“Namanya Argantara Mahendra, Pak. Katanya calon suami mbak Tara.”
GUBRAK!
Bola mata Tara nyaris meloncat keluar dari kelopaknya begitu mendengar nama yang disebut oleh salah satu pekerja di rumahnya. Apalagi mendengar kalimat terakhirnya. Calon suami mbak Tara? Gendeng! Sinting! Gila! Apa lagi kata yang cocok untuk Tara sematkan pada pria edan yang satu itu?
GILA! Argantara benar-benar sudah edyaaaan! teriak Tara dalam hati. Ya, dia hanya bisa berteriak dalam hati. Sialan memang. Ternyata dia salah memilih lawan main drama. Sekarang justru dia yang terperangkap dalam drama yang pria itu ciptakan. 'Arghhhhh!' Tara menjerit dalam hati.
“Pa … Papa mau kemana?” tanya Tara melihat sang papa beranjak dari tempat duduknya. “Ma,” panggil Tara. Mamanya juga ikut berdiri. Tara buru-buru mengangkat pantatnya, meninggalkan bantalan empuk sofa di dalam kamar orang tuanya.
Tara berjalan cepat mengikuti kedua orang tuanya. "Pa, Ma ... tidak perlu diladeni orang sinting itu."
“Kita harus menemuinya, Sayang. Ayo.” Alka tidak menyahut kata-kata sang putri. Sebaliknya, pria itu justru merangkul sang istri yang masih belum benar-benar sehat. “Kalau kamu capek, tidak usah ikut keluar tidak apa-apa.”
"Iya, Ma. Mama tidak usah ikut keluar. Mama istirahat saja. Kan Mama masih sakit." Tara memanfaatkan kesempatan. Berharap mamanya mau mendengarkan sang suami dan juga dirinya.
“Aku harus bertemu denganya,” ujar Naya. Sama seperti sang suami, wanita itu tidak menggubris putrinya. Naya tetap ingin ikut menemui pria bernama Argantara Mahendra itu.
Dengan menahan kesal, Tara berjalan mengikuti kedua orang tuanya keluar dari kamar. Tara dan kedua orang tuanya melanjutkan ayunan kaki menuruni tangga lalu berbelok ke arah ruang tamu berada. Dalam hati Tara menggeram menahan kesal karena ulah Argantara yang tiba-tiba datang ke rumahnya. Pria itu sama sekali tidak memberitahu dirinya.
Oh ... bagaimana mau memberitahu? Mereka bahkan tidak bertukar nomor ponsel. Tapi, jika Argantara bisa dengan mudah mendapatkan nomor ponsel ayahnya, tentu saja pria itu tidak akan kesulitan mendapatkan nomor ponselnya. Dasar Argantara sinting, umpat Tara dalam hati untuk yang kesekian kalinya.
Tara mengernyit ketika sayup-sayup mendengar percakapan. Suara kakaknya, Kala--terdengar. Tara mempercepat ayunan kaki menyadari kedua orang tuanya sudah berbelok ke ruang tamu.
“Nah, itu papa sama mama.” Kala yang sudah menoleh begitu mendengar suara langkah kaki beberapa orang mendekat, tersenyum. Senyum itu menghilang setelah tatapannya menemukan sosok adik bungsunya, yang berjalan di belakang kedua orang tuanya.
Argantara beranjak dari tempat duduk. Pria itu menarik langkah keluar dari celah meja dan sofa. Tersenyum ketika bertemu tatap dengan sosok pria bernama Malaka Hutama, salah satu pengusaha besar di Jakarta.
Argantara sudah mencari tahu siapa keluarga Tara, dan ya … dia cukup terkejut ketika mengetahui sepak terjang bisnis keluarga Tara. Properti, hotel, taman bermain, resort, furniture. Belum lagi kakak ipar, juga kakak-kakak kandung Tara yang tentu saja ikut mengembangkan bisnis keluarga mereka.
Argantara juga sudah mendapat info jika perempuan bernama Mutiara Putri Hutama itu masih mengejar gelar S2 bisnis, sekaligus bekerja sebagai wakil direktur hotel Kanaya yang tentu saja milik keluarga wanita itu.
“Selamat malam, Om. Tante.” Argantara tersenyum. Pria itu mengulurkan tangan kanan begitu kedua pemilik rumah berhenti di hadapannya. Agantara menjabat erat tangan pria yang dia perkirakan berusia tidak jauh dari usia papanya.
Alka menggerakkan sedikit kepalanya ke bawah. Ekspresi wajah pria itu tampak dingin. Tidak ada senyum sedikitpun yang menghias wajah tampannya. “Malam.”
Melepas jabat tangan dengan papa Tara, Argantara beralih pada sosok perempuan yang masih terlihat cantik meskipun wajahnya terlihat pucat. Kali ini Argantara mendapatkan sedikit senyum dari wanita paruh baya tersebut.
Berhadapan langsung dengan kedua orang tua Tara, sekarang dia tahu bagaimana Tara bisa memiliki kecantikannya itu. Dan dia percaya tidak ada sentuhan pisau bedah di wajah Tara. Cantik alami.
“Silahkan duduk.” Naya mempersilahkan. Wanita itu kemudian berjalan bersama sang suami menghampiri sofa panjang.
Kala yang sudah berdiri—menyongsong kedua orang tuanya. “Aku keluar dulu Ma, Pa.” Kala berpamitan. Malam minggu, dia memiliki kegiatan di luar.
“Sendiri atau bersama yang lain?” tanya Naya.
“Sendiri, Ma. Kencan.”
Naya menepuk lengan sang putra. “Ya sudah. Hati-hati. Jangan kebablasan. Anak orang.” Wanita itu berpesan.
“Siap, Ibunda Ratu,” canda Kala sebelum memeluk sang ibu, lalu papanya. “Aku tinggal, Ar.” Kala mengayun langkah setelah berpamitan pada Argantara.
Argantara mengangguk seraya tersenyum tipis. Beruntung dia bertemu salah satu kakak Tara yang seusia dengannya. Obrolan mereka juga nyambung sekalipun mereka bekerja di bidang yang berbeda.
Argantara mengalihkan pandangan mata dari Kala. Pria itu kembali duduk ke single sofa di seberang sofa panjang. Bola mata pria itu bergerak. Bergulir membalas tatapan mata tiga orang yang duduk di satu sofa yang sama.
Tara menatap kesal Argantara. D*da wanita itu bergerak kentara ke atas lalu tertahan beberapa detik sebelum kembali bergerak, turun. Sepasang bibirnya terkatup rapat, namun sorot mata wanita itu berkata banyak. Kata umpatan tentu saya yang ingin Tara semprotkan di depan wajah tampan Argantra.
Tara mengerjap. Wanita menekan katupan rahangnya ketika sang otak justru memuji ketampanan Argantara. Memang benar Argantara tampan, tapi sayang, ketampanan pria itu hanya tampak sebatas pada wajah saja. Hatinya ... busuk.
“Jadi, ada keperluan apa kamu ingin bertemu kami?” buka Alka setelah beberapa saat memperhatikan pria muda di depannya.
Argantara membalas tatapan tajam sang tuan rumah. Pria itu menoleh ke arah Naya, lalu Tara tidak lebih dari tiga detik, sebelum mengembalikan perhatian pada Alka seraya membelah sepasang bibirnya.
“Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya. Saya memberanikan diri datang untuk menyampaikan rencana pernikahan saya dengan putri Om dan Tante. Mutiara.” Argantara menatap serius papa Tara, sementara Tara mendesah seraya memutar bola mata.
“Pa—”
“Semua persiapan akan siap dalam satu bulan.” Argantara memotong kalimat yang baru hendak dimulai oleh Tara.
Tara seketika mendelik mendengar apa yang baru saja Argantara sampaikan pada orang tuanya. “Gila.” Tara meraup sebanyak mungkin oksigen masuk untuk mengembangkan paru-paru yang terasa menyempit seketika. “Pa … Ma ….” Tara menatap kedua orang tuanya yang sudah menoleh ke arahnya.
Tara sudah membuka mulut, berniat untuk mengutarakan kegilaan tak berdasar Argantara ketika suara ponsel terdengar bersamaan. Suara notifikasi pesan masuk yang bersahutan—menandakan tidak hanya satu atau dua pesan yang masuk, lalu disusul dengan dering panggilan masuk.
Naya menoleh ke arah sang suami bersamaan dengan suaminya yang juga menoleh ke arahnya. Sepasang suami istri itu saling bertatapan dengan kening mengernyit sebelum keduanya bersamaan memutar kepala ke arah datangnya suara.
“Maaf Pak, Buk … dari tadi bunyi. Saya khawatir ada yang penting.” Kepala asisten rumah berderap cepat menghampiri kedua majikannya dengan membawa ponsel milik keduanya. Dia ingin abai ketika mendengar dua ponsel itu bersuara. Namun, karena suara ponsel tak kunjung berhenti, dia takut ada informasi penting yang harus segera majikannya ketahui.
“Terima kasih, Bi.” Naya menerima ponsel miliknya. Wanita yang sudah tidak muda itu langsung menerima panggilan begitu melihat putrinya yang menghubungi. “Mekka, Pa,” Naya memberitahu sang suami, lalu membawa ponsel menempel ke telinga kanan.
Sementara Alka beranjak dari tempat duduknya. Pria itu berjalan menjauh sambil menerima panggilan telepon.
“Ma, berita apa itu? Kenapa tiba-tiba Tara mau nikah? Siapa itu Argantara? Sejak kapan Tara pacaran? Kok aku tidak tahu.”
Mendengar pertanyaan beruntun Mekka, Naya refleks menggulir bola mata ke depan. Menatap tamunya yang ternyata sedang memperhatikan putri bungsunya. Napas Naya tertarik panjang.
“Apa dia selama ini pacaran backstreet? Tapi, tidak seharusnya dia bikin aku syok. Bulan depan adikku mau nikah, dan aku tahu dari berita? Ini benar-benar keterlaluan.” Mekka kesal setengah mati. Bagaimana tidak? Dia kakak Tara. Bisa-bisanya dia tidak diberitahu rencana pernikahan adiknya sendiri.
Naka dulu juga sama. Tahu-tahu sudah menikah. Yang membedakan Naka dengan Tara karena dulu pernikahan Naka tidak tercium publik. Beda dengan Tara yang rencana pernikahan tiba-tibanya itu beredar di media online. Dan yang lebih membuatnya kesal karena salah satu temannya bertanya padanya, dan dia tidak bisa menjawab.
“Sayang, bagaimana kamu tahu?” tanya Naya. Tatapan mata wanita itu belum beralih dari pria muda bernama Argantara. Apa yang sebenarnya sudah terjadi dengan putri bungsunya? Apa yang sudah ia lewatkan? Kenapa terulang lagi? Kenapa dia juga tidak tahu apa yang sudah dilalui putri bungsunya itu? Sama seperti ketika dia tidak tahu apa yang sudah dilalui oleh Naka.
“Beritanya ada dimana-mana, Ma. Makanya aku kesal. Orang-orang lebih dulu tahu adikku mau nikah. Sementara aku—kakaknya, justru tidak tahu apa-apa.”
“Sebentar, Sayang.” Naya menahan luapan emosi Mekka ketika melihat suaminya berderap dengan langkah lebar kembali ke tempatnya masih duduk. Naya menatap bertanya sang suami yang kini kulit wajahnya sudah berubah warna. Suaminya sedang menahan amarah.
“Karena ini pernikahan putriku, aku yang akan menyiapkan semuanya.”
“Papa ….”
“Argantara, ikut denganku sekarang.” Lalu Alka kembali mengayun langkah meninggalkan istri dan putrinya. Pria itu berderap dengan wajah keras.