Konflik Keluarga

991 Kata
Ghazanvar yang sudah berpakaian rapih siap berangkat ke Bandung sedang berjongkok untuk memasukan makanan anabul ke dalam dispenser. Chiko-kucing peliharaan Ghazanvar datang mendekat, mengendus-endus wadah yang kemudian terisi makanannya. Ghazanvar mengelus-ngelus kepala Chiko yang tengah lahap menikmati sarapan pagi. “Daddy pergi dulu ya, kamu boleh keluar kamar tapi enggak boleh keluar rumah,” kata Ghazanvar berpesan. “Meow ….” Chiko menyahut kemudian melanjutkan kembali sarapan paginya. Ghazanvar bangkit dan menarik langkah keluar dari kamar. “Bi, tolong nanti siang Chiko dikasih makanan basah ya! Jangan lupa tutup pintu belakang biar Chiko enggak keluar … nanti kaya kemarin susah nyarinya.” Ghazanvar berpesan ketika bertemu asisten rumah tangga di ruang tamu di mana seluruh keluarganya ternyata sudah berkumpul. “Iya, Bang.” Wanita paruh baya itu merespon cepat lantas pergi karena sudah tidak memiliki kepentingan di sana. “Ih … ganteng banget anak, Mami.” Mami mengusap-ngusap pundak Ghazanvar membersihkan entah apa di sana begitu sang putra mengambil duduk di sampingnya. “Pagi Mi.” Ghazanvar mengecup pipi mami Zara. “Setelah sarapan kita pergi ya,” kata papi memulai sarapan pagi ini berhubung personil sudah komplit. “Papi ikut juga?” Ghazanvar bertanya. “Ikut donk! Papi mau ketemu Nay.” Papi menjawab dengan mulut penuh makanan. “Aku juga ikut,” celetuk Arnawarma. “Kamu bukannya mau ngedate sama Ana?” kata Ghazanvar mengingatkan. Beberapa waktu lalu Anasera pernah bercerita kalau Arnawarma gigih sekali mengajaknya berkencan. “Aku batalin demi kamu, Bang.” Arnawarma terlihat bangga sekali pada dirinya sendiri lantaran berhasil mendahulukan kepentingan keluarga dibanding kepentingan pribadi. “Aku juga ikut,” timpal Reyzio. “Nanti Adinda enggak nyariin?” kata Ghazanvar sembari menyantap sarapan paginya. “Aku udah bilang mau nemenin Abang menghilangkan trauma.” Reyzio mengatakannya dengan nada puitis. Ghazanvar baru menyadari sesuatu, matanya menatap satu persatu anggota keluarganya. “Mami cerita sama mereka tentang apa yang menjadi beban pikiran kamu mengenai kecelakaan di Sukabumi … kita keluarga, semua harus tahu agar bisa saling mendukung.” Mami menjelaskan agar ekspresi wajah Ghazanvar berhenti bertanya-tanya. “Aku juga ikut, Bang … nanti kita bisa gantian nyetir.” Narashima bersuara. “Oke … jadi Mas Nara sama Abang Ghaza duduk di depan, aku, mami sama papi di tengah terus Mas Nawa sama Kak Zio di belakang, pas banget ya! Kita liburan keluargaaaaa!” Aruna berseru sambil bertepuk tangan tampak bahagia mengingat setelah mereka beranjak dewasa sudah jarang liburan bersama. Kakak-kakaknya selalu saja memiliki urusan pribadi atau urusan pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Dan perjalanan mereka dengan personil lengkap ke Bandung menggunakan kendaraan beroda empat kali ini akan menjadi moment menyenangkan bagi Aruna. Bukan masalah bagi mereka bertujuh yang harus muat ke dalam satu mobil sebab mobil yang mereka miliki semuanya adalah mobil mewah yang nyaman. Apalagi perjalanan Jakarta ke Bandung hanya memakan waktu beberapa jam saja jika mereka pergi di pagi hari seperti sekarang. Untuk tempat menginap, mereka berencana akan bermalam di salah satu Villa milik keluarga di daerah Dago Atas. Mereka sampai di Bandung sebelum jam dua belas siang, sengaja tidak mengabari tante Bunga dan Om Angga agar tidak mengganggu kesibukan mereka. Dan Aruna memilih sebuah caffe yang berada di Kota Baru Parahyangan untuk makan siang. “Udah enggak jauh ‘kan dari sini?” celetuk Reyzio bertanya. “Udah deket,” jawab Ghazanvar singkat. “Tegang enggak kamu, Bang?” Papi Arkana sedang menggoda Ghazanvar karna sudah terinfo tentang misi menjodohkan si sulung dengan Naraya. Papi sih, oke-oke saja dengan ide mami Zara. “Deg-degan Abang, Pi.” Ghazanvar meletakan satu tangannya di d**a, ekspresi wajahnya tampak serius. Dia balas menanggapi godaan papinya. “Kaya mau ketemu pacar ya, Bang?” Itu Aruna, dia tidak tahu misi mami dan papi tentang perjodohan, berujar demikian hanya karena kepolosannya semata. Ghazanvar memutus tatap, menundukan pandangan bersama senyum tipis. Pria itu tidak pernah serius berpacaran, tapi dia serius setiap kali meniduri banyak perempuan sampai mereka semua ketagihan tapi seriusnya Ghazanvar hanya sebatas di atas ranjang saja selebihnya Ghazanvar tidak pernah menggunakan hatinya, dia sulit untuk jatuh cinta. Bisa dibilang Zaviya adalah perempuan pertama yang berhasil membuat Ghazanvar jatuh cinta bila cinta diartikan sebagai sebuah keinginan untuk hidup bersama berbagi suka dan duka, bukan hanya tidur bersama. Makanan pesanan mereka datang jadi semua berhenti bicara untuk mengisi perut. Tidak ada pembicaraan tentang Naraya lagi hingga makan siang selesai lalu papi yang membayar tagihan. Papi menjadi yang terakhir masuk ke dalam mobil dan Ghazanvar mengemudikan SUV mewah itu menuju kediaman orang tua Naraya. Ghazanvar memelankan laju kendaraannya beberapa meter sebelum rumah Naraya setelah melihat kerumunan kecil warga di depan rumah Naraya. “Ada apa itu, Pi?” Mami bertanya sembari celingukan ke kabin depan guna menjangkau penglihatan ke arah rumah Naraya agar lebih jelas. “Tahlilan paling.” Papi menjawab asal. “Masa tahlilan siang- siang, ngaco ah si Papi.” Mami menggerutu. “Kita parkir di sini aja, Bang … ayo turun.” Mami penasaran sekali dengan apa yang terjadi di rumah Naraya karena bukan hanya ada kerumunan kecil warga saja tapi juga ada sebuah mobil SUV dan beberapa motor terparkir di garasi rumah Naraya. Mengikuti instruksi mami Zara, dengan cepat Ghazanvar memarkirkan mobil lalu turun karena dia juga penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Ketujuh orang Jakarta bermarga Gunadhya itu berjalan menyeberang jalan untuk tiba di halaman rumah Naraya, apa yang melekat di tubuh mereka beserta gesture yang penuh percaya diri membuat ketujuh orang itu tampak kontras dengan warga di sana. Beberapa warga yang berkerumun di depan rumah Naraya telah menyadari kehadiran Gunadhya tapi beberapa di antara mereka masih asyik menyaksikan apa yang terjadi di dalam. “Pokoknya saya enggak setuju! Ini harus jelas dulu! Enggak bisa main jual aja rumah ini, buktikan dulu!” Terdengar suara lantang Pak Rukmana dari dalam rumah. Mami dan papi saling pandang sedangkan Ghazanvar refleks mempercepat langkah, mengurai kerumunan hingga dia tiba lebih dulu ke teras depan rumah Naraya. “Tunggu di sini,” kata mami kepada ke empat anaknya yang lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN