Tawaran Mengejutkan

1149 Kata
Beberapa orang yang duduk di kursi teras langsung berdiri mempersilahkan mereka duduk. “Bu Zara … Pak Arkana … Ghaza.” Pak Rukmana menyebut nama mereka bertiga yang sudah berdiri di depan pintu. Beliau bangkit dari kursi di ruang tamu di mana kini telah dipenuhi banyak orang dans menjadikan mami papi serta Ghazanvar sebagai pusat perhatian. Semua paman Naraya ada di sana bersama para istri dan seorang pria asing yang baru mereka lihat. Yang pertama kali Ghazanvar cari adalah Naraya, gadis itu terlihat sedang mengusap air matanya dengan mata bengkak sehabis menangis. Mata bulat Naraya menatap Ghazanvar penuh tanya. “Pak Rukmana, apa kabar? Saya kebetulan ada acara di Bandung jadi mampir ketemu Nay.” Mami Zara beralasan, beliau memberikan sebuah keresek besar berisi kue kepada Pak Rukmana. “Haduuuh, Terimakasih Ibu dan Bapak baik sekali … mohon maaf sekali ini, Pak … Bu … Ghaza … kami sedang ada pertemuan keluarga, tapi bila Ibu dan Bapak berkenan silahkan bersistirahat di ruang televisi.” Pak Rukmana mempersilahkan mami papi dan Ghazanvar untuk masuk setelah menerima bingkisan dari mami. Dengan kode sorot matanya, papi mengajak mami pergi tapi melihat wajah Naraya banjir air mata—mami menebalkan muka menerima sambutan Pak Rukmana. Terpaksa papi mengalah dengan ikut masuk ke dalam rumah melewati ruang tamu mengekor mami yang sudah masuk lebih dulu diikuti Ghazanvar paling belakang. Papi sempat menatap seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam karena mengetahui siapa sebenarnya pria itu sedangkan yang bersangkutan tidak mengenali papi. “Nay … kamu temenin orang Jakarta dulu di dalam … biar ini Paman yang selesaikan,” kata paman Rukmana membuat Naraya berdiri. “Tunggu dulu, Pak … sebagai ahli waris justru Nay berperan penting … dia harus memutuskan kecuali bersedia membayar bunga perharinya.” Pria asing yang papi ketahui bernama Surawijaya angkat bicara saat Naraya hendak pergi dari ruangan itu membuat papi mami dan Ghazanvar menghentikan langkah di tengah-tengah ruang tamu belum sempat mencapai ruang televisi. “Ah … begini Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu … saya sebagai orang luar mungkin bisa menjadi penengah atau memberikan masukan atas masalah yang sedang dibahas saat ini … siapa tahu saya bisa membantu.” Papi akhirnya mengambil peran karena dia juga penasaran sekali apa yang sedang dibahas sampai Naraya harus menitikan air mata. Paman-paman Naraya saling menatap kemudian menganggukan kepala karena sebenarnya mereka juga sudah lelah berdebat dari pagi untuk mencari solusi dari masalah ini. “Baiklah … sepertinya ide bagus Pak Arkana ….” Pak Rukmana memutuskan lalu meminta anaknya membawa tiga kursi ruang makan untuk papi mami dan Ghazanvar agar bisa duduk bersama mereka di ruang tamu yang luas itu. “Jadi begini Pak, kedua pamannya Naraya ini yaitu pak Eka dan Cecep ingin menuntut warisan dari mendiang almarhumah ibunya Nay—“ Kalimat pak Rukmana terhenti. “Bukan, tidak seperti itu ….” Paman Eka menyela untuk meluruskan. “Jadi begini, Pak … adik saya itu menjual tanah warisan kedua orang tua kami … dia memang sempat meminta ijin untuk menjual tanah demi membayar sebagian rumah ini yang merupakan hak dari pak Rukmana … saat itu pak Rukmana akan menyalonkan diri sebagai Lurah dan membutuhkan biaya sedangkan rumah ini adalah rumah warisan orang tua pak Rukmana dan pak Agus … saya dan Cecep tidak mempermasalahkan karena saat itu belum butuh tapi sekarang kami sangat membutuhkannya jadi ingin mengambil hak kami … kami minta Nay agar segera menjual rumah ini,” tutur Eka memutar balikan fakta karena menganggap Naraya tidak tahu yang sebenarnya. “Enggak! Yang ibu jual untuk melunasi haknya paman Rukmana adalah tanah warisan bagiannya ibu … punya Paman Eka dan Paman Cecep ‘kan sudah dijual ke pak Ajat … kenapa Paman tega ngaku-ngaku?” Naraya berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis, tapi tangisnya pecah juga di akhir kalimat. “Alaaah … kamu tahu apa sih?!” seru paman Eka ketus. Mami dan papi langsung memberikan tatapan penghakiman, mereka bisa menilai kalau pak Eka yang berbohong. Sedangkan pak Cecep diam saja tapi dia mengangguk-anggukan kepalanya seolah membenarkan semua ucapan pak Eka. “Terus mana buktinya? Apa ada surat yang membuktikan kalau tanah yang dijual ibunya Nay itu tanah warisan?” Pak Rukmana menantang. “Enggak ada, namanya juga saudara.” Istri paman Eka yang menyahut. “Mereka bohong Paman … Nay tahu kalau tanah yang dijual ibu untuk membeli setengah bagian rumah ini adalah hak ibu karena sertifikatnya juga atas nama ibu bukan atas nama kakek.” Naraya berusaha mempertahankan haknya. “Aaaah … bohong kamu!” hardik paman Eka yang jadi emosi karena masalah ini tidak selesai-selesai. Naraya menangis, menutup wajahnya menggunakan kedua tangan dan tidak ada yang menenangkannya. “Kalau begitu, kita tanya kepada pembeli tanah … di sertifikat itu pasti ada nama pemilik awalnya.” Papi memberi ide. “Sertifikat itu tadinya masih dalam bentuk girik dan sengaja dibalik nama atas nama adik saya karena dia anak perempuan satu-satunya.” Paman Eka memberikan alasan yang menurutnya masuk akal tapi malah membuatnya terlihat bodoh. “Almarhum pak Agus juga memiliki hutang kepada saya yang akan terus berbunga setiap harinya bila tidak di lunasi … tapi kalau Nay bersedia menjadi istri saya, maka hutang itu lunas dan saya yang akan membayar bagian Pak Eka dan Pak Cecep sehingga Nay tidak perlu menjual rumah ini … bagaimana Nay?” Surawijaya tersenyum sembari menarik turunkan kedua alisnya berkali-kali membuat Naraya mual. *** Masalah belum selesai dan mereka memutuskan rehat sejenak saat adzan Ashar berkumandang. Sekarang mereka tersebar di penjuru, ada yang di ruang tamu, ruang televisi, ruang makan, teras belakang tapi tidak dengan teras depan karena masih dikuasai adik-adiknya Ghazanvar. Para warga sudah bubar sebab pak Rukmana berhasil menguasai dirinya semenjak Ghazanvar dan keluarganya datang. Papi menyenggol lengan mami lantas memberi kode melalui sorot mata dan anggukan kepala. Hanya mami papi dan Ghazanvar yang tersisa di ruang tamu. Mami balas menganggukan kepala kemudian menoleh pada Ghazanvar yang tampak sedang berpikir. Sebagai ibunya Ghazanvar, mami tahu apa yang sedang Ghazanvar pikirkan yaitu ingin menolong Naraya dengan memberikan apa yang kedua paman jahatnya minta lalu membayar hutang mendiang bapaknya Naraya kepada pak Surawijaya sehingga Naraya tidak perlu menikah dengan pria seusia bapaknya itu. Tapi tidak semudah itu Ferguso, mami sudah merencanakan kehidupan bahagia untuk Ghazanvar. “Mi … maaf ya, cuma ada air putih ….” Naraya datang membawa baki dan beberapa botol air mineral. “Enggak apa-apa, sini duduk samping Mami.” Mami Zara menepuk space kosong di sampingnya. Setelah memindahkan beberapa botol air mineral di atas meja, Naraya pun duduk di samping mami Zara. “Nay, kamu mau enggak nikah sama abang Ghaza?” Dan pertanyaan mami itu membuat mata Ghazanvar membulat, Aruna menganga, Reyzio tersedak kerupuk seblak pedas yang dia beli karena gabut di warung sebelah, Arnawarma tersedak air mineral yang disuguhkan pak Rukmana dan Narashima terbatuk-batuk karena asap rokok yang semestinya dia hembuskan malah terhirup ke paru-paru saking terkejutnya mendengar pertanyaan mami kepada Naraya yang masih bisa mereka dengar dari teras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN