Naraya membaca kartu nama di tangannya, jadi tahu kalau mami Zara adalah seorang dokter juga Direktur sebuah rumah sakit swasta terbesar dan terbaik di Jakarta.
“Pantas aja mami baik banget, ternyata mami seorang dokter ….” Naraya bergumam.
Naraya menyimpan nomor ponsel mami di ponselnya kemudian menyobek kartu nama itu sampai potongan paling kecil lalu dia buang ke tong sampah.
Dia takut kartu nama mami Zara ditemukan orang lain yang ingin memanfaatkan beliau.
Mata Naraya mengedar ke sekeliling kamar, dia sedang berada di kamar ibu dan bapak.
Kamar ini memiliki wangi khas ibu dan bapak, mata Naraya kembali berkaca-kaca.
Lalu Naraya memandangi foto pernikahan ibu dan bapak yang digantung di atas headboard.
Ibu dan bapak dulu menikah hanya di KUA karena keterbatasan finansial.
Ibu pernah berkata kalau beliau akan menabung untuk pesta pernikahan Naraya.
Katanya pesta pernikahan Naraya harus megah dan mewah jangan seperti pernikahan ibu dan bapak.
Naraya menutup wajahnya menggunakan kedua tangan, dia kembali terisak.
Selama ini Naraya hidup serba berkecukupan meski tidak berlebihan karena ibu dan bapak selalu mengutamakannya.
Sedangkan Naraya belum bisa membalas budi kebaikan mereka tapi mereka sudah dipanggil Yang Maha Kuasa.
Naraya bangkit dari kursi meja rias, dia tarik handle pintu lemari yang berada di samping meja rias.
Tidak banyak pakaian ibu dan bapak di dalam sana tapi mereka sering sekali membelikannya pakaian apalagi semenjak Naraya kuliah.
Naraya meletakan satu tangannya di bibir bersamaan dengan air matanya yang luruh.
“Ibuuu … bapak … apa Nay bisa hidup tanpa kalian?” Naraya melirih, matanya terpejam.
“Nay, ini ibu dari mall beliin celana dalem sama bh buat kamu.”
“Nay, ini bapak beliin kamu jaket … lagi musim hujan, kamu pakai ya setiap ke sekolah.”
“Nay, kemarin Ibu ke Matahari … lagi banyak diskon, Ibu beliin kamu kemeja buat kampus, besok Ibu paketin ya.”
“Bapak beli sepatu buat Nay, biar bisa gonta ganti ke kampus … jangan itu-itu saja sepatunya, masa anak Bapak yang paling cantik pakai sepatunya itu-itu terus.”
Naraya meraung saat bayangan tentang kasih sayang mereka melintas dalam benaknya.
Tok …
Tok …
“Nay … ada tamu.” Suara seorang pria dari luar terdengar setelah bunyi ketukan.
“Kak Irsyad, enggak pulang?” Naraya bertanya kepada sang kakak sepupu—anaknya paman Rukmana.
Dia heran kenapa kakak sepupunya masih tinggal sedangkan keluarga yang lain sudah pulang.
“Enggak, disuruh bapak nungguin kamu … Bapak sama ibu lagi belanja buat tahlilan nanti malem.”
“Oooh … tamunya siapa?” Naraya bertanya lagi.
“Dua cewek dari Jakarta, teman kampus kamu kali.” Irsyad menjawab sembari melengos kembali ke ruang televisi tempatnya bersarang tadi.
Naraya bergegas pergi ke ruang tamu dan saat sosoknya sampai di sana, suara jeritan tiga orang gadis terdengar sampai ke balai desa.
“Naaaaaaay.” Afifah dan Anggit langsung beranjak dari kursi memburu Naraya.
Mereka bertiga berpelukan sembari menangis meraung selama beberapa lama.
Irsyad merotasi bola matanya kesal, dia menaikkan volume suara televisi karena teredam isak tangis tiga gadis di ruang tamu.
“Naaaay, turut berbelasungkawa ya.” Afifah berujar setelah pelukan terurai.
“Makasih ya, Peh.”
“Maaf, tadi malem kita enggak bisa anter kamu.” Anggit terlihat menyesal.
“Enggak apa-apa, aku pikir ibu bapak masih hidup hanya kecelakaan biasa, ternyata ….” Naraya tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Mereka bertiga duduk bersisian di sofa panjang dengan Naraya berada di tengah.
Anggit menggenggam tangan Naraya sebelah kanan dan Afifah menggenggamnya di sebelah kiri.
“Peh, bilang sama abah … makasih, udah minjemin mobil sama supir buat anter aku ke Sukabumi tadi malam … kalau bukan karena abah, aku enggak tahu mau ke sana pakai apa … mungkin aku juga enggak akan sempat datang ke pemakaman ibu sama bapak.” Naraya mengeratkan genggaman di tangan Afifah.
“Sama-sama, Nay … waktu kamu telepon tadi malem itu, aku lagi ngobrol sama abah sama mama … abah langsung kasih ide buat minjemin kamu mobil sama supir tanpa aku minta,” tutur Afifah memberitahu.
“Baik banget abah, semoga panjang umur.” Naraya mendoakan.
“Aamiin.” Afifah memeluk Naraya dari samping.
“Nay, udah makan belum? Aku laper, uy … makan yuk!” ajak Anggit, sebenarnya bukan dia yang lapar tapi dia tahu kalau Naraya pasti belum makan karena saat mereka sampai di sini, rumah Naraya sepi sekali.
Paman Eka dan paman cecep memang sudah kembali ke Sukabumi dengan alasan kalau mereka harus bekerja.
Entah kerja apa karena setau Naraya mereka tidak memiliki pekerjaan dikala weekend.
Paman Eka adalah montir panggilan yang kadang-kadang bekerja di bengkel orang lain selebihnya kerja serabutan sedangkan paman Cecep seorang petani karet yang dipekerjakan oleh sebuah perusahaan swasta.
“Kita makan di luar aja ya, enggak ada apa-apa di kulkas … karena ibu sama bapak sedang liburan sebelum kecelakaan itu.”
“Iya ayo, kita makan di luar aja … itu ajakin kakak sepupu kamu, siapa tahu laper juga.” Anggit tersenyum kemudian melipat bibirnya ke dalam.
“Yeeeeee.” Afifah menoyor kepala Anggit lalu tertawa menulari Anggit.
Dan akhirnya Naraya bisa tertawa lagi, sejenak melupakan kehilangannya.