Mami dan papi berusaha untuk tidak panik saat mendatangi kantor Polisi.
Mereka beralasan kalau kedatangannya ke sana lantaran merasa harus mendampingi putra dan putri mereka yang sedang dimintai keterangan sebagai saksi atas kecelakaan tersebut.
Kebetulan mami dan papi datang setelah beberapa saat Aruna dan Ghazanvar selesai dimintai keterangan jadi giliran mereka berdua yang bicara dengan Kapolres yang kebetulan sedang piket malam ini.
Sementara itu Ghazanvar dan Aruna duduk di sebuah bangku menatap kosong ke arah pelataran parkir.
Aruna masih syok dengan apa yang telah terjadi sedangkan Ghazanvar diliputi kebingungan dan kebimbangan.
Ghazanvar sama sekali tidak merasa senang saat orang-orang memuji sikap heroiknya yang berpikir kalau dia sengaja menghentikan kendaraan untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan mobil nahas itu lalu melaporkannya kepada yang berwajib.
Polisi juga mengucapkan Terimakasih kepada Ghazanvar padahal dia sudah mengatakan kronologis kejadian bagaimana sampai mobil itu melompat ke jurang tapi tanpa memberitahu kalau sebenarnya saat itu dia sedang melamun.
Mereka berpikir kalau itu adalah kecelakaan tunggal aebab tidak ada sedikitpun lecet di mobil SUV mewah yang dikemudikan Ghazanvar.
Namun sayang mereka semua salah mengira karena sesungguhnya Ghazanvar masih merasa kalau dirinya lah yang bertanggungjawab atas kecelakaan tersebut karena mengemudi sambil melamun sehingga stir oleng ke kanan kemudian mobil korban dari arah berlawanan berusaha menghindar yang mengakibatkan masuk jurang.
Ghazanvar membenci dirinya sendiri yang tidak berani mengatakan yang sebenarnya kalau dia sedang melamun sambil mengemudi.
Bibirnya kelu, wajahnya pucat, dia seperti orang linglung.
Setelah dilakukan evakuasi yang berjalan lancar dan cepat, diketahui kalau korban yang ada di dalam mobil nahas itu berjumlah dua orang dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan berusia paruh baya.
Jasad korban langsung dibawa ke Rumah Sakit yang jaraknya tidak jauh dari kantor Polisi.
“Bang, hey!” tegur mami melambaikan tangannya di depan Ghazanvar.
Mami dan papi sudah selesai bicara dengan Kapolres.
“Sepertinya anak Bapak dan Ibu masih syok atas kecelakaan tersebut,” kata Kapolres yang mengantar mami dan papi ke area depan kantor.
Padahal Ghazanvar sering berkelahi dan entah berapa orang yang nyawanya dia habisi dalam setiap perkelahian.
Namun mereka adalah orang jahat, beda kasus dengan korban kecelakaan ini yang sama sekali tidak Ghazanvar kenal.
Aruna memeluk Ghazanvar dari samping, dia sedih melihat sang kakak yang terguncang.
Tadi dia juga memberikan kesaksian yang menguatkan kalau sang kakak tidak bersalah, kakaknya tidak boleh sampai masuk penjara.
“Saya mendapat info kalau keluarga korban ingin berterimakasih, apakah Bapak dan Ibu beserta Ghazanvar dan Aruna bersedia datang ke rumah sakit? Letaknya tidak jauh, ada di sebelah kantor ini.” Kapolres menyampaikan pesan dari anggotanya yang ada di rumah sakit.
“Oh … boleh … boleh.” Mami menyetujui agar dugaan tentang Ghazanvar yang berjasa melaporkan kejadian tersebut lebih meyakinkan.
Ghazanvar melirik sang mami bersama gelengan kepala samar dibalas mami Zara dengan tatapan memaksa Ghazanvar untuk menghadapi semua ini.
Akhirnya mereka semua pergi ke rumah sakit diantar salah satu petugas Polisi.
“Pak Eka, Pak Cecep dan Pak Rukmana … ini adalah Ghazanvar, orang yang pertama kali melihat kejadian tersebut dan yang melaporkannya kepada kami.”
Mata Ghazanvar membulat setelah petugas Polisi yang mengantar mereka berujar demikian.
“Oh saya Pak Eka, kakak dari korban perempuan dalam kecelakaan itu … Terimakasih sudah melaporkan kejadian ini ya, Dek!” Seorang pria paruh baya tinggi kurus mengulurkan tangan.
Pria itu sangat berterimakasih tapi tampak berlebihan.
“Cecep,” kata pria paruh baya lainnya saat bersalaman dengan Ghazanvar.
“Saya Rukmana … kakak dari Pak Agus Rijadi yang mengemudi mobil itu.” Beliau berujar lugas penuh wibawa.
Ghazanvar menyalami mereka tanpa bersuara hanya senyum simpul yang dia paksakan di bibirnya.
Tok…
Tak …
Tok …
Tak …
Suara hentakan sepatu ke lantai terdengar mendekat mengambil alih perhatian mereka.
Dari jauh mereka semua melihat seorang gadis berlari mendekat dengan raut panik dan cemas.
“Paman … mana ibu sama bapak?” Gadis cantik itu bertanya saat langkahnya sudah hampir dekat.
Pria paruh baya bernama Cecep tiba-tiba menangis kemudian meraung sembari perlahan menjauh mungkin di antara keluarga yang lain dia yang paling peka, tidak tega memberitahu berita duka ini kepada gadis cantik yang Ghazanvar duga adalah putri dari korban kecelakaan.
Dan saat itu hati Ghazanvar kian diliputi perasaan bersalah.