Bab 10. Strategi Argantara.

1598 Kata
Argantara duduk berhadapan dengan Alka. Dua orang itu berada di dalam ruang kerja sang pemilik rumah. Suasana dalam ruangan yang cukup besar dengan desain klasik tersebut hening ketika dua orang yang menghuni sama-sama masih merapatkan sepasang bibir mereka. Alka menatap lurus pria muda di depannya. Pria yang ia perkirakan seumuran dengan putra kembarnya. Jujur saja, Alka belum mencari tahu siapa pria yang berniat menikahi putrinya. Tidak ada sedikitpun guratan senyum di wajah suami Kanaya Putri tersebut. Argantara mengatur tarikan dan hembusan napas pelan. Melihat tatapan tajam serta ekspresi wajah papa Tara, dia bisa menebak berita itu sudah sampai telinga papa Tara. Argantara berdehem. “Apa rencanamu sebenarnya?” tanya Alka langsung. Sepasang alis tebal Argantara--pria berdarah campuran dua negara berbeda tersebut bergerak hingga lipatan halus nampak mulai menghias keningnya. Pria itu membelah kedua bibirnya. “Menikahi putri anda.” Argantara menjawab dengan lantang. Wajah pria itu tampak serius. Sepasang mata Alka mengecil. Tarikan napas panjang pria itu lakukan. Bola matanya bergerak mengamati lebih lekat wajah Argantara. “Menikahi putriku?” “Benar.” Lagi, Argantara menjawab dengan lantang. Tidak terlihat keraguan di dalam sorot mata pria tersebut. Alka mendesah. “Untuk apa? Apa kamu harus melakukan sejauh itu?” tanya Alka tidak mengerti. Argantara terdiam. Sepasang mata pria itu masih terpaut netra sang tuan rumah. Pria itu mengatur tarikan dan hembusan napasnya pelan. “Saya menginginkan putri anda menjadi istri saya. Saya mencintai putri anda. Saya bisa pastikan dia tidak akan kekurangan sedikitpun.” Jawaban yang diberikan oleh Argantara membuat Alka mengenyit. “Kekurangan? Dia tidak akan pernah kekurangan. Bukan karena dia seorang Hutama. Tapi karena dia bisa mencari uang sendiri. Aku tidak mendidik anak-anakku untuk bergantung pada orang tua, apalagi pada orang lain.” Alka menyahut. Alka bisa pastikan anak-anaknya bisa bertahan hidup tanpa kekayaan Hutama. Karena mereka memang punya kemampuan. Mereka memang bekerja di bawah naungan bisnis yang ia bangun, namun kinerja mereka bisa dipertanggung jawabkan. “Maaf, bukan itu maksud saya. Saya paham Tara bisa mencari uang sendiri. Tapi, sebagai suami saya akan pastikan Tara tidak kekurangan apapun. Saya yang akan memenuhi semua kebutuhan Tara. Hasil kerja Tara, itu mutlak milik Tara. Bukankah begitu seharusnya sebuah rumah tangga?” Tatapan mata Alka menajam. “Saya tidak akan pernah meninggalkan Tara. Ini janji saya.” Argantara menelan saliva seraya mengatur napasnya. Bertahan membalas tatapan mata pria yang duduk berseberangan dengannya, yang semakin lama semakin menusuk. Tatapan papa Tara seperti mata pedang yang hendak mengoyaknya hidup-hidup. Argantara kembali menelan saliva yang dengan cepat mengumpul, lalu menggumpal keras. Alka menekan katupan rahangnya. Dia tidak pernah menyangka putrinya akan terlibat skandal dengan pria asing. Dia tidak mengenal pria seusia Kala dan dan Dewa ini. Siapa dia dan bagaimana sepak terjangnya dengan para perempuan di luar sana. Bagi seorang Malaka Hutama, bukan uang yang nomor satu karena dia bisa memberikan itu pada putrinya. Dia menginginkan pria bertanggung jawab yang akan menjadikan putrinya ratu dalam rumah mereka. Pria yang hanya akan memuja putrinya seorang. Yang tidak akan pernah menyakiti hati sang putri yang selama ini ia jaga dengan sungguh-sungguh. Mutiara ada princess dalam keluarga Hutama. Sebagai seorang ayah, selama ini Alka selalu berusaha untuk membuat Tara merasa seperti seorang putri. Tanpa memanjakan secara berlebihan. Itu menurutnya. “Apa kamu tahu yang paling penting bagi seorang pria, Argantara?” tanya Alka setelah membiarkan ruang kerjanya hening hingga beberapa saat. “Janji yang keluar dari mulutnya.” **** Siapa sangka jika berita pertunangannya dengan Argantara yang sebenarnya palsu itu sudah beredar di mana-mana. Setelah Argantara mengikuti papanya pergi ke ruangan kerja papanya, dan mamanya sibuk menerima telepon yang terus menerus berdering--akhirnya Tara kembali ke kamarnya. Dia tidak membawa ponselnya ketika berbicara dengan kedua orang tuanya. Dan begitu bertemu dengan benda penghubung miliknya yang ternyata juga sudah meninggalkan jejak banyak miscall, serta notifikasi pesan masuk--sepasang mata wanita itu mengerjap. Beberapa temannya mengirimkan link berita online. Jarinya sempat bergetar sesaat sebelum ia menekan salah satu link. Tara tertegun membaca berita tentang bungsu Hutama, sang wakil direktur hotel Kayana yang sebentar lagi akan mengakhiri masa lajang bersama direktur rumah sakit swasta terbesar di Jakarta. “Kok bisa jadi begini?” keluh Tara. Tak ia hiraukan pesan masuk yang terus berdatangan. Ia sudah mengganti mode senyap ponselnya hingga tidak perlu merasa terganggu dengan suara pesan yang tak berhenti berdatangan. Kepala wanita itu menggeleng tak percaya apa yang kini terjadi padanya. Tara membuka link lainnya, dan napasnya sempat tertahan. Kepalanya terasa panas seketika. Panggilan telepon terlihat pada layar saat ia membaca berita lain tentang dirinya dan Argantara. Jika sebelumnya ia langsung menekan tombol merah, kali ini Tara mendesah melihat nama Lea yang sedang terhubung dengannya. Beberapa saat Tara membiarkan panggilan tersebut, sebelum akhirnya dengan berat hati menerima panggilan dari adik kakak iparnya itu. “Tara … apa-apaan berita itu?” Lea tanpa basa-basi langsung bertanya. Betapa terkejutnya ia membaca berita fyp di media sosialnya. Bagaimana tidak terkejut saat dia mengenali wajah perempuan dalam berita itu. “Kenapa? Kamu tersinggung karena karena aku akan menikah lebih dulu?” tanya Tara yang sebetulnya hanya ingin menggoda Lea. Kepalanya sudah pusing dan panas serasa ingin meledak. Dia butuh pengalihan. “Jadi benar?" tanya Lea berpikir apa yang Tara katakan itu hal serius. "Kok kamu tidak pernah cerita? Kapan kamu pacaran sama laki-laki itu? Yakin sudah move on dari Alfatih?” tanya beruntun Lea. Dia jelas tahu jika sang besti yang tidak lain adalah adik dari kakak iparnya itu masih belum bisa melupakan cinta pertamanya. Bola mata Tara membesar sekalipun dia sadar Lea tidak bisa melihatnya karena mereka tidak sedang melakukan sambungan video. Ya, hanya Lea yang tahu tentang hubungan 2 bulannya dengan Alfatih, dan seberapa besar dia patah hati ditinggal pria itu ke luar negeri. Tentu saja itu yang Tara pahami sebelum malam pertemuannya dengan laki-laki pembohong itu. “Jangan sebut nama laki-laki pembohong itu lagi, Lea.” Tara menghentak keras karbondioksida keluar dari celah bibir yang terbuka. Mendadak d*danya kini terasa panas mengingat kembali pria itu. Karena pria pembohong itulah dia harus terjebak dengan drama Argantara. “Pembohong? Bukannya dulu kamu bilang dia laki-laki sholeh, calon imam terbaik?” balas Lea. Dia masih ingat bagaimana Tara memuji pria itu setinggi langit, sampai-sampai dia penasaran. Sayangnya, sebelum bisa bertemu dengan pria itu, Tara justru bilang mereka putus. Tara mendesah. Suara ketukan di pintu membuat kepala wanita itu berputar. “Aku bertemu dengannya kemarin di Bandung, Lea. Bersama kekasihnya. Teman masa SMA ku.” “Apa? Serius?” Kalau saja mereka saat ini sedang bicara berhadapan langsung, Tara mungkin akan ketakutan melihat ekspresi horor Lea. "How come??" “Mbak Tara, ditunggu papa sama mama di bawah.” Suara salah satu asisten rumah terdengar dari balik pintu, membuat Tara mendesah dalam hati. Apalagi kira-kira sekarang? Mungkinkah papanya bisa mematahkan argumen Argantara? “Aku harus pergi. Sialan si Argantara, Dia membuatku dalam masalah.” “Hei … Tara. Apa yang sebenarnya terjadi? Beritahu aku," pinta Lea yang sumpah demi apa, dia benar-benar penasaran. “Aku ceritakan nanti, Lea." Lea beranjak dari tepi ranjang lalu mengayun langkah. "Aku harus menemui si br*ngsek Argantara itu dulu.” Lalu Tara mengakhiri sambungan dengan Lea begitu saja. Langkah kakinya terayun ke arah pintu. “Mbak Tara ….” “Iya … iya …,” kesal Tara. Sebenarnya ia tidak kesal pada asisten rumahnya itu. Dia kesal pada Argantara. Hanya saja, dia belum bisa meluapkan pada sang pelaku, dan kebetulan sekali asisten rumahnya itu yang muncul. Membuka pintu, Tara menatap asisten rumah yang masih berdiri di depan kamarnya sambil menarik napas panjang. “Ditunggu di—” “Iya, aku sudah dengar.” Tara menjawab lalu melanjutkan langkah kakinya. “Telingaku masih sehat,” gumamnya pelan. Tara mempercepat ayunan kakinya. Wanita itu berjalan menuruni anak tangga. Tiba di lantai satu, wanita itu berbelok ke arah ruang tamu. Dia jelas tahu orang tuanya ada di tempat itu. Tara terkejut melihat tidak hanya Argantara dan kedua orang tuanya yang ada di ruang tamu. Tapi, dua kakaknya yang lain—Juna serta Dewa sudah duduk bersama mereka. Lima orang itu langsung menoleh ke arahnya. Tara menghembus napas panjang ketika bertemu tatap dengan dua kakaknya. Dia bisa melihat banyak tanya di dalam sorot mata keduanya. Namun, bibir mereka berdua tertutup. Tara melirik Argantara ketika berjalan melewati pria tersebut. Naya menepuk sofa di sampingnya saat bertemu tatap dengan sang putri. Wanita itu memperhatikan sang putri hingga akhirnya Tara duduk di sebelahnya. “Tara ….” Tara dengan cepat menoleh begitu mendengar suara papanya. “Ya, Pa.” “Bagaimana keputusanmu?” “Aku?” tanya Tara seraya mengerjap. Wanita muda itu melirik sepersekian detik pria yang membuatnya dalam masalah. “Tentu saja kamu. Berita yang tersebar tentang kamu, Tara.” Dewa bersuara. Pria itu menatap sang adik yang kini sudah menoleh ke arahnya. “Aku … aku ….” Tara meremas telapak tangannya. Apa yang harus dia lakukan? Menolak mentah-mentah karena memang tidak ada hubungan apapun dengan Argantara? Bagaimana dengan berita yang sudah tersebar itu? Apa yang akan terjadi dengan keluarganya nanti? “Sebagai kakak, aku merasa gagal. Selama ini kami sudah berusaha untuk selalu menjagamu. Tapi ternyata kamu tetap punya cara.” Juna mengangguk membenarkan apa yang Dewa katakan. Dia juga sama. Merasa gagal sebagai kakak. Dia sama sekali tidak tahu jika sang adik ternyata berhubungan dengan seorang pria. Dan dia menyesal karena tidak mengikuti Tara ke tempat lelang itu hanya karena kerjaan. Harusnya dia singkirkan urusan kerjaan itu demi adiknya. “Bukan begitu.” Tara meluruskan pandangan mata. Menatap marah pria yang kini juga sedang menatapnya. Oh, Tara muak melihat tatapan pria itu. Seolah pria itu mencintainya. “Bukan salah Tara. Saya yang salah. Saya yang tidak sabar ingin menikah dengannya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN