Nafasnya berat, peluh memenuhi kulitnya.
Lauren menatap tubuh Damien yang terlelap di bawah sorotan lampu temaram. Kepuasan tampak di wajahnya, bukan hanya karena hasrat yang terpenuhi, tapi karena rencananya berhasil.
Ia bangkit perlahan, mengambil selimut dan menutupi sebagian tubuh Damien.
Lauren lalu melangkah ke kamar mandi kecil di dalam ruangan, membersihkan dirinya. Sisa-sisa malam itu mengalir bersama air.
Ia menatap bayangannya sendiri di cermin.
“Permainan baru saja dimulai.”
*****
Seraphina mulai sadar, hidupnya di rumah ini berjalan seperti mengikuti buku aturan yang tidak pernah ia lihat. Bangun jam tertentu, sarapan di meja yang sama, pemeriksaan kesehatan rutin, bahkan kapan ia boleh turun ke taman selalu diberitahu lebih dulu. Ia tak pernah membantah, bukan karena setuju, tapi karena tak tahu apa yang akan terjadi kalau ia menolak.
"Kalau aku bilang tidak mau? Apa mereka akan memaksa? Atau malah membuatku tidak bisa keluar sama sekali?"
Bukan berarti Damien memperlakukannya buruk. Semua kebutuhan tersedia, makanan, pakaian, bahkan ruang kerja kecil untuk menggambar. Tapi ada rasa mengganjal, seperti napasnya dibatasi garis tak kasatmata.
"Rasanya seperti tinggal di rumah kaca. Semua tampak indah, tapi aku tahu aku tidak bebas ke mana-mana."
Padahal selama ini, ia terbiasa menentukan langkahnya sendiri.
Siang ini, ia duduk di sofa ruang tengah, buku tipis terbuka di pangkuannya. Matanya memang menatap halaman, tapi pikirannya melayang.
"Entah kenapa, membaca pun rasanya tidak membantu. Bahkan huruf-huruf di buku ini terasa seperti barisan pagar yang membatasi pikiranku."
Dari ujung pandangannya, ia menangkap sosok Damien berdiri di ambang pintu. Pria itu bersandar ringan di kusen, kedua tangan terlipat di d**a. Pandangannya mengarah ke Seraphina, tapi sulit ditebak apa yang ia pikirkan.
"Kenapa dia hanya berdiri di situ? Apa dia sedang mengawasi? Atau sekadar memastikan aku tidak melanggar aturan?"
“Ada yang bisa kubantu?” tanya Seraphina akhirnya, menutup buku dengan satu tangan.
Damien menggeleng pelan. “Tidak. Hanya memastikan kondisimu stabil.”
Jawaban itu sudah sering ia dengar. Tidak salah, tapi selalu terasa seperti tembok.
Seraphina mencoba mencari celah. “Aku baik-baik saja. Mungkin terlalu baik, sampai mulai bosan.”
Damien tidak langsung menanggapi. Ia melangkah pelan ke arah jendela, dan berdiri memunggunginya. Kedua tangannya masuk ke saku celana, bahunya tetap tegap, posturnya kaku.
“Membosankan berarti kau sehat,” ujarnya singkat.
Seraphina menatap punggung itu, lalu menelan ludah sebelum memberanikan diri bicara lagi.
“Besok pagi aku ingin ke desa untuk menemui Ibu," ujarnya. “Mungkin aku akan menginap satu atau dua hari, supaya beliau tidak khawatir.”
Damien tidak langsung menoleh. Diamnya membuat ruangan terasa lebih besar dari seharusnya. Dari pantulan kaca jendela, Seraphina bisa melihat matanya sedikit menyipit, seolah sedang menimbang sesuatu.
“Aku akan pulang setelah itu,” tambahnya cepat, mencoba meyakinkan, walau dirinya sendiri tidak yakin Damien akan percaya begitu saja.
Tak ada jawaban. Hanya suara detik jam di dinding dan embusan pendingin ruangan. Seraphina menggigit bibirnya, menunggu jawaban dari Damien.