Langkah kaki Damien terdengar tenang saat menuruni anak tangga menuju ruang kerja pribadinya. Di ruangan yang dingin dan steril itu, lampu baca kecil menyala redup, hanya menerangi sebagian meja kayu gelap yang kini dipenuhi tumpukan map tua dan berkas arsip.
Ia mencari dengan telaten. Matanya tajam, menyapu deretan nama-nama dalam dokumen yang sudah menguning. Tangannya berhenti ketika satu nama muncul di lembar catatan operasi tak resmi.
“Rizal Hartana.”
Damien menarik napas pelan. Jadi benar.
Nama yang Seraphina sebutkan waktu itu adalah nama terakhir yang tercantum dalam operasinya.
Ayah Seraphina.
Damien bersandar sejenak di kursinya. Kenangan malam itu kembali menyergap seperti hantu yang menolak lenyap. Ia masih ingat bagaimana Ezra, dengan tubuh terluka dan napas tersengal, menyerahkan sesuatu ke tangannya tepat sebelum nyawanya benar-benar lepas.
Sebuah kalung tipis berliontin huruf S.
"Wanita dalam hidupku... dia harus tetap hidup," kata Rizal waktu itu, suaranya nyaris tak terdengar, "Tolong... jaga dia."
Damien, yang kala itu masih seorang eksekutor dingin di bawah kendali jaringan perdagangan organ, tidak menjawab. Ia hanya meraih kalung itu dan memasukkannya ke dalam saku, mengabaikan pesan terakhir seorang Ayah yang sekarat.
Dan sekarang, kalung itu kembali ada di genggamannya. Ia mengeluarkannya dari laci tersembunyi meja, memandangi liontin kecil itu dengan sorot mata yang sulit dibaca.
Semua terasa seperti benang kusut yang perlahan mulai terurai. Seraphina. Rizal. Dan dirinya.
Namun, ketenangan itu buyar saat suara ketukan pintu terdengar.
Tok. Tok. Tok.
Lauren membuka pintu perlahan, langkahnya mantap tapi cepat. Di tangannya, sebuah nampan perak kecil berisi dua jenis obat, selembar kertas resep, dan segelas air putih yang masih berembun.
Matanya langsung tertuju pada Damien yang duduk di balik meja kerja, dikelilingi tumpukan berkas tua yang berantakan.
“Obat GERD?” Lauren bertanya, nada suaranya naik setengah oktaf. Alisnya menyatu, raut wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang belum terucap. “Kau sakit?”
Damien tidak menoleh. Ia tetap menatap sebuah map cokelat tua di tangannya, sidik jarinya meluncur pelan di atas tulisan ‘Rizal Hartana’.
“Bukan untukku,” jawabnya datar. “ Tapi untuk Seraphina.”
Seketika wajah Lauren berubah. Mata tajamnya sedikit melebar, jemarinya mencengkeram nampan sedikit lebih erat.
“Dia tidak boleh sakit…” bisiknya lirih. Ada nada panik yang terselip di antara kekhawatirannya, meskipun ia berusaha menyembunyikannya di balik sikap profesionalnya.
Damien akhirnya menutup map yang ia pegang, meletakkannya di antara tumpukan dokumen lain di meja. Tatapannya tajam, seolah sedang menghitung detik dan risiko di waktu yang sama.
“Bawa ini ke atas,” perintahnya pelan namun tegas. “Pastikan dia minum semuanya.”
Lauren mengangguk cepat, namun sebelum berbalik, ia melirik meja Damien dengan penuh tanya. Tumpukan berkas tua, beberapa bahkan berdebu dan terlihat belum pernah disentuh selama bertahun-tahun, membuatnya curiga.
“Kenapa kau membuka semua dokumen lama ini?” tanyanya pelan. “Kau mencari sesuatu?”
Damien mengangkat wajahnya sekilas, menatap Lauren sejenak.
“Itu bukan urusanmu,” ucapnya singkat.
Ada jeda. Hening yang menggantung sejenak di antara mereka, lalu Lauren membungkuk sedikit, lalu melangkah keluar ruangan.
Ia keluar dari ruangan kerja Damien, menutup pintu dengan pelan. Suara hak sepatunya nyaris tak terdengar di sepanjang koridor. Dalam genggamannya, nampan kecil berisi obat dan segelas air bergoyang lembut, seirama dengan detak pikirannya yang tidak tenang.
Naik ke lantai dua, Lauren tidak memperlambat langkah. Setibanya di depan kamar Seraphina, ia langsung membuka pintu tanpa mengetuk, seperti biasa, seolah ia memang memiliki tempat khusus di rumah ini yang membuatnya tak perlu meminta izin untuk masuk.
“Aku bawa obatmu,” ucapnya sambil melangkah masuk. Suaranya lembut tapi mengandung kendali, seperti seorang perawat senior yang terbiasa menghadapi pasien rewel sekalipun.
Seraphina yang sedang duduk bersandar di ranjang sontak sedikit terlonjak, matanya refleks menatap pintu yang terbuka. Namun begitu melihat Lauren, ia kembali bersandar, mengangguk lemah.
Lauren duduk di tepi ranjang dengan gerakan efisien. Ia meletakkan nampan di meja kecil, mengambil satu tablet dari bungkusnya, lalu meraih gelas air. Semuanya dilakukan tanpa suara, seperti telah dilatih berulang kali.
Ia menyodorkannya ke tangan Seraphina. “Minumlah.”
Seraphina menerima obat itu perlahan, lalu menatap Lauren. Senyum tipis mengembang di wajah pucatnya. “Terima kasih, Lauren.”
Lauren tidak langsung menjawab. Ia mengusap lembut punggung tangan Seraphina dengan jempolnya, seperti seorang kakak menyemangati adik kecilnya sebelum ujian besar. Tatapannya tertuju pada wajah gadis itu, tapi pikirannya entah ke mana.
“Kau tidak boleh sakit, Sera,” ujarnya lirih. “Dunia ini… tidak akan memberimu banyak ruang untuk rapuh.”
Ada ketegasan tersembunyi di balik kalimat itu, semacam peringatan halus yang dibungkus perhatian. Tapi Seraphina hanya menangkap sisi hangatnya. Ia tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. Ia mengira, Lauren hanya sedang menjadi sosok baik di tengah rumah yang penuh misteri.
“Aku akan segera membaik,” katanya.
Lauren mengangguk, bangkit berdiri dengan elegan. “Istirahatlah.”
Ia berjalan keluar tanpa menoleh lagi. Tapi begitu pintu tertutup dan langkahnya menjauh dari kamar Seraphina, ekspresinya berubah. Senyum samar itu menghilang, digantikan wajah datar yang jauh lebih dingin. Tangannya meraih ponsel dari saku bajunya.
Di lorong yang sunyi, ia berhenti dan mengetikkan kode keamanan di layar. Lalu menekan nomor yang sudah tersimpan.
“Dia mulai membongkar dokumen lama,” bisiknya pelan, saat sambungan terhubung. “Aku belum tahu apa yang dia cari, tapi itu bukan kebetulan.”
Suara di seberang menjawab tenang, namun berisi tekanan.
“Terus awasi dia. Jangan lengah satu detik pun.”
Lauren menutup telepon, lalu menggenggamnya erat.
***
Malam ini, udara terasa lebih dingin dari biasanya.
Setelah beristirahat sepanjang hari dan suhu tubuhnya perlahan normal kembali, Seraphina bangkit dari tempat tidur. Kerongkongannya terasa kering, dan tubuhnya sudah cukup kuat untuk sekadar berjalan ke dapur.
Ia melangkah menuruni anak tangga. Rumah ini begitu sepi, hanya suara detak jam dinding dan derak lantai kayu yang menemaninya. Tapi saat ia hampir mencapai dapur, matanya menangkap sesuatu yang membuatnya terhenti.
Pintu ruang kerja Damien sedikit terbuka.
Cahaya lampu redup dari dalamnya tampak menyelinap ke lorong. Seraphina tahu betul itu ruang yang seharusnya tak pernah ia dekati, tapi rasa penasaran menelusup halus ke dalam pikirannya. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, entah karena firasat atau hanya karena ia terlalu lama terkurung dalam ketidaktahuan.
“Ughh—” Lenguhan itu lolos dari bibir seorang wanita cantik.
Ia melangkah perlahan dan mendekat.
“Apa itu suara perempuan?”
“Tidak, aku pasti salah dengar.”
“Tapi aku hafal suara itu. Aku selalu mendengarnya setiap hari. Itu suara Lauren.”
“Mustahil. Tidak mungkin. Damien... dan Lauren?”