Menikah dengan Argantara. Pria yang baru ia kenal tiga hari lalu. Mungkin Tara sudah kehilangan akal sehat. Dia tidak tahu siapa Argantara, bagaimana kepribadian pria tersebut, namun bibirnya berucap ia menerima pinangan Argantara.
Tentu saja setelah isi dalam kepalanya nyaris meledak. Perdebatan dua sisi otak yang akhirnya memenangkan Argantara karena dia tidak ingin membuat keluarganya dalam masalah.
Foto-fotonya bersama Argantara yang entah bagaimana terlihat intim dan mesra sudah beredar di media. Bahkan ada foto yang memperlihatkan seolah dia dan Argantara sedang berciuman. Mau heran, tapi, zaman sekarang orang bisa merekayasa segala sesuatu.
Dan yang semua orang kini ketahui—termasuk mantan 2 bulannya adalah ia akan segera menikah dengan Argantara.
Ternyata Calon Istri Direktur Rumah Sakit terbesar di Jakarta Tak Lain Adalah Putri Bungsu Malaka Hutama, Pengusaha Sukses Yang Memiliki Banyak Bisnis.
Tara masih ingat skandal yang pernah menimpa kakak keduanya. Dan sekarang itu terjadi pada dirinya. Untuk menghentikan semua tanpa harus merepotkan keluarga dan membuat drama baru, akhirnya Tara membuat keputusan tersebut. Pikir Tara, dia hanya perlu bertahan sebentar. Toh memang di antara mereka berdua tidak ada cinta. Seharusnya mudah bukan?
“Kamu yakin, Sayang?” Naya menatap bertanya sang putri. Jujur saja dia terkejut setelah sebelumnya sang putri sempat menyangkal hubungannya dengan pria muda bernama Argantara tersebut. "Sayang ...."
“Kamu masih terlalu muda untuk menikah, Tara.” Dewa ikut bersuara. Berharap sang adik merubah keputusannya. Melihat Tara, rasanya dia masih belum ikhlas jika adiknya itu akan menjadi milik orang lain. Seorang laki-laki yang bahkan belum ia kenal.
“Benar. Kuliahmu saja belum selesai.” Juna menimpali. Juna menatap kesal sang adik.
“Saya tidak akan mengekang Tara. Dia akan tetap menyelesaikan kuliahnya. Dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan. Pernikahan tidak akan menghalangi Tara untuk berkembang,” ucap Argantara panjang lebar. “Kami hanya ingin mengurangi dosa. Ini cara saya mencintai dan menghargai Tara. Saya tidak ingin merusaknya, saya ingin mengikatnya dengan ijab kabul.”
Sungguh luar biasa manis ucapan Argantara hingga membuat Tara hampir saja memutar bola mata. Wanita lain mungkin akan langsung meleleh mendengar ucapan Argantara, tapi, tidak dengannya. Karena dia tahu itu semua hanya drama.
Naya dan Alka menatap lurus Argantara. Dua orang yang sudah tidak lagi muda itu seolah sedang mencari sesuatu dalam sorot mata Argantara.
Tara menggerakkan kepala turun naik. Sepasang mata wanita itu membalas tatapan Argantara. Dalam hati mendengkus, namun kedua sudut bibirnya melengkung ke atas. Senyum yang berhasil menular pada Argantara.
Rencana pernikahan berlanjut ...
Hari itu, Argantara membawa Tara ke sebuah butik. Sesuai kesepakatan, keluarga Hutama akan mengatur pesta pernikahan mereka. Arga tidak bisa menolak. Meskipun demikian, dia juga akan menggelar pesta pernikahan untuk keluarga dan kolega bisnisnya. Sekaligus pesta untuk menyambut Tara masuk ke dalam keluarga Mahendra.
“Wah, selamat datang. Mari, silahkan masuk.”
“Apa gaunnya sudah siap?” tanya Argantara.
“Tentu. Tentu, Pak. Sudah kami siapkan seperti keinginan bapak.”
Argantara memang belum lama kembali ke Jakarta, namun berita yang tersebar di kalangan orang kaya itu tentu saja sampai pada sang pemilik butik. Jadi, ketika mendapatkan telepon dari satu-satunya pewaris bisnis rumah sakit keluarga Mahendra, sang pemilik butik tak lagi terkejut.
Argantara menoleh ke samping. “Cobalah. Aku ingin melihatnya.”
Tara hanya melirik Argantara sebelum mengayun langkah meninggalkan pria tersebut. Tara berjalan bersama dengan sang desainer sekaligus pemilik butik.
“Selamat atas rencana pernikahan kalian. Keluarga pengusaha rumah sakit bersatu dengan keluarga pengusaha hotel, furniture, properti. Wah, kalian luar biasa.” Wanita itu menoleh sambil tersenyum.
Pernikahan penerus dua pengusaha besar itu sudah pasti akan membuat banyak orang iri. Sudah bisa dibayangkan akan seperti apa kehidupan calon pengantin. Yang jelas bergelimang harta.
Ditambah kenyataan jika sang calon mempelai wanita memiliki paras yang sangat cantik dengan tubuh ideal, dan sang calon mempelai laki-laki berparas tampan dengan tubuh tinggi tegap. Tubuhnya pelukable dengan perut yang terlihat datar.
“Begitu menurutmu?” tanya santai Tara.
“Tentu saja. Pernikahan kalian pasti akan menjadi pernikahan yang diimpikan oleh banyak orang di luar sana. Tidak hanya para wanita, tapi, juga para pria yang patah hati karena tidak bisa mendapatkanmu.”
“Wah … aku tersanjung. Terima kasih,” sahut Tara. “Mana yang harus aku coba?” tanya Tara setelah tiba di depan gantungan banyak gaun pengantin. Sepasang mata wanita itu mengedar. Tidak mungkin Argantara memintanya untuk mencoba semua, kan? Buat apa, toh pernikahan mereka hanya bagian dari drama yang sedang mereka mainkan.
“Di sebelah sana. Calon suamimu sudah memilih beberapa model untuk kamu coba. Dia perhatian sekali, ya? Kamu sungguh beruntung.”
“Tentu saja.” Tara menggerakkan kepala turun naik. Beruntung dari mana? Tidak lama semua orang akan menarik kata-kata beruntung itu setelah ia bercerai dari Argantara, batin Tara.
Tara kembali berjalan mengikuti pemilik butik, masuk ke dalam sebuah ruangan. Wanita muda itu mengedarkan pandangan mata melihat 4 gaun pengantin yang tergantung di sisi kiri ruangan tersebut. “Empat ini?” tanya Tara memastikan. Tara mendesah pelan melihat kepala sang desainer mengangguk menjawab pertanyaannya.
Kenapa juga dia harus mencoba 4 gaun pengantin. Kenapa tidak langsung diputuskan mana yang harus dia pakai?
“Ayo, mau coba yang mana dulu?”
“Terserah. Yang mana saja.” jawab Tara terdengar tidak tertarik, hingga membuat sang desainer menatap wanita itu dengan kening berlipat. Tara mengangkat kedua alis melihat cara menatap sang desainer.
"Oh ... baiklah. Sebentar." Sang desainer akhirnya mengayun langkah menjauh. Wanita itu mengambil satu dari empat gaun pilihan Argantara.
****
Argantara mendesah ketika ponselnya berbunyi dan nama istri papanya yang terlihat. Argantara menolak panggilan tersebut. Berdecak ketika tak berselang lama, suara ponselnya kembali terdengar. Membuatnya jengah.
Pria yang sedang duduk di sofa, menunggu calon istrinya mencoba gaun pengantin itu dengan malas menekan tombol terima lalu membawa benda penghubung tersebut ke telinga kiri.
“Halo ….”
“Kamu benar-benar keterlaluan, Arga. Bikin konferensi pers. Katakan pada media kalau calon istrimu bukan perempuan itu."
“Namanya Mutiara Hutama.” Arga menyahut dengan nada datar. Ibunya saja tidak ribut, kenapa wanita itu ribut mengurus siapa calon istrinya. Ah ... dia tahu alasannya.
“Aku tidak peduli. Sekarang kamu ikut papamu, kamu harus menuruti perintah papamu.” Napas ibu tiri Arga memburu karena amarah. Berita yang beredar membuat emosinya meluap. Belum lagi dia harus menenangkan keponakannya.
“Sepertinya kamu belum bicara dengan papa. Tanyakan padanya apa dia mau aku melakukan konferensi pers.” Argantara mendesah. “Sudah kukatakan, kalau kamu benar-benar ingin keponakanmu itu masuk ke keluarga Mahendra, lebih baik minta papa menikahinya. Kamu sudah tua, mungkin papa butuh yang segar-segar.”
“Beraninya kamu.” Wanita yang sedang tersambung dengan Argantara itu menggeram. Kalau saat ini putra suaminya itu ada di depannya, mungkin dia tidak akan bisa menahan tangannya untuk tidak menjambak rambut anak tidak tahu diri itu.
“Sudahlah. Aku sedang menunggu calon istriku mencoba gaun pengantin,” kata Argantara. Dia tidak akan pernah mewujudkan keinginan wanita itu. Tidak akan pernah sampai ia mati sekalipun.
“Argan—” Di tempatnya, Sintya berteriak marah. Argantara sungguh kurang ajar. Beraninya anak itu mengakhiri sambungan lebih dulu. Sintya meremas ponsel di tangannya. Dia bersumpah akan membuat anak suaminya itu menyesal.
Argantara berdecak sambil menatap layar yang kini sudah berwarna hitam. “Aku tahu rencanamu. Kamu hanya ingin mendapatkan harta keluarga Mahendra. Sampai mati pun aku tidak akan pernah membuatmu merasa puas. Kamu ingin aku menikahi keponakanmu? Jangan harap. Aku tidak akan pernah melakukannya sekalipun perempuan di dunia ini hanya tinggal perempuan itu.” Argantara menghentak keras napasnya.
Tara berjalan menghampiri pria yang duduk di sofa sambil menundukkan kepala. Terlihat sibuk dengan benda di tangannya. Tarikan napas pelan wanita itu lakukan, sementara kedua kaki melanjutkan ayunannya.
Suara ketukan heels pada lantai terdengar, membuat Argantara refleks mengangkat kepala kemudian menoleh ke arah datangnya suara. Tatapannya menemukan sosok dengan balutan gaun panjang warna putih yang bagian bawahnya mengembang. Taburan batu-batu swarovski membuat gaun dengan hiasan bordir tersebut tampak eksklusif dan mahal.
Pandangan mata Argantara kembali terangkat ketika sosok dengan balutan gaun pengantin tersebut berhenti berjalan di depannya. Napasnya tertahan. Sepasang mata pria itu mengedip pelan. Sesaat Argantara terdiam hanya menatap wajah perempuan dengan gaun pengantin tersebut.
Matanya mengunci netra bulat milik bungsu keluarga Hutama. Menatap dalam dan lekat perempuan yang terlihat begitu cantik. Rambutnya digelung asal ke atas. Tidak rapi tapi justru hal tersebut membuat wanita itu terlihat seksi di matanya.
Potongan gaun membuat leher putih jenjangnya terlihat sempurna. Bersih dan terlihat begitu lembut. Argantara membayangkan seperti apa rasanya ketika mendaratkan sepasang bibirnya di permukaan leher tersebut. Tanpa sadar pria itu membasahi bibir dengan lidah.