Bab 8. Calon Suami Tara.

1479 Kata
Tara pernah memiliki keinginan untuk menikah muda. Tara berpikir keinginannya itu akan terwujud ketika dia merasa menemukan cinta sejatinya. Siapa lagi jika bukan Alfatih. Di matanya waktu itu, Alfatih adalah sosok yang tepat untuk ia jadikan imam dalam hidupnya. Untuk menjadi ayah dari anak-anaknya. Mimpinya benar-benar indah bersama Alfatih. Alfatih orang tidak banyak bicara. Mungkin terlihat cuek, tapi, Tara bisa merasakan kehangatan dan perhatian pria itu selama dua bulan masa pacaran mereka. Sebelum pria itu tiba-tiba menghancurkan hatinya. Setelah putus dari Alfatih, Tara tidak lagi bermimpi menikah muda. Justru ia lebih bersemangat menjalani pendidikannya. Mengambil S2 sambil bekerja di hotel milik keluarganya. Tak tanggung-tanggung, posisinya saat ini adalah wakil direktur. Mau bagaimana lagi. Dia adalah anak pemilik hotel. Suka-suka papanya memberi posisi padanya. Orang-orang boleh iri. Silahkan. Tara tidak peduli. Itu adalah privilege terlahir di keluarga kaya raya. Tara hanya harus membuktikan jika dia pantas berada di posisi tersebut. Dan setelah tidak lagi memiliki mimpi tersebut, tiba-tiba dia berstatus sebagai tunangan orang. Parahnya lagi, berita itu dengan cepat sampai ke telinga papanya. Bagaimana tidak? Banyak orang yang menghadiri malam amal tersebut, mengenal papa dan mamanya. Ditambah ternyata sang pembawa acara lelang mengenali dirinya. Tara yakin orang itu lah yang memberitahu papanya kejadian di acara lelang malam itu. Belum lama Tara kembali dari Bandung, Tara harus berhadapan dengan kedua orang tuanya. Kondisi mamanya masih belum benar-benar sehat, namun wanita itu tidak mau ketinggalan untuk ikut mewawancarai dirinya. Tara duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya. Gadis itu berada di dalam kamar orang tuanya. "Mama sedang sakit. Mama istirahat saja," pinta Tara sambil menatap sang mema. Detik berikutnya Tara melirik sang papa yang terlihat begitu serius. Tidak ada sedikitpun gurat senyum di wajah pria kesayangannya itu. Dalam hati Tara mendesah. "Tidak. Mama ingin mendengarnya." Naya menolak pergi, sekalipun kepalanya terasa begitu berat. Berita yang dia dapat tentang putri kecilnya, membuat sakit kepalanya bertambah. Baginya, Tara masih gadis kecilnya. Yang harus dia jaga dan lindungi. Naya menoleh ke arah sang suami. Memperhatikan suaminya yang kini menarik napas dalam. Naya tahu, sang suami juga sama pusingnya seperti dirinya. “Bisa jelaskan pada kami apa maksudnya gambar itu?” tanya Alka sambil mengedik ke arah ponsel yang menyala di atas meja—memperlihatkan gambar Tara yang berdiri bersama seorang pria di belakangnya. Pria itu terlihat sedang memasangkan kalung berlian di leher putrinya. “Ceritanya panjang.” Tara menjawab. Wanita muda itu menggeser bola mata--lari dari tatapan tajam sang papa. Tara menelan saliva susah payah. “Kami punya seluruh waktu untuk mendengarkan ceritamu,” ujar Alka sambil menatap sang putri. Dia terkejut setengah mati saat melihat foto tersebut. Ditambah informasi jika dua orang dalam foto tersebut sudah bertunangan. Sebagai papa Tara, Alka merasa belum pernah mengenal pria muda yang dikatakan sebagai tunangan putrinya itu. Tunangan? Kapan dia pernah menerima kedatangan seorang pria yang menyampaikan keinginan untuk menikahi putrinya? Belum pernah! Bagaimana tiba-tiba saja putrinya menjadi tunangan orang lain? Omong kosong apa ini? “Tara ….” Suara lemah sang mama membuat Tara mendesah. Wanita itu mengalihkan perhatian pada mamanya yang masih terlihat sedikit pucat. “Ma, intinya … berita itu tidak benar,” sanggah Tara. “Tidak benar? Lalu, apa foto itu hasil editan?” Alka bertanya. Suaranya sedikit meninggi karena emosi. Alka mengatur tarikan dan hembusan napas agar bisa menekan gejolak emosi yang meluap-luap di dalam d*da. “Bu-bukan. Maksudku, sebenarnya kami berdua tidak punya hubungan apapun. Kami bahkan baru saja bertemu di tempat itu.” Tara menjelaskan. Naya menoleh ke arah sang suami. Menatap pria tersebut dengan banyak tanya dalam sorot matanya. Sementara Alka menarik napas panjang. “Apa kamu tahu siapa yang mengirim foto itu?” Alka kembali bertanya. Ingin sekali dia mempercayai apa yang dikatakan oleh putrinya. Namun, satu hal membuat pria itu akhirnya meragukan putrinya untuk pertama kali dalam hidupnya. Sepasang bibir Tara berkerut. “Pasti orang itu, kan? Orang yang mengatur jalannya lelang, Dia mengenaliku malam itu.” Tara menjawab. Dia yakin, pasti orang itu. “Bukan.” “Bukan?” Sepasang mata Tara refleks membesar begitu mendengar jawaban sang papa. Padahal dia sudah sangat yakin. Lalu, jika bukan orang itu yang seenaknya saja mengirim foto itu pada papanya, siapa lagi yang berani melakukannya? Mulut Tara setengah terbuka. "Bu-bukan?" tanya ulang Tara ketika sang papa hanya menatapnya tajam, tanpa langsung menjawab rasa penasarannya. Beberapa detik kembali terlewat sampai akhirnya Tara melihat sepasang bibir sang papa bergerak. “Argantara Mahendra.” “A-a-apa?” Sepasang mata Tara kali ini tidak hanya membesar. Bola mata wanita muda itu bahkan nyaris meloncat keluar dari tempatnya. Tara ingin sekali tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Tidak mungkin, kan? Sayangnya, tidak ada yang salah dengan alat pendengarannya. Tara menarik napas dalam-dalam seraya menekan katupan rahangnya. Argantara yang mengirim foto sialan itu? Bagaimana bisa? Dari mana Argantara mendapatkan nomor papanya? Tara benar-benar tidak habis pikir. Untuk apa juga Argantara harus bertindak sejauh ini? Untuk apa? Ketika bicara empat mata dengan Argantara, Tara sudah dengan jelas mengatakan jika ia tidak ingin menikah dengan pria itu. Tara juga sudah meminta maaf karena dia memulai drama tersebut. Dia pikir Arga tidak lagi memperpanjang urusan dengannya. Drama itu sudah selesai. **** Flashback …. Setelah masuk ke dalam sebuah kafe yang malam itu kebetulan tidak terlalu ramai, Tara dan Argantara duduk berseberangan terpisah meja. Dia depan mereka, cangkir berisi cairan hitam yang masih mengepulkan asap dari permukaannya. “Kamu mau mengatur sendiri pernikahan kita, atau aku yang mengaturnya?” buka Argantara. Tara menatap Argantara dengan sorot mata yang berhasil membuat lipatan muncul di kening pria itu. Wanita muda itu menghela napas panjang. “Aku tidak berencana menikah denganmu. Maafkan aku karena sudah melibatkanmu dalam urusanku. Aku benar-benar berterima kasih kamu sudah membantuku, Argantara. Tapi, kita selesai sampai di sini.” “Kamu pikir kamu bisa mencampakkanku begitu saja?” “Mencampakkan?” tanya Tara seraya menatap tak percaya pria yang duduk menyandar dengan satu tangan terjulur ke atas meja, sementara satu tangan yang lain berada di atas pangkuannya. “Wah, pemilihan katamu sangat tidak tepat.” Hembusan karbondioksida keluar dari celah bibir Tara. “Bagaimana bisa mencampakkan, Bapak Argantara yang terhormat?” Suara ketukan jari ke atas meja kayu terdengar dengan tempo yang sama. Argantara pelakunya. Pria itu menatap lurus perempuan muda yang duduk di depannya terpisah meja. Entah nasib baik dari mana ketika ia bertemu dengan perempuan itu, dan semuanya terjadi begitu saja. Nasib baik? Ya, Argantara menganggap pertemuannya dengan Tara adalah nasib baik. Awalnya dia tidak tahu menahu siapa Tara. Tujuannya mengikuti drama yang perempuan itu lakukan hanya untuk membuat marah papa dan istri papanya. Namun, siapa sangka perempuan itu ternyata putri dari keluarga kaya raya, yang memaksa papanya berpikir seribu kali untuk menolaknya. Tara mendesah. “Semua orang kaya yang pasti mengenal orang tuamu--mereka sudah tahu jika saat ini kamu adalah tunanganku. Jika tiba-tiba kita berpisah, bukankah mereka akan berpikir kamu mencampakkanku?” Bola mata Tara membesar. “Siapa suruh kamu mengaku kita bertunangan? Aku tidak memintamu mengakuiku sebagai tunanganmu.” “Apa kamu tidak melihat wajah mantan pacarmu itu waktu aku bilang kamu tunanganku? Seharusnya kamu berterima kasih padaku, Tara. Kamu berhasil membuat pria itu menyesal.” Tara menghentak keras napas. “Pokoknya kita tidak akan menikah. Katakan saja kamu yang mencampakkanku. Aku tidak peduli,” sahut Tara. “Yakin kamu tidak peduli? Mantan pacarmu akan segera bertunangan. Kamu mau datang ke sana sendirian? Ditatap menyedihkan olehnya? Atau memang sebenarnya kamu masih berharap pada laku-laki itu?” Sepasang mata Tara mengerjap. Wanita muda itu menelan saliva, sebelum menjawab. “Tidak.” Mendengar jawaban Tara, satu sudut bibir Argantara terangkat. “Aku tidak tahu masalahmu dengan keluargamu. Aku berharap kalian bisa menemukan jalan keluar. Aku rasa kamu bisa mendapatkan perempuan manapun yang kamu mau. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih atas bantuanmu. Setidaknya, tadi aku tidak harus terlihat mengenaskan di depan laki-laki tukang bohong itu.” Tara berucap panjang lebar. Tara tersenyum lega melihat Argantara menggerakkan kepala turun naik beberapa kali. Tara pikir, Argantara sudah sepakat dengannya. **** “Argantara bilang dia sudah menyiapkan pesta pernikahan kalian.” Suara Alka menarik kesadaran Tara kembali. Sepasang mata wanita muda itu mengedip, sebelum menemukan fokusnya. Alka menarik napas panjang. Pria itu menatap semakin lekat sang putri. “Pria itu juga bilang akan datang untuk menemui kami.” “A-a-a-apa?” Tara sungguh tidak mengerti, apa yang direncanakan oleh Argantara? Kenapa pria itu masih memaksa menikah dengannya, padahal sudah jelas mereka tidak memiliki hubungan apapun. Teman bukan, apalagi kekasih. Mereka hanya dua orang asing yang bertemu di tempat amal. 'TOK! TOK!' Alka yang sudah membuka mulut, urung bersuara ketika suara ketukan pada daun pintu terdengar. Pria itu refleks menoleh ke arah suara berasal. “Permisi Pak, Bu. Di depan ada tamu mencari Bapak sama Ibu.” Suara salah satu asisten rumah terdengar dari balik daun pintu yang tertutup. “Siapa?” tanya Alka dengan suara cukup keras, tanpa beranjak dari tempat duduknya. “Namanya Argantara Mahendra, Pak. Katanya calon suami mbak Tara.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN