Mimpi Buruk

1415 Kata
Mimpi buruk sedang membayangi Ghazanvar dalam tidurnya. Kilasan tentang kecelakaan tempo hari terus berputar seperti kaset rusak. Dari mulai Ghazanvar sedang melamunkan Zaviya kemudian stir yang oleng ke kanan lalu dia banting ke kiri dan terakhir saat melihat mobil kedua orang tua Naraya melompat ke jurang kemudian meledak. “Pembunuh!” seru Naraya menatap marah di dalam mimpi Ghazanvar. “Aaargh!” Ghazanvar tersentak bangun dalam posisi duduk. Keringat membanjiri tubuhnya, napas pria itu juga memburu dengan jantung berdetak kencang. Sudah tiga hari semenjak kecelakaan itu terjadi dan setiap malam, Ghazanvar selalu bermimpi hal buruk yang sama. Dia mengusap wajahnya bersama hembusan napas panjang. Naraya dan kecelakaan orang tuanya resmi mengambil alih pikiran Ghazanvar dari Zaviya. Ghazanvar melirik jam yang tergantung di dinding, waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi. Dan seperti sebelumnya, Ghazanvar tidak bisa tidur lagi. Dia yang pertama menghuni meja makan pagi ini. Berturut-turut adik-adiknya datang dengan pakaian rapih siap pergi bekerja. Arnawarma, Reyzio dan Narashima mengetahui kecelakaan tersebut hanya sebatas sang kakak dan Aruna menjadi saksi dalam kecelakaan. Ketiga adik laki-laki Ghazanvar itu tidak tahu kalau sang kakak mengemudi sambil melamun, mereka juga tidak tahu kalau Ghazanvar sedang didera perasaan bersalah yang begitu besar. Jadi tidak ada yang membahas perihal kecelakaan tersebut apalagi prihatin dengan perasaan yang Ghazanvar rasakan saat ini. “Pagi ….” Mami muncul diikuti papi. “Wuiiih, udah kumpul nih.” Papi menyapa, tangannya iseng mengusap kepala Aruna yang rambutnya telah disisir rapih. “Papiiiii… kan jadi berantakan lagi rambut Arunanya.” Aruna mengerang. “Kamu enggak usah cantik-cantik ya, kamu mau kuliah atau mau cari jodoh?” Sorot mata papi seakan mengancam yang tentu saja hanya pura-pura belaka. Aruna mencebikan bibirnya seraya mendelik sebal. “Aruna jomblo ya karena ini … diposesifin terus, Aruna juga ingin kaya teman-teman Aruna yang lain, pacaran, ciuman, check in—“ “Eeeh … eeeh … eeeh ….” Papi, Arnawarma, Reyzio dan Narashima kompak menodongkan garpunya ke arah Aruna disertai tatapan tajam. “Awas aja, Mas Nawa pelintir leher pacar kamu.” “Ka Zio hancurin mobilnya.” “Mas Nara pukulin tuh cowok.” “Bagus!” Papi memberikan kedua jempol kepada ketiga putranya. Lalu mereka semua menoleh pada Ghazanvar karena tidak ikut mengancam Aruna. Pria itu tengah melamun menatap kosong makanan yang sedang dia aduk-aduk tanpa selera. “Baaaang,” panggil mami lembut seraya menyentuh tangannya. “Ya Mi?” Ghazanvar refleks menoleh menatap mami. Mami mengembuskan napas panjang, kepalanya meneleng menatap Ghazanvar. “Masih mikirin Zaviya, Bang? Memang enggak ada cewek lain apa?” Narashima terdengar mengeluh. “Banyaaaaaak, tapi si abang tuh harus dia yang suka duluan … sedangkan dari jutaan cewek di dunia ini, si abang sukanya cuma sama Zaviya.” Arnawarma bersarkasme. “Tapi memang ya Bang, jaman sekarang itu … gadis dan janda kalah sama istri orang.” Reyzio menambahkan. Ketiga adik laki-laki Ghazanvar beserta papi lantas tertawa, tawa papi yang paling kencang sampai mengambil alih perhatian mami. “Istri siapa yang lagi Papi incer?” Mami bertanya dengan nada dingin tapi galak. “Istri Papi laaaaaah.” Papi langsung menjawab dengan raut wajah takut-takut, papi cubit dagu mami yang lancip membuat semua anaknya tertawa kecuali Ghazanvar. Biasanya Ghazanvar yang paling nyeleneh dan selalu memiliki banyak joke untuk memeriahkan suasana. Tapi tidak beberapa hari ini, si sulung menjadi sangat pendiam semenjak menyaksikan kecelakaan nahas itu. Hanya mami, papi dan Aruna yang mengetahui penyesalan Ghazanvar dan mengerti kenapa pria itu menjadi semakin murung. *** “Gue mau pengakuan dosa,” kata Ghazanvar saat sosoknya baru saja memasuki ruangan Anasera di dalam sebuah lounge yang mulai dipenuhi pengunjung setelah jam pulang kerja. Ghazanvar tidak bisa memendam sendiri apa yang sedang dia rasakan dan menurutnya hanya kedua sahabatnya yang bisa mengerti. Radeva dan Anasera menatap malas Ghazanvar kemudian merotasi bola matanya. Padahal Radeva dan Anasera sedang sibuk berdiskusi membahas bisnis ilegal mereka dalam menghadapi Liga Bola yang baru saja dimulai. “Diem lah, kita lagi bahas hal penting.” Radeva berujar ketus. “Kalian enggak mau tahu apa yang mau aku omongin?” Ghazanvar jadi kecewa, menjatuhkan bokongnya di sofa. “Kita udah tahu Ghaza,” balas Anasera malas-malasan. “Tahu apa?” Ghazanvar menantang. “Kamu merasa bersalah atas kecelakaan itu.” Radeva yang pertama menjawab. “Kamu berpikir kalau kamu yang mengakibatkan kecelakaan itu,” sambung Anasera. “Kamu berpikir seperti itu karena kamu nyetir sambil ngelamun mikirin Zaviya.” Radeva menambahkan. “Ada kemungkinan kamu sempat mengambil jalan pengemudi naas itu yang membuatnya banting stir ke kanan dan masuk jurang.” Anasera mengungkapkan dugaannya. Kedua sahabatnya memang sudah mendengar tentang kecelakaan tersebut, informasi yang diterima sama dengan yang diterima semua orang yaitu Ghazanvar hanya saksi. Tapi Radeva dan Anasera mengenal Ghazanvar semenjak lahir dan mereka bersahabat jadi sudah bisa membaca jalan pikiran pria yang setelah menyaksikan peristiwa kecelakaan menjadi semakin pendiam. “Kok … kalian … tahu?” Ghazanvar merasa terharu. “Halaaaaaah, kamu tuh ya jadi Mafia cemen banget sih, Ghazaaaaaa … urusan duel kamu memang jagonya tapi giliran urusan hati dan nurani, lemaaaaah.” Radeva mengibaskan tangannya mencela Ghazanvar. “Soalnya dia Mafianya Mafia baik hati dan suka menolong … Kartel narkoboy dari Columbia sampai puter balik enggak jadi masuk Indonesia gara-gara dia yang tidak ingin generasi penerus Indonesia hancur … kamu juga jago banget memeras para elite Asing yang ngerugiin Negara, jadi Mafia kasus tapi buat orang-orang kecil yang terdzolimi ….” Anasera tergelak diakhir kalimatnya. “Daddy Bianco ngedidik kamu selama lima tahun di Italy bukan buat jadi Guardian Angel tapi buat jadi Demon, Ghazaaaaa.” Radeva menimpali. “Ya terus, ngapain kalian ikut-ikutan?” Ghazanvar mencibir. “Sorry ya, kita lagi bahas tentang Liga Bola ini …,” kata Radeva menunjuk meja seolah di sana ada rancangan rencananya. “Sahabat macam apa kalian yang enggak ngajak-ngajak urusan duit?” kata Ghazanvar menegakan punggungnya, dia siap bergabung dalam diskusi tersebut. “Memang Bipolar si Ghaza, tadi murung sekarang antusias kalau udah urusan duit,” celetuk Anasera. “Soalnya kalian enggak peduli perasaan aku.” Ghazanvar menunjukkan tampang nelangsa. “Bukan enggak peduli, Ghaza … tapi ya abis mau gimana lagi, semuanya udah terjadi … korban udah meninggal … lagian itu juga sebagian dari takdir, ya udah sih!” Anasera berlogika. “Gimana ya caranya biar bisa lupain kecelakaan itu? Perasaan aku lebih merana sekarang dibanding dapet ultimatum dari Zaviya kemarin.” “Hypnotheraphy coba?” cetus Radeva memberi ide. “Iya nanti dia juga lupa siapa dirinya,” timpal Anasera yang tidak setuju dengan ide Radeva. “Memang iya?” Radeva mengernyit. Anasera mengendikan kedua bahunya. “Mungkin.” Dan dibalas tatapan malas Radeva. “Nanti juga lupa, lagian kamu sugestiin aja di otak kamu kalau bukan kamu penyebab kecelakaan itu.” Anasera memberi masukan yang lebih mudah dan aman dilakukan. Ghazanvar mengembuskan napas kasar. “Udah lah, bahas dulu ini … bagi tugas kita,” kata Radeva lagi melanjutkan diskusi tentang bisnis ilegal. Ketiga anak orang kaya yang nakal itu melakukan bisnis ilegal sebenarnya hanya iseng belaka lantaran haus adrenalin. *** “Kalian pulang aja, aku bisa urus semuanya sendiri.” Naraya jadi tidak enak hati karena Afifah dan Anggit memaksa menemaninya mengurus segala persuratan dan kewajiban ahli waris dalam menyelesaikan urusan almarhum dengan pihak lain. “Enggak apa-apa, kita nginep sehari lagi deh … besok pulang, biar kamu enggak terlalu lama sendiriannya.” “Enggak, Peh … pulang kalian sekarang, aku enggak enak sama orang tua kalian karena kalian bolos kuliah.” Naraya tidak setuju dengan niat Afifah yang ingin menginap sehari lagi. “Memangnya kamu bisa ngurus pengajian sendirian sampai hari ke tujuh? Kamu tuh Cuma punya kita, mana coba keluarga kamu? Cuma paman Rukmana yang peduli tapi beliau punya pekerjaan dan keluarga … udah lah Nay, jangan enggak enakan gitu … kalau kamu jadi aku, kamu akan melakukan hal yang sama, kan?” Anggit berujar tegas. Naraya menganggukan kepalanya. “Pasti.” Kata Naraya langsung menjawab tanpa perlu berpikir. “Ya udah, kita tidur yuk! Besok harus ke pasar beli makanan buat pengajian ….” Afifah menjeda kalimatnya karena menguap. “Bisa enggak kita beli makanan pengajiannya di Supermarket aja, barusan abah transfer sepuluh juta untuk uang santunan orang tua kamu.” Dengan santai Afifah memberitahu. “Bisaaaaaaaa.” Anggit yang menjawab dengan riang gembira sembari menarik tangan Naraya dan Afifah menuju kamar orang tua Naraya. Setiap malam mereka tidur di sana umpel-umpelan di kasur king size. Naraya pikir dia akan sendirian, ternyata dia salah. Masih ada Anggit dan Afifah yang menyayanginya seperti saudara sedarah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN