Bab 7. Mari Buat Drama Kita Sempurna.

1025 Kata
Malam itu akhirnya Tara terjebak bersama Argantara. Wanita itu tidak bisa lepas dari pria asing bernama Argantara Mahendra. Dia juga tidak bisa pergi menjauh dari Argantara karena semua orang yang berada di tempat lelang amal itu sudah mengenal dirinya sebagai tunangan Argantara. Apalagi Windi terus saja mengikutinya. Ingin sekali Tara mengusir, namun rasa tidak enak hatinya—membuat wanita itu berakhir membiarkan. Dan karena hal itu, ia semakin tidak dapat menjauh dari Argantara. Dia tidak ingin membuat Alfatih berpikir jika hubungannya dengan Argantara benar hanya kebohongan semata. Bola mata Tara bergerak ke samping saat untuk yang kesekian kalinya Arga merengkuh pinggangnya. Gadis itu menarik pelan napasnya. Suara tepuk tangan mengalihkan perhatian Zahra. Meluruskan kembali pandangan ke depan, Tara ikut bertepuk tangan. Seseorang baru saja memenangkan lelang. "Tara, habis ini kita jalan, yuk. Berempat. Double date." Windi yang berdiri di sebelah Tara sudah memiringkan tubuh sehingga bisa berbisik di telinga sang teman. Tara refleks menoleh sambil menarik menjauh kepala karena terkejut mendengar suara Windi yang terdengar begitu dekat. Gerakan yang Tara lakukan membuat kepalanya membentur tubuh Arga. Tara segera meluruskan kembali posisi berdirinya. "Ada tempat asyik untuk nongkrong malam. Mereka buka 24 jam," kata Windi mencoba membujuk sang teman. "Tidak, terima kasih. Aku capek banget hari ini." "Yah ... sayang. Um, kalau besok bagaimana?" Windi masih berusaha. "Besok aku harus pulang." "Ya ampun, Tara. Kenapa buru-buru pulang, sih? Kenapa tidak jalan-jalan dulu mumpung di Bandung?" Sebenarnya Tara juga berencana untuk jalan-jalan. Tapi ... tidak dengan Windi. Apalagi Alfatih. Tara tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Pasti kakak-kakakmu, ya?" tebak Windi dengan sepasang mata memicing. Dulu, zaman sekolah pun, Tara jarang jalan bersama teman-temannya, karena selalu ada sang kakak yang menjemput. Datang ke ulang tahun teman satu kelas pun bersama kakaknya. Tara hanya tersenyum simpul menjawab pertanyaan sang teman. Tara memilih kembali meluruskan pandangan mata ke depan. Mengikuti jalannya lelang sampai akhirnya barang terakhir menemukan pemilik barunya. **** Setelah acara selesai, Argantara langsung menggandeng sebelah tangan Tara—meninggalkan tempat lelang amal tanpa peduli pada pasangan Windi dan Alfatih. Keduanya berjalan bersama melewati para undangan yang sebagian masih bertahan di tempat tersebut untuk berbincang. “Bisa cari tempat yang sepi?” tanya Tara dengan suara pelan, berbisik. “Mau apa?” tanya Argantara seraya menoleh. Kening pria itu sudah berlipat. Tara berdecak. “Jangan berpikir yang aneh-aneh.” Tara menggulir bola mata samar—memperhatikan sekitar. “Aku mau mengembalikan kalung ini,” tambah Tara. “Eh ….” Tara buru-buru membelokkan langkah begitu Argantara menariknya ke kiri. Tara menghela napas dalam sambil melirik kesal Argantara. Menahan gerakan kepala yang sudah akan menggeleng. Masih banyak orang di sekitarnya. Dia masih harus memainkan drama yang ia mulai, namun kini dia justru terjerumus semakin dalam. Tara menoleh tidak lebih dari dua detik lalu meluruskan pandangan mata. Di depannya baru saja berhenti sebuah mobil berwarna hitam mengkilat. Bukan! Bukan mobil biasa, tapi … mobil sport. Langkah kaki wanita itu sudah berhenti karena Argantara juga berhenti berjalan. Lipatan di kening Tara bertambah ketika melihat orang yang baru saja keluar dari pintu pengemudi, setengah berlari menghampiri Argantara. “Silahkan, Pak.” Pria dengan seragam biru-biru itu memberikan kunci kepada Argantara, sebelum kemudian berjalan menjauh. Tara menatap bertanya Argantara. Dia butuh mengembalikan kalung yang masih melingkar di lehernya, sebelum mereka berpisah. Apa Argantara sudah akan pergi? “Ayo.” “Hah?” Argantara kembali meraih sebelah telapak tangan Tara, kemudian menariknya pelan. "Mantanmu masih memperhatikanmu,” beritahu Argantara sambil melangkah menghampiri mobilnya. Pria itu membuka pintu mobil. Berdiri, mengedik kepala--meminta Tara untuk segera masuk ke dalamnya. Tara tidak punya pilihan selain mengikuti permintaan Argantara, masuk ke dalam mobil sport tersebut. Argantara menutup pintu sebelum melangkah lebar memutari kepala mobil. Pria itu kemudian masuk ke dalam mobil dari pintu pengemudi. Tara menatap Argantara. Tangan wanita itu bergerak melepas kuncian kalung di bagian belakang lehernya. “Pakai sabuk pengamanmu.” Argantara bersuara. Pria itu menyalakan mesin mobil. Menoleh ketika melihat sebuah kalung menggantung di depannya. “Ini.” Tara menggerakkan tangan yang masih menggantung. Meminta Argantara untuk menerimanya. “Itu untukmu.” “Apa?” tanya Tara terkejut. “Kamu calon istriku, Tara. Semua orang tahu itu. Jadi, pakai saja.” “Aku tidak butuh. Aku punya banyak kalung seperti ini.” Argantara menggulir bola mata ke arah potongan kaca berbingkai yang menggantung di depannya. “Pakai sabuk pengamanmu. Kita sudah membuat banyak orang menunggu.” Tara refleks menoleh ke belakang. Mengedip ketika menyadari apa yang Argantara katakan memang benar. Beberapa mobil berderet di belakang, dengan lampu yang sudah menyala. Terlihat siap untuk segera melaju. Mau tidak mau Tara menarik tangan yang semula masih menggantung, kemudian buru-buru memakai sabuk pengaman. Kendaraan roda empat dengan dua tempat duduk itu melaju meninggalkan halaman hotel tempat acara amal diadakan. “Kamu menginap di mana?” tanya Argantara sebelum mobil yang dia kemudikan bergabung dengan banyak jenis kendaraan di jalan raya. “Kanan atau kiri?” tanya pria itu. Dia baru tiga bulan lalu kembali ke Jakarta, dan baru menjelajah Bandung satu hari kemarin bersama salah satu orang kepercayaannya. “Kanan,” jawab Tara, yang kemudian menyebut nama sebuah hotel. Mengingat perkataan Windi, Tara kembali bersuara. “Kamu belum tahu lokasi hotel itu?” “Mungkin kemarin aku melewatinya, tapi, aku tidak ingat.” “Wah. Kok kamu berani nyetir sendiri padahal kamu belum mengenal daerah ini. Oke, memang ada g*gle map, tapi kadang salah.” “Kita punya mulut yang gunanya untuk bertanya, Tara.” “Ah ….” Tara menggerakkan kepala turun naik. “Windi bilang kamu baru balik tiga bulan lalu. Sebelumnya tinggal di negara mana?” Argantara melirik Tara, namun tidak lebih dari dua detik pria itu meluruskan pandangan mata. “Bahasa Indonesia kamu bagus,” tambah Tara tanpa menunggu Argantara menjawab rasa penasarannya. “Sepertinya kita butuh tempat untuk bicara empat mata,” ucap Argantara tanpa melirik apalagi memutar kepala ke samping. Sepasang mata pria yang masih mengemudikan mobil itu justru mengedar ke depan. Mencari-cari sesuatu. Begitu melihat tempat yang diinginkan, Argantara segera menyalakan lampu sein. Menyadari laju mobil memelan, Tara refleks menoleh ke samping. “Kita akan menikah. Banyak yang harus aku tahu tentang kamu. Begitupun sebaliknya. Bukankah kita harus membuat drama kita sempurna?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN