Seperti Hukuman Mati

1337 Kata
“Ibuuuu … Bapaaaak … jangan tinggalin Nay, Ibuuuu … Bapaaaaak.” Suara tangis pilu terdengar dari ruang tunggu jenazah sebelum dimasukan ke dalam Ambulance untuk diantar ke rumah duka. Ghazanvar dan keluarganya masih ada di sana begitu juga ketiga paman Naraya. Yang paling menyakitkan adalah Naraya tidak bisa memeluk jenazah kedua orang tuanya yang sudah dibungkus plastik dan kain kafan lantaran tubuh jenazah seratus persen terbakar. Hanya bisa dikenali dari perhiasan yang dipakai korban dan kartu identitas diri yang kebetulan tidak ikut terbakar serta ponsel yang masih berfungsi sehingga Polisi mudah untuk menghubungi keluarga korban karena kebetulan panggilan terakhir di ponsel mendiang Agus Rijadi adalah panggilan keluar menghubungi pak Eka-kakak iparnya. Naraya berjongkok memegangi sisi keranda kedua orang tuanya. “Naaaay … udah Naaaah, ini udah takdir.” Pak Rukmana mencoba menenangkan dengan membantu Nayara berdiri tapi Nayara malah bersimpuh di lantai tidak peduli celananya kotor. “Nay cuma punya ibu sama bapak di dunia ini, Paman … gimana Nay bisa hidup ke depannya? Gimana cara Nay bisa hidup, Pamaaaaan.” Naraya meraung meratapi nasibnya. “Papiii.” Aruna tidak dapat menahan tangis, dia memeluk papi Arkana lalu menangis di d**a beliau yang bidang. Papi memeluk penuh sayang putri bungsunya disertai banyak kecupan di kepala Aruna. Sedangkan Ghazanvar memandangi Naraya dengan mata basah, hatinya sakit sekali seakan ikut merasakan apa yang Naraya rasakan saat ini terlebih dia masih berpikir kalau dirinya bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut. Mami masuk ke bawah lengan Ghazanvar membuat dirinya berada dalam pelukan satu tangan Ghazanvar, tangan mami lantas bergerak mengusap-ngusap d**a bidang putranya. “Bukan salah kamu, Bang… tadi menurut Polisi seharusnya mobil korban masih sempat mengerem dan pagar pembatas didesain kuat menahan beban mobil … ada kemungkinan pengemudi menginjak gas alih-alih menginjak rem sehingga menerobos pagar pembatas… dan baru diketahui kalau alm. memiliki riwayat stroke, ada kemungkinan saat itu stroke-nya sedang kambuh sehingga enggak mampu menggerakan kakinya.” Mami mencoba menghilangkan perasaan bersalah Ghazanvar dengan memberitahu informasi yang beliau dapatkan dari Kapolres. Awalnya mami Zara memaksa Ghazanvar untuk bertanggung jawab namun setelah mendengar hasil investigasi pihak Kepolisian yang didapat dari TKP dan keterangan keluarga korban, beliau yakin kalau putranya tidak bersalah. “Gitu ya, Mi?” gumam Ghazanvar yang masih memaku tatap pada Naraya dengan mata berkaca-kaca. “Udah Nay… Udah… kamu bicara dulu sama orang pertama yang melihat kejadian ini, ayo Paman antar.” Perlahan raungan Naraya mereda, dibantu paman Rukmana—Naraya berusaha untuk bangkit berdiri. Kaki Naraya terasa lemas seperti tidak bertulang, nyaris tersungkur bila saja paman Rukmana tidak kuat memegangi lengannya. Pak Eka dan Pak Cecep sedang merokok beberapa meter dari mereka sambil menunggu mobil ambulance tiba. Jantung Ghazanvar berdebar kencang seiring langkah Naraya mendekat. Matanya mengerjap dengan sering disertai napas yang tersendat. Dia seakan sedang menghadapi hukuman mati. “Ini Ghazanvar … dia sama adiknya kebetulan berpapasan sama kedua orang tua kamu dan melihat mobil kedua orang tua kamu menabrak pagar pembatas lalu masuk ke jurang… Ghazanvar juga yang menghubungi pihak kepolisian melaporkan kecelakaan itu sehingga kedua orang tua kamu bisa cepat dievakuasi.” Pak Rukmana memberitahu saat langkah mereka tiba di depan Ghazanvar. Naraya mendongak karena tubuh Ghazanvar menjulang tinggi di depannya. Mata bulat Naraya yang besar menatap Ghazanvar lekat membuat Ghazanvar merasa kalau Naraya sedang menghakiminya. Ghazanvar berpikir Naraya mengetahui kalau dialah yang telah membunuh kedua orang tuanya gara-gara melamun sambil mengemudi. Mata Naraya kembali melelehkan buliran kristal, dadanya kembang kempis dan napasnya memburu akibat menahan gemuruh di d**a. Naraya meraih satu tangan Ghazanvar, membuatnya seperti berjabat tangan dan seakan itu belum cukup, satu tangan Naraya yang lain melingkupi jabatan tangan tersebut. “Terimakasih … Terimakasih ….” Air mata Naraya meluncur kian deras. Ghazanvar melepaskan jabatan tangan dengan Naraya, dia refleks mengangkat kedua tangan hendak memeluk Naraya namun mami langsung mengambil langkah cepat menghalangi Ghazanvar menggunakan tubuhnya kemudian memeluk Naraya menggantikan Ghazanvar. “Saya Zara … maminya Ghazanvar, kamu boleh panggil saya mami … kamu yang sabar ya, sayang.” Mami Zara mengusap-ngusap kepala Naraya yang kembali meraung dalam pelukannya. Sejak tadi tidak ada yang menenangkan Naraya dengan pelukan karena mungkin ketiga paman segan memeluk keponakannya yang sudah menjadi gadis remaja menuju dewasa. *** Ghazanvar dan keluarganya tidak langsung kembali ke Jakarta. Kebetulan hari ini adalah weekend jadi mereka tidak memiliki aktifitas rutin sehingga bisa ikut ke Bandung untuk menghadiri pemakaman kedua orang tua Naraya. Keluarga Naraya sangat tersentuh saat tadi mami mengatakan akan ikut ke pemakaman. Ide ikut ke pemakaman didasari oleh rasa simpati mami kepada Naraya yang tidak tega membiarkannya sendirian menghadapi musibah ini. Mami Zara beralasan kalau beliau sekalian akan mengunjungi kerabat yang berdomisili di Kota Baru Parahyangan yang ternyata komplek pemukiman elite itu dekat dengan rumah Naraya. “Mami suka cari masalah … udah tau si Abang lagi syok dan galau serta bimbang, ini malah diajak ke pemakaman korban.” Papi yang duduk di belakang kemudi mengeluh. “Kan tadi Mami udah bilang kalau Mami mau ketemu mbak Bunga sama mas Angga … kalau Papi mau pulang ke Jakarta pake heli sama anak-anak ya silahkan … ngapain coba ngikutin Mami?” Mami berujar ketus lantaran tidak terima kalau niat baiknya ini dianggap mencari masalah oleh sang suami. Lihat saja bagaimana sorot mata mami Zara saat menatap papi, sangat tajam hingga menghujam ke jantung papi Arkana. “Enggak mungkin donk Papi biarin Mami nyetir sendiri.” Papi Arkana tertawa sumbang, beliau mencolek dagu mami yang kemudian mendelik sebal. Ghazanvar yang duduk kabin tengah sedang tenggelam dalam lamunan penyesalannya sementara itu Aruna tertidur pulas setelah lelah menangis semalaman. Keheningan kini menjadi satu-satunya suasana di dalam mobil SUV Premium milik Ghazanvar yang kini melaju dengan kecepatan sedang di jalan berkelok-kelok. Mereka semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak lama kemudian mereka tiba di rumah Bunga dan Angga yang menyambut hangat. “Kalian mandi dulu aja, pakaian kalian sudah disiapkan di kamar,” kata Bunga sembari menuntun keluarga Ghazanvar masuk lebih jauh ke dalam rumah. Bunga dan Angga sudah mendapat informasi perihal kecelakaan itu secara detail dari mami Zara melalui sambungan telepon. “Lo enggak ke mana-mana, Ga?” Papi Arkana bertanya basa-basi. “Enggak lah, ya masa kalian datang kita pergi … acara yang ada kita batalin karena kedatangan kalian.” Entah kenapa papi dan om Angga sering ketus-ketusan kalau bicara. Anak-anak mereka sudah terbiasa dengan cara berkomunikasi papi dan om Angga sehingga tidak ada yang mempertanyakan. “Ghaza … kamu mandi di kamar Arsen dan Bunga di kamar Ana … kalian bawa baju ganti ‘kan?” “Bawa Tante.” Aruna yang menjawab. “Kalian istirahat aja, mungkin korban dimakamkannya agak siangan.” “Sok tahu,” tukas papi menimpali ucapan om Angga. “Nay bilang mau langsung dimakamkan setelah dimandikan,” sambungnya kemudian. “Ssssshhhh … kalian kalau ketemu kaya Tom and Jeri, ah … kesel!” Mami menghentakan kakinya sembari melangkah mengikuti tante Bunga menuju kamar tamu. Ghazanvar dan Aruna naik ke lantai dua, mereka tahu di mana letak kamar anak-anaknya tante Bunga dan om Angga yang disebutkan barusan. “Si Abang kena mental itu … tatapannya kosong, enggak fokus.” Tante Bunga mengungkapkan pendapatnya saat memberikan handuk kepada mami Zara. Diam-diam dia mengamati Ghazanvar semenjak datang dan putra dari sahabatnya itu sama sekali tidak bicara, gesture tubuhnya juga seperti orang linglung. Mami Zara mengembuskan napas gusar, beliau duduk di tepi ranjang dengan pundak melorot. “Ghaza masih menganggap dia yang menyebabkan kecelakaan itu karena melamun saat mengemudi padahal menurut Polisi enggak mungkin pagar pembatas jebol kalau ditabrak dengan kecepatan rendah apalagi dalam keadaan kendaraan mengerem … pagar pembatas baru bisa jebol kalau ditabrak dengan kecepatan tinggi.” Mami Zara mengatakan kembali apa yang disampaikan Kapolres tadi malam. “Mungkin hanya masih syok aja, perlahan dia akan lupa.” Tante Bunga mengusap pundak mami Zara lantas keluar dari kamar berpapasan dengan papi yang baru saja masuk ke dalam kamar. “Ayo mandi bareng, Mi.” Papi Arkana menarik kedua tangan mami Zara sampai beranjak dari tepi ranjang. Mami menurut mengikuti papi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh bersama-sama guna mempersingkat waktu karena ada pemakaman yang akan mereka hadiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN