Harus Bertanggung Jawab

1690 Kata
“Ghazanvar!” Suara kakek Narendra berseru marah menggelegar di ruangan rapat yang cukup luas itu membuat bukan hanya Ghazanvar tapi para cucu dan beberapa pimpinan di perusahaan AG Group kemudian terhenyak karena terkejut. “I … iya, Kek! Eh … Pak!” Ghazanvar menyahut terbata. Wajahnya pucat pasi, gerak tubuhnya menjadi serba salah. “Kamu itu saya panggil-panggil dari tadi malah ngelamun … kinerja perusahaan juga menurun, mau kamu apa? Hah?! Kamu mau resign atau saya pecat!” Kakek Narendra sudah tidak bisa menahan dirinya untuk bersabar lagi menghadapi Ghazanvar. Selama ini baru Ghazanvar keturunannya yang malas-malasan dan tidak produktif hanya karena seorang perempuan. Kakek yang mengetahui kalau Ghazanvar hanya sebagai saksi dari kecelakaan tempo hari di Sukabumi menganggap sikap Ghazanvar yang semakin hari semakin jauh dari kata normal itu karena masih memikirkan Zaviya. Ghazanvar jadi lebih sering melamun dan murung dari sebelumnya. Dan lebih gilanya lagi, Ghazanvar berani melamun dalam rapat di saat kinerja perusahaannya berada di tingkat paling rendah bahkan dari perusahaan yang baru dibangun dan berjalan belum sampai satu tahun. “Maaf … Pak, saya tidak akan mengulanginya lagi.” Sorot mata Ghazanvar tampak memohon, menyesal dan tersirat banyak ketakutan. Kakek Narendra jadi berpikir kalau mungkin ada hal lain yang sedang membebani pikiran Ghazanvar. Semua orang yang duduk mengelilingi meja rapat menundukan kepala, tidak berani menatap wajah Ghazanvar apalagi pemimpin tertinggi AG Group yang sedang murka. Mereka tidak tega mendengar Narendra Gunadhya memecat cucunya sendiri yang mana sepanjang sejarah belum pernah terjadi. Namun setegas-tegasnya kakek tetap saja hatinya menyayangi semua cucu-cucunya. Beliau yang baru saja merasa ada hal lain yang mengganggu pikiran Ghazanvar itu berusaha mengendalikan diri dan berhenti mencecar Ghazanvar. Delikan tajam dengan sejuta kesal Ghazanvar dapatkan dari sang kakek, ini lebih baik dari pada dipecat dari perusahaan keluarga dan untuk delikan tajam ini Ghazanvar dengan lapang d**a menerimanya. Ghazanvar menyadari kesalahannya dan dia kesal juga benci pada dirinya sendiri lantaran selalu berhasil dikuasai oleh pikirannya yang riuh dan berisik menyalahkannya atas kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua Naraya. Sisa waktu rapat itu Ghazanvar berusaha fokus mendengarkan apa yang disampaikan kakek tanpa suara. Dan setelah akhirnya rapat berakhir, ketiga adik dan para sepupu menepuk pundak Ghazanvar saat melewatinya untuk meninggalkan ruangan rapat. Mereka semua prihatin dengan Ghazanvar mendapat murka kakek tadi tapi tidak bisa menyalahkan kakek juga sebab dalam kasus ini Ghazanvar lah yang salah. “Duluan, Kek.” Ghazanvar pamit. Kakek sama sekali tidak menyahut, pura-pura sibuk membaca sesuatu di MacBooknya. Svarga-sepupu Ghazanvar-anak dari aunty Kejora-adik bungsu papi Arkana dan merupakan suami Zaviya merangkul pundak Ghazanvar saat mereka keluar berbarengan dari ruang rapat. “Kita makan siang?” ajak Svarga, tumben-tumbenan pria itu ramah padahal biasanya dingin, ketus dan ekspresi wajahnya seperti ngajak duel bila bertemu Ghazanvar. “Aku mau ketemu klien,” tolak Ghazanvar secara halus. “Oh … come on … kamu menghindari aku?” Svarga menghentikan langkah di depan lift, menunggu pintunya terbuka. “Enggak,” jawab Ghazanvar singkat, memutus tatap dengan Ghazanvar yang menatapnya penuh selidik. “Masih belum bisa melupakan istriku?” Svarga yang sudah menjauhkan tangannya dari pundak Ghazanvar pun bertanya dengan nada rendah bukan bermaksud memprovokasi. Ghazanvar tidak menjawab, dia sembunyikan kedua tangannya di saku celana dengan pandangan tertuju pada pintu lift. “Oh ya … selamat atas kelahiran anak pertama kamu, maaf … aku belum bisa jenguk.” Ghazanvar mengalihkan topik pembicaraan Mereka berdua masuk ke dalam lift kosong setelah pintunya terbuka. “Jenguk donk, kapan-kapan ….” Svarga sedang memperbaiki hubungannya dengan Ghazanvar setelah perkelahian dan pertikaian yang terjadi di antara mereka gara-gara Ghazanvar terang-terangan meminta Svarga menceraikan Zaviya dan mengatakan kalau pria itu akan menikahi Zaviya. “Iya … nanti,” sahut Ghazanvar tidak bersemangat. “Apa yang membuat kamu jatuh cinta sama Zaviya?” Pertanyaan Svarga itu disertai raut wajah yang berubah tegang. Ghazanvar menoleh menatap Svarga lantas mengembuskan napas jengah, dia sedang tidak ingin berdebat apalagi berkelahi dengan Svarga. “Dengar Svarga! Aku sedang banyak masalah jadi jangan pancing aku ….” Ghazanvar memberi ultimatum tegas, memberitahu Svarga kalau Ghazanvar sudah tidak memikirkan Zaviya lagi. “Oke … Sorry, jadi karena apa? Apa aku bisa membantumu?” Ting … Pintu lift terbuka sebelum Ghazanvar sempat menanggapi ucapan sepupunya itu. Keduanya menarik langkah keluar dari lift melintasi mobil menuju di mana mobil mereka berada dengan driver duduk dibalik kemudi. “Nanti lah aku ceritakan, aku harus bertemu klien dulu sekarang.” Ghazanvar menatap Svarga sebentar sebelum akhirnya dia menarik handle pintu lalu masuk ke dalam mobilnya. Berulang kali Ghazanvar yang duduk di kursi penumpang belakang mengembuskan napas gusar, dia mengusap wajahnya kasar lalu menyugar rambut ke belakang. Ghazanvar sangat frustrasi lantaran mimpi tentang kecelakaan tersebut semakin hari semakin jelas saja dan dalam mimpi itu seolah mereka ulang kejadian dengan Ghazanvar yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan. Tangis Naraya juga tidak berhenti berkelebat dalam benaknya membuat Ghazanvar didera perasaan bersalah yang hebat. “Pak, kita ke rumah sakit mami.” Ghazanvar memberi instruksi kepada sang driver. “Baik, Pak.” Driver itu pun menyahut cepat. Setelah itu dia merogoh ponsel dari saku jas untuk menghubungi sekretaris dan orang kepercayaannya. “Selamat siang Pak Ghazanvar.” Alex menjawab panggilan itu padahal Ghazanvar belum merasa mendengar nada sambung. “Lex, suruh Mita yang ketemu pak Sudibyo … saya masih ada urusan.” Yang berarti Alex harus berkoordinasi lagi dengan sekertaris pak Sudibyo atas kealpaan Ghazanvar. “Baik, Pak.” Sebagaimana sekretaris pada umumnya, Alex akan menyanggupi apapun keinginan Ghazanvar meski harus terjun ke jurang sekalipun. Dan sambungan telepon diputus sepihak oleh Ghazanvar. Alex meninju udara menggunakan kedua tangannya yang berurat lantaran tidak bisa menahan emosi kepada Ghazanvar yang sudah sebelas kali membatalkan pertemuan dengan pak Sudibyo dan di pertemuan yang sudah disepakati ini pria itu malah mengirim CMO-nya untuk menghadiri meeting. Bayangkan, mau disimpan di mana wajah Alex yang terus-terusan berkoordinasi dengan sekretaris pak Sudibyo guna meralat jadwal Ghazanvar. “Pak Alex,” panggil Mita dengan ekspresi penuh tanya membuat Alex berhenti bergerak. “Eh … Bu Mita, barusan pak Ghaza telepon katanya Bu Mita yang nemuin pak Sudibyo karena pak Ghaza masih ada urusan.” Alex menyampaikan pesan dari sang bos sadboy. Tentu dia tahu tentang Ghazanvar yang menyukai istri dari adik sepupunya. “Oooh … oke.” Mita tampak kecewa. Dan dari sana dia jadi mengetahui kalau Ghazanvar belum kembali ke kantor dari meeting di kantor pusat. “Ini berkas yang harus Ghaza … eh, pak Ghaza tanda tangani.” Mita menyimpan satu map berkas ke meja Alex. “Mau saya antar ketemu pak Sudibyo, Bu?” Alex menawarkan. “Boleh, Pak Alex … soalnya pak Sudibyo itu agak genit.” Mita terdengar mengeluh. “Baik Bu Mita, saya selesaikan pekerjaan saya dulu nanti saya jemput ibu ke ruangan.” “Oke … Thanks ya, Pak Alex.” Senyum Mita terkembang saat melangkah meninggalkan Alex. “Ah si Bos jahat nih, ngumpanin bu Mita ke pak Dibyo.” Alex mendengkus, dia sudah bisa membaca jalan pikiran sang bos. *** “Mi, Abang butuh psikiater kayanya.” Mami Zara yang sedang membaca sesuatu di MacBook-nya lantas menelengkan kepala menatap wajah sang putra di balik layar datar canggih tersebut. Mami tidak bicara, hanya menatap Ghazanvar mengamatinya. Ghazanvar baru tiba beberapa menit lalu dan langsung duduk di depan meja kerjanya kemudian melamun. Mami membiarkan Ghazanvar tenggelam dalam lamunan selama beberapa saat karena dia juga sedang banyak pekerjaan sampai akhirnya sang putra bersuara, mengutarakan niat datang menemuinya di jam makan siang ini. “Abang enggak bisa tidur, tiap malam Abang mimpi tentang kecelakaan itu dan di dalam mimpi Abang lah yang salah, Mi ….” Ghazanvar mengembuskan napas gusar sembari mengusap wajahnya. “Di dalam mimpi juga Nay selalu muncul dan mengatai Abang sebagai pembunuh,” sambung Ghazanvar lagi mengadu. Sang putra terlihat frustrasi, belum lagi mami baru saja mendengar dari adik-adiknya Ghazanvar kalau baru saja si sulung mendapat hardikan dari sang kakek lantaran kinerja perusahaan menurun dan dia melamun ketika meeting sedang berlangsung. Mami mengembuskan napas panjang, mencopot kaca mata yang kemudian beliau letakan di atas meja. Punggung mami bersandar di sandaran kursi kebesarannya lantas melipat tangan di d**a. “Gimana kalau kita ketemu, Nay? Kita ke rumah orang tuanya aja.” Mami mencetuskan ide gila. Ghazanvar sangat takut dengan Naraya yang muncul di dalam mimpinya dan sekarang mami malah mengajak bertemu gadis itu. “Miiiii ….” Ghazanvar mengerang. “Trauma itu harus dilawan, Bang … harus dihadapi, coba kamu banyakin ngobrol sama Nay ….” Kening Ghazanvar mengkerut dalam, kenapa ide maminya semakin sini malah semakin ke sana? Jangankan mengobrol dengan Naraya, bertatap muka saja Ghazanvar takut. “Ngobrol apa Mi?” Wajah Ghazanvar mengkerut putus asa. “Ya kamu tanya gimana perasaannya, terus kamu tenangkan dia … temani dia, Nay ‘kan sudah enggak punya orang tua lagi … dia kesepian … kamu liat sendiri keluarganya hanya pak Rukmana yang peduli tapi pak Rukmana juga punya keluarga … jadi kamu mengambil peran, selalu ada di samping Nay di masa-masa awal Nay kehilang orang tuanya karena ini yang paling berat … beradaptasi dari yang tadinya ada menjadi tidak ada ….” Mami menjeda agar Ghazanvar bisa mencerna ucapannya dengan seksama. Ghazanvar tercenung, dia mengolah kembali apa yang baru saja mami sampaikan. “Dengan kamu bisa berada di sisi Nay, kamu bisa mengerti perasaannya … mungkin awal-awal kamu akan merasakan kesedihan Nay tapi lama-lama dengan dukungan dan semangat dari kamu—Nay akan bangkit dan kembali menjalani kehidupannya seperti dulu … cerianya akan muncul kembali, sampai akhirnya Nay bisa merasakan kebahagiaan lagi,” sambung mami terdengar masuk akal bagi Ghazanvar. “Gitu ya Mi?” Ghazanvar masih tampak berpikir. “Iya … dan perlahan kamu bisa melupakan kejadian itu saat kamu sudah melihat Naraya bahagia.” Mami mengakhirinya dengan senyum penuh arti lantaran baru terbesit dalam benaknya untuk menjodohkan Ghazanvar dengan Naraya. Selain apa yang dikatakannya barusan akan terlaksana dengan lancar, Ghazanvar juga bisa benar-benar melupakan Zaviya. Menurut mami, Naraya cantik dan baik hati. Dua kriteria itu cukup untuk menjadi menantunya. “Kita pergi besok pagi ya Mi, Abang yang nyetir.” Ghazanvar setuju dengan ide mami Zara, dia telah membuat Naraya kehilangan kedua orang tuanya maka dia juga harus bertanggungjawab atas kebahagiaan Naraya ke depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN