“Mi … Pi … Aruna enggak enak badan, Aruna enggak ikut ke pemakaman ya.” Aruna berujar sembari menuruni anak tangga.
Wajahnya pucat dan tubuhnya tampak lemas.
“Ya udah, kamu di sini aja.” Mami mengusap kepala Aruna.
“Kamu demam sayang,” kata mami cemas.
“Kalian pergi aja, biar aku yang rawat Aruna.” Sebagai dokter, tante Bunga memiliki kamar praktik pribadi berisi peralatan dan perlengkapan kesehatan termasuk obat-obatan.
“Nanti kita jemput kamu … kamu istirahat aja ya,” kata papi Arkana sebelum akhirnya beliau beserta mami dan Ghazanvar pergi menuju pemakaman.
Ghazanvar masih belum banyak bicara tapi pikiran serta tatapannya tidak sekosong tadi, dia berusaha menguasai diri.
Pemakaman kedua orang tua Naraya dihadiri keluarga dan tetangga, Naraya tidak berhenti menangis pilu yang menulari beberapa orang di sana hingga ikut menitikan air mata.
Ketiga paman Naraya tadi kini didampingi oleh istri dan anak mereka tapi tidak ada satu pun dari ketiga istri pamannya yang terlihat menenangkan Naraya dengan pelukan.
Naraya bersimpuh di antara gundukan makam kedua orang tuanya, menangis memeluk diri sendiri.
“Sayang,” panggil mami mendekat, mengajak Naraya berdiri tapi Naraya menggelengkan kepalanya sembari menangis.
Mami Zara berjongkok di belakang Naraya, melingkarkan satu tangannya di pundak Naraya memeluk Naraya dari belakang.
“Ayo kita pulang, sayang.” Mami Zara berbisik.
“Enggak mau, Nay mau di sini sama ibu dan bapak.” Naraya menjawab disela tangisnya.
“Naaay, ayo Naaay! Enggak boleh kaya begitu Nay!” tegur pak Eka dari jauh sambil berjalan menjauh.
Pria itu seperti tidak niat menenangkan Naraya dan tidak peduli dengan kehilangan Naraya.
“Enggak! Nay mau di sini … ibuuu, bapak … ajak Nay ke Surga, ibuuuu … bapaaaaak.” Naraya menangis meraung melampiaskan sesak di dadanya setelah tadi melihat ibu dan bapaknya ditimbun oleh tanah merah.
Naraya tidak akan pernah bisa bertemu mereka lagi, tidak akan melihat senyum mereka lagi.
Dan dia baru sadar kalau setelah ini dunianya mungkin tidak akan baik-baik saja.
“Sssttt … sayang … sayang.” Mami kewalahan karena Naraya terus meraung.
Papi dan Ghazanvar berinisiatif mendekat untuk menenangkan Naraya, di saat yang lain malah menjauh bahkan ada yang pergi meninggalkan pemakaman karena upacara pemakaman telah selesai.
“Ya udah Mami tungguin kamu di sini …,” kata mami, beliau telah masuk terlalu jauh ke dalam kesedihan Naraya.
“Kenapa? Kenapa Mami ada di sini? Kenapa Mami mau nungguin Nay? Mereka aja pergi … kenapa Mami masih di sini?” Naraya melirih di antara isak tangis.
“Karena enggak ada yang berusaha menenangkan kamu … kalau ada, udah sejak tadi Mami pergi.”
Naraya membalikan badan, dia memeluk mami kemudian menangis di pundaknya.
Tangis Naraya terdengar sangat pilu mengabarkan bukan hanya kesedihan tapi juga kesepian.
Ghazanvar tertegun dengan wajah pucat, perasaan bersalah kembali menyerangnya begitu hebat.
Bayangan tentang kecelakaan kembali diputar berulang-ulang dalam benaknya bagai kaset rusak, semakin lama kian cepat dan tetap saja menunjukkan kalau dia lah yang membuat mobil ibu dan bapak Naraya masuk ke jurang.
Dia lah penyebab kecelakaan tersebut, dia telah menghilangkan nyawa tidak berdosa hanya karena melamun memikirkan seorang wanita.
Dan sekarang, ada seorang gadis yang menderita kehilangan kedua orang tuanya, dia harus bertanggung jawab.
Tapi bagaimana caranya?
***
“Nay … Mami sama papi juga abang Ghaza pulang dulu ya, kalau butuh apa-apa kamu bisa hubungi Mami.” Mami menyelipkan kartu namanya ke dalam saku kemeja Naraya.
Naraya mengangguk dengan raut sendu tanpa suara.
“Terima kasih Bu Zara dan Pak Arkana yang telah meluangkan waktunya dan memberikan perhatian untuk Naraya.” Paman Naraya yang bernama Rukmana paling aktif berkomunikasi dengan mami dan papi.
Diketahui kalau beliau adalah Lurah di desa tempat Naraya dan kedua orang tuanya tinggal.
“Sama-sama Pak Rukmana … sekali lagi saya dan keluarga mengucapkan turut berbela sungkawa.” Papi mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan paman Rukmana.
“Terimakasih, Pak.” Paman Rukmana menyahut, gantian bersalaman dengan mami lalu Ghazanvar.
Paman Rukmana dan Naraya mengantar mereka bertiga hingga halaman depan.
Papi dan mami berjalan lebih dulu diikuti paman Rukmana, ketiga orang tua itu terlibat pembicaraan ringan mengenai kedua orang tua Naraya semasa hidup menyisakan Naraya dan Ghazanvar yang berjalan beriringan di belakang mereka.
Langkah mami dan papi juga paman Rukmana berhenti di samping mobil tapi mereka masih terlibat pembicaraan seru yang sudah berganti topik mengenai Naraya.
Yang sedang dibicarakan terus menundukan kepala menyembunyikan kesedihan, di samping Naraya kini berdiri Ghazanvar yang sedang mengawasinya.
Tiba-tiba Naraya menoleh seraya mendongak membuat netranya dan netra Ghazanvar bersirobok.
Pupil mata Ghazanvar membesar, dia terkejut karena tertangkap basah sedang menatap Naraya dari samping.
“Makasih ya, Bang.” Naraya berujar dengan suara pelan.
“Makasih untuk apa? Gara-gara aku, kedua orang tua kamu meninggal.” Ghazanvar membatin.
Tapi pada kenyataannya dia menganggukan kepala, ekspresi wajahnya tidak dingin tapi pria itu sangat pendiam.
Dalam hati Ghazanvar sedang mengutuk dirinya yang telah membuat seorang gadis menjadi yatim piatu.
“Nay …,” panggil mami lagi.
Beliau mendekat lalu memeluk Naraya kembali.
“Kata pak Rukmana kamu kuliah di Jakarta? Kamu bisa mampir ke rumah Mami kapan-kapan.”
“Iya Mi.” Naraya tersenyum tipis.
“Ingat ya, kamu bisa telepon Mami kalau butuh sesuatu atau sekedar butuh teman bicara.” Mami berpesan.
“Iya Mi, terimakasih sekali lagi.”
Mami tersenyum kemudian masuk ke dalam mobil.
“Semangat ya, Nay!” Papi berseru sebelum akhirnya beliau juga masuk ke dalam mobil.
Naraya merespon dengan sebuah anggukan dan senyum tipis.
“Pulang ya, Nay.” Ghazanvar akhirnya bersuara dan dia mendapat senyum sendu beserta anggukan samar dari Naraya.
Kali ini Ghazanvar yang menyetir mobil itu, mami dan papi duduk di kabin tengah.
Ghazanvar membuka kaca jendela, dia menatap Naraya lekat sembari perlahan melajukan kendaraannya.
“Mereka baik banget ya, Paman ….” Naraya berkomentar setelah mobil menghilang ditelan jarak.
“Tadi Eka-paman kamu bilang sama Paman kalau dia menduga Ghazanvar menabrak mobil orang tua kamu.”
Naraya menoleh menatap paman Rukmana. “Paman percaya?” Lalu bertanya.
“Enggak lah, jelas mobilnya Ghazanvar bersih, kalau dia yang nabrak pasti ada transfer cat di mobilnya … Polisi juga mengatakan kalau ini murni kecelakaan.” Paman Rukmana sewot.
“Paman kamu itu ingin mencoba memeras Ghazanvar dan keluarganya karena mereka terlihat baik dan kaya raya … kamu jangan terhasut ya!” sambung paman Rukmana lagi.
“Dia sering jahat sama orang jadi enggak percaya kalau ada orang baik.” Paman Rukmana belum selesai menggerutu.
Dari dulu paman Rukmana yang merupakan kakaknya bapak Agus memang tidak menyukai paman Eka dan paman Cecep yang merupakan kakak dan adik dari ibu Hernita.
Naraya mengembuskan napas panjang sembari mengangguk merespon nasihat paman Rukmana.