Tara tahu orang tua Argantara tidak menyukai dirinya. Namun, dia sama sekali tidak peduli. Saat mereka mempertanyakan siapa orang tuanya, ada ego yang melonjak ingin dikeluarkan. Maka dengan mengangkat dagu, dia menyebutkan nama kedua orang tuanya.
Bagi mereka yang sering mendatangi acara-acara amal, bisa dipastikan mengenal kedua orang tuanya. Setahu Tara, orang tuanya tidak pernah absen mendatangi undangan acara jika itu untuk amal. Semisal memang mereka sedang tidak bisa datang seperti yang terjadi malam ini, mereka akan meminta anak-anaknya datang mewakili.
Ayolah … orang tuanya cukup terkenal di kalangan pengusaha. Rasanya tidak mungkin orang tua Argantara tidak tahu mereka. Meski mungkin tidak mengenal dekat, setidaknya mereka pernah mendengar nama mereka.
Dan Tara tebak iya, mereka mengetahui nama kedua orang tuanya, terlihat dari ekspresi wajah mereka setelah ia menyebut nama keduanya. Oh, rasanya Tara ingin tertawa.
Ayolah, bukan mereka saja yang kaya. Orang tuanya juga kaya. Boleh kan, dia sedikit sombong di depan orang yang terlihat arogan. Menjabat tangannya saja tidak mau. Apa tangannya banyak kuman? kesal Tara dalam hati.
Lalu, sekarang dia juga mulai bisa memahami situasi yang ada. Jika dirinya menggunakan Argantara agar tidak terlihat mengenaskan di depan mantan tukang kibulnya itu, Argantara sepertinya juga menggunakan dirinya untuk membatalkan rencana pernikahan dengan perempuan yang tidak pria itu cintai.
Oh … oke. Ada simbiosis mutualisme di antara dirinya dan Argantara. Maka Tara tidak keberatan untuk membantu Argantara, dengan pikiran jika setelah ini mereka akan kembali menjadi orang asing.
“Kamu tidak bisa seenak hatimu, Arga. Semua sudah diatur. Kamu harus menikah dengan Ayu.”
“Syarat dari papa hanya perempuan dari keluarga yang selevel dengan keluarga Mahendra. Dan aku sudah mendapatkannya. Aku hanya akan menikah dengan Tara, bukan dengan Ayu.”
“Arga!”
“Berhenti, Sin. Orang-orang memperhatikan kita.” Bayu menghentikan sang istri yang sudah semakin emosi. Pria itu kemudian mengalihkan tatapan pada sang putra. “Datang ke rumah besok pagi. Kita harus bicara.”
“Maaf, Pa. Aku sudah ada acara dengan calon istriku,” kata Argantara menolak sang papa.
Tara tersentak merasakan tangan Argantara yang tiba-tiba meraih pinggangnya lalu menarik hingga tak lagi ada sisa jarak diantara mereka. Tarikan napas pelan Tara lakukan. Sepertinya hobi Argantara adalah menarik pinggang, batinnya sambil melirik pria di sampingnya.
Bayu menatap marah sang putra. D*da pria itu mulai bergerak cepat dan kentara seiring emosi yang meningkat. Sulit sekali mengendalikan putranya. Ada sedikit rasa sesal memutuskan untuk tidak memiliki anak lagi, hanya karena dia tidak ingin memberikan kekayaannya pada darah daging wanita lain.
“Ikut denganku sekarang.”
“Aku tidak bisa.” Lagi, Argantara dengan cepat menoleh, membuat tatapan Bayu Mahendra semakin menajam.
“Sayang, pergilah. Mungkin ada hal penting yang mau papa bicarakan denganmu.” Tara membujuk Argantara. Wanita itu tersenyum penuh arti.
Bola mata Bayu Mahendra langsung bergerak ke arah perempuan asing yang baru saja berbicara. Pria itu menekan katupan rahangnya.
Tara tersenyum sekali lagi. “Pergilah,” ulangnya.
Beberapa saat Argantara menatap Tara. Tarikan napas pelan pria itu lakukan. Sepasang bibirnya berkerut, sebelum pria itu akhirnya melepas pinggang Tara lalu menarik langkah menjauh--tanpa mengatakan apapun.
Melihat sang putra bergerak, Bayu segera mengayun sepasang kakinya.
Argantara berjalan mengikuti sang papa. Sementara Tara memutar kepala memperhatikan pergerakan punggung pria itu menjauh.
“Tinggalkan Argantara.”
Tara yang masih belum mengalihkan pandangan mata dari tempat terakhir Argantara terlihat, seketika mengernyit.
“Kamu mendengarku? Tinggalkan Argantara. Aku tidak peduli sekaya apa keluargamu. Kami tidak membutuhkannya. Tinggalkan dia.”
Tara menghembus karbondioksida dari celah bibir yang ia buku sedikit. Kepala wanita itu akhirnya bergerak—sedikit memutar hingga bertemu tatap dengan sepasang mata wanita paruh baya yang tidak lain adalah ibu tiri Argantara.
“Tante bicara denganku?" tanya Tara dengan wajah polos. Dua alis rapi wanita muda tersebut terangkat. Ekspresi yang Tara tunjukkan berhasil membuat Sintya menggeram tertahan. Tara mengerjap. “Ah, sepertinya iya.” Lalu wanita itu tersenyum tanpa dosa.
“Tadi Tante bilang apa? Maaf, saya tidak memperhatikan Tante. Bisa diulang, Tante?” tanya Tara dengan wajah polos tanpa beban.
Jika tidak sedang berada di tempat umum dengan banyak pasang mata yang bisa saja langsung tertuju padanya, ingin sekali Sintya menarik rambut perempuan di depannya. Karena tidak bisa melakukannya, akhirnya Sintya hanya meremas telapak tangannya kuat-kuat untuk melampiaskan rasa marahnya.
Tara berdehem. “Maaf Tante, saya harus ke toilet sebentar.” Lalu, tanpa menunggu jawaban, Tara langsung berjalan meninggalkan Sintya yang hanya bisa sekali lagi menahan geraman.
Tara menghentak napasnya keluar. Kepala wanita itu menggeleng. Apa yang sudah terjadi? Astaga, dia datang untuk berdonasi dengan cara membeli salah satu barang yang dilelang. Namun, apa yang dia lakukan? Dia justru terjebak dengan hubungan tidak harmonis Argantara dan orang tuanya.
“Tara ….”
Ini lagi, batin Tara yang sekalipun kesal tetap saja berhenti mengayun kaki, lalu berbalik ke arah datangnya suara.
“Ya ampun, cantik sekali kalungmu.”
“Terima kasih.” Bola mata Tara dengan sendirinya bergerak ke samping. Sesaat tatapannya terpaut dengan pria masa lalunya. “Sorry, Win. Aku harus ke toilet dulu.” Tara menepuk lengan Windi, sebelum kembali melanjutkan ayunan kaki yang sempat berhenti.
“Beruntung sekali dia. Lahir sudah langsung kaya. Lalu menikah dengan pria kaya raya. Pak Argantara anak satu-satunya, jadi bisa dibayangkan dia akan menjadi penerus kerajaan bisnis papanya.”
“Cinta tidak bisa dinilai dengan harta.”
“Tanpa harta kamu tidak akan mendapatkan cinta, Alfatih.” Winda mengalihkan perhatian pada sang kekasih. “Bukankah begitu?” tanyanya.
“Aku harus ke toilet.”
“Astaga, kamu juga?”
“Kamu juga bisa ke toilet kalau mau,” sahut Alfatih, sebelum berjalan menjauh. Meninggalkan Windi yang langsung cemberut.
“Buat apa ke toilet kalau tidak kebelet,” gumam Windi pelan sebelum mengedarkan pandangan matanya. Mendesah ketika tidak menemukan siapapun yang bisa ia ajak bicara supaya tidak terlihat seperti orang hilang. Oh … ada satu. Bosnya terlihat bersama sang papa. Setidaknya dia mengenal dua orang tersebut.
Windi kemudian menarik langkah untuk menghampiri dua orang tersebut.
****
Tara membasuh wajah seraya mendesah. Kenapa dia harus bertemu lagi dengan Alfatih. Sialan. Rasa sakit itu masih ada. Bahkan sekarang terasa bertambah. Ingin sekali Tara mencakar wajah pria itu. Apa kurangnya dia hingga dua tahun lalu Alfatih harus berbohong untuk memutuskan hubungan mereka?
Kenapa harus berbohong? Mungkin, jika dulu Alfatih tidak berbohong akan menetap di luar negeri, dia tidak akan sesakit hati saat ini. Tara pikir Alfatih mencintainya. Hubungan mereka tidak bisa berjalan hanya karena keadaan. Namun pada kenyataannya, ternyata bukan seperti itu.
Sialan memang. Tara memukulkan kepalan tangan ke pinggiran wastafel hanya untuk meringis setelahnya. Mendesis merasakan sakit, Tara segera mengguyur kedua tangannya dengan air kran. Mendesah melihat tangannya memerah. Salahnya sendiri karena memukul benda yang jelas sangat keras.
Tara mengeringkan kedua tangan dengan hand dryer sebelum mengambil beberapa lembar tisu lalu mengeringkan wajahnya.
Tara menatap pantulan wajahnya. Dia tidak berniat men touch up make up nya. Wanita itu meraih tas tangan yang ia letakkan di dekat kaca besar di depannya, lalu mengayun langkah kaki keluar dari tempat tersebut.
Keluar dari toilet khusus perempuan, langkah kaki Tara yang baru terayun beberapa kali seketika memelan, kemudian berhenti. Wanita itu menatap sosok yang kini menegakkan posisi berdiri setelah sebelumnya pria itu berdiri menyandar dinding.
Tara merasa perlu untuk memasukkan sebanyak mungkin pasokan oksigen ke dalam paru-parunya. Merasa siap, wanita itu melanjutkan ayunan kaki yang sempat berhenti. Tara mengalihkan fokus matanya dari pria itu. Dia tidak tahu untuk apa pria itu ada di depan sana. Oh … mungkin sedang menunggu kekasihnya.
Tara mempercepat ayunan kaki. Tidak sama sekali berniat berhenti ketika langkah kakinya melewati pria itu, namun—suara Alfatih membuatnya langkah kakinya berhenti.
“Tara.”
Tara menoleh. “Oh … aku pikir kamu tidak mengenalku.” Kedua alis bungsu Hutama itu terangkat. Sepasang matanya terpaut netra yang dulu selalu sanggup membuat jantungnya berdegup kencang.
Alfatih terlihat menarik napas panjang, lalu beberapa detik berikutnya menghembus pelan. “Kamu tidak perlu berpura-pura punya hubungan dengan pria itu.”
Langkah kaki Tara bergerak sedikit memutar, hingga akhirnya wanita itu berdiri berhadapan dengan mantan dua bulannya. Mulut Tara sudah terbuka hendak menyahut, namun gagal ketika suara lain terdengar lebih dulu.
“Kamu tidak perlu peduli pada calon istriku.”
Tara langsung menoleh. Mengedip kala melihat Argantara berjalan ke arahnya dengan dua tangan tersembunyi di kantong celana. Kening Tara mengernyit.
“Untuk apa Tara berpura-pura? Hubungan kalian dulu … sama sekali tidak berpengaruh pada calon istriku. Kamu sama sekali tidak istimewa. Jangan besar kepala berpikir Tara masih belum move on.” Argantara tersenyum.
“Tidak lama lagi kami akan menikah. Jangan khawatir. Windi akan mendapat undangan. Kamu bisa datang bersamanya kalau mau," tambah Argantara, tanpa mengalihkan tatapan tajam dari Alfatih. Tarikan napas pelan pria itu lakukan.
“Ayo, Sayang. Banyak yang harus kita lakukan malam ini.”