“Nay, kamu mau enggak nikah sama Abang Ghaza?”
Naraya tidak menjawab pertanyaan mami Zara dengan kata-kata, dia hanya memberikan senyum serba salah karena tidak berani menolak secara langsung di depan Ghazanvar yang saat itu ekspresi wajahnya tampak terkejut.
Entah terkejut karena mami tiba-tiba melakukan sikap impulsif dengan bertanya seperti itu atau Ghazanvar sudah mengutarakan keinginan menikahinya tapi tidak menyangka kalau mami akan mengatakannya sekarang kepada Naraya.
Tapi sepertinya alasan kedua tidak mungkin, atas dasar apa Ghazanvar ingin menikahi Naraya sedangkan mereka baru dipertemukan saat musibah terjadi.
Naraya menggelengkan kepalanya yang terasa pening sambil memejamkan mata.
Dia tidak ingin menikah dengan siapapun sekarang ini, kuliahnya saja belum selesai dan tanah kuburan kedua orang tuanya masih basah, masa Naraya mau membuat pesta pernikahan?
Tapi tawaran mami Zara sangat menggiurkan, beliau mengatakan akan memberikan sejumlah uang sesuai hak paman Eka dan paman Cecep yang mereka berdua tuntut tidak peduli pengakuannya hanyalah dusta belaka sehingga Naraya tidak perlu menjual rumah ibu dan bapak.
Lalu mami Zara juga akan membayar hutang kepada pak Surawijaya yang ternyata hutang itu adalah biaya kuliah serta biaya hidupnya selama di Jakarta dan Naraya sungguh baru mengetahui hal tersebut.
Kalau tahu ibu dan bapak kesulitan keuangan mungkin dia tidak akan kuliah dan akan mencari pekerjaan saja untuk membantu perekonomian keluarga.
Sekarang Naraya juga yang harus menanggung beban hutang itu.
Pilihannya hanya dua, menerima lamaran mami Zara untuka menikahi Ghazanvar-pria muda, tampan dan kaya raya atau menjadi istri kedua Pak Surawijaya yang seusia mendiang bapak Agus.
Tok …
Tok …
Naraya terhenyak dari lamunannya mendengar pintu kamar diketuk.
“Naaay! Kamu di dalam? Bibi mau pulang dulu ya!” Bi Tati-istri dari paman Rukmana melantangkan suara dari luar.
“Iya Bi ….” Naraya bergegas membuka pintu kamar.
“Kamu teh jangan ngurung diri di kamar aja atuh,” tegur bi Tati terlihat kesal.
“Maaf Bi, tadi Nay pikir tamu yang tahlilannya udah pulang.”Naraya beralasan.
Naraya juga sudah membereskan bekas air mineral gelas serta mencuci piring saji yang kotor karena digunakan untuk camilan para tamu yang tahlilan saat bi Tati sedang mengobrol dengan istrinya paman Eka dan paman Cecep di ruang televisi.
Kedua paman beserta istri dari pihak ibunya itu akan menginap di sini malam ini, Nay malas bertemu mereka jadi langsung mendekam di kamar setelah tahlilan.
Entah kapan mereka akan pulang, mungkin sampai mendapatkan apa yang mereka inginkan.
“Sini deh, Bibi mau ngomong sama kamu.” Bi Tati membawa Naraya masuk ke dalam kamar.
Beliau duduk di kursi meja rias ibu dan Naraya duduk di tepi ranjang.
“Paman-paman kamu dari pihak ibu kamu itu serakah banget ya … tadi Bibi ngobrol sama istri mereka ternyata pengakuannya juga berbeda … yakin Bibi mah, mereka teh bohong … wajar sih, pengangguran semua.” Bi Tati malah mengajak berghibah.
Naraya sedang malas menanggapi dengan kata-kata jadi dia menganggukan kepalanya saja bersama senyum kecut.
“Sebetulnya kalau dalam hukum waris, justru paman kamu Rukmana yang dapet bagian warisan ….” Bi Tati berujar kembali dan sesungguhnya ini adalah inti yang akan dia bicarakan dengan Naraya.
“Oh gitu ya, Bi ….” Naraya sanksi, dia juga tidak mengerti hukum waris itu seperti apa sesungguhnya tapi dia juga tidak sepenuhnya percaya kepada istri dari paman Rukmana yang kelakuannya selama ini pada keluarganya sama saja seperti paman Eka dan paman Cecep hanya saja bi Tati terkadang masih menurut kepada paman Rukmana.
“Nay … Paman kamu sedang butuh biaya untuk nyalon lagi jadi Lurah putaran kedua… jadi kalau kamu sayang sama paman kamu, kamu jual aja rumah ini… ada hak paman kamu juga ‘kan di sini… trus kamu nikah sama Pak Surawijaya itu, nanti hidup kamu akan terjamin.”
Benarkan, bi Tati sama saja dengan kedua paman Naraya dari pihak ibunya.
Hanya paman Rukmana yang menyayangi Naraya dan keluarganya sampai bersedia pasang badan membela Naraya di depan kedua paman b******k yang ingin mendapatkan harta warisan kedua orang tuanya.
Dan ternyata beliau juga sedang membutuhkan dana untuk mencalonkan diri kembali menjadi Lurah.
Sungguh, Naraya tidak mengetahui pasti bagaimana aturan hukum waris itu.
Dia harus bertanya kepada yang ahli, tapi bila memang semestinya paman Rukmana mendapat hak waris dari mendiang bapak Agus tapi kenapa beliau tidak membahas sama sekali dengan Naraya padahal sedang sangat membutuhkannya.
Naraya mengembuskan napas lelah, Naraya lelah sekali menghadapi semua ini.
Setelah ibu dan Bapak meninggal banyak keluarga berdatangan hanya untuk meminta bagian warisan bukan untuk menenangkannya, menemaninya dan menyayanginya menggantikan peran bapak dan ibu.
Demi Tuhan Naraya sakit hati sekali, selama hidup ibu Hernita selalu membantu perekonomian kedua saudara laki-lakinya itu meskipun ibu adalah seorang perempuan yang semestinya ditanggung oleh kedua saudara laki-lakinya.
Ibu menyisihkan uang pemberian bapak untuk membantu kedua saudara laki-lakinya sampai ibu tidak memiliki perhiasan yang bisa diwariskan kepada Naraya.
Hanya cincin kawin yang terpatri nama ibu dan ayah yang bisa Naraya kenang, dan kini melingkari jari manis Naraya.
Bi Tati masih duduk di meja rias menatap Naraya mengintimidasi.
Beliau tidak tahu kalau Naraya memiliki opsi menikahi Ghazanvar.
Jadi, apakah Naraya harus menerima lamaran mami Zara untuk menikah dengan Ghazanvar dari pada menikahi Surawijaya yang sudah tua?
Agar hidupnya damai dari rongrongan mereka semua.
“Akan Nay pikirkan ya Bi.” Naraya belum bisa memberi kepastian.
Bi Tati mengembuskan napas jengah lantas bangkit berdiri dari kursi meja rias.
“Jangan lama-lama mikirnya, Nay … kedua paman kamu enggak akan pulang kalau belum mendapat apa yang mereka inginkan,” kata bi Tati ketus sembari melengos keluar dari kamar ibu dan bapak yang kini ditempati Naraya.
***
“Mami kenapa tadi bisa-bisanya ngomong gitu sama Nay?” Ghazanvar bertanya baik-baik.
Mereka sekeluarga sedang menikmati ronde jahe di ruang televisi yang luas dan lengkap dengan perapian.
Udara di sini memang sangat dingin apalagi malam hari.
Semenjak meninggalkan rumah Naraya, tidak ada yang berani membahas tentang lamaran mami Zara kepada Naraya.
“Kamu ‘kan lihat dan dengar sendiri … Naraya harus memberikan sejumlah uang sama kedua pamannya terus bayar utang sama si aki-aki bangkotan itu … sedangkan Naraya enggak mau jual rumah, itu ‘kan rumah mendiang orang tuanya … banyak kenangan di sana.” Mami menjawab cukup panjang lebar tapi tidak dapat memuaskan Ghazanvar dan keempat adiknya.
“Kan bisa, kita kasih Naraya uang untuk membantunya lepas dari masalah,” celetuk Arnawarma yang langsung mendapat anggukan setuju dari Ghazanvar.
“Atas dasar apa? Memangnya Nay akan menerima begitu aja?” Mami Zara bertanya balik.
“Kalau imbalannya adalah menjadi istri Abang ‘kan masuk akal,” sambungnya menambahkan.
“Ya tapi Mi, kalau Nay menerima menikah dengan Ghaza apa enggak nanti dia mikirnya kalau dia matre?” timpal Reyzio.
“Kayanya enggak, karena Nay cuma punya dua pilihan … menikah dengan Ghaza atau Surawijaya … kedua pilihan itu sama-sama menawarkan solusi keluar dari masalah ….” Narashima menjawab menggunakan logikanya.
“Kalau Aaruna sih lebih milih nikah sama abang Ghaza donk … males banget jadi istri kedua aki-aki, ya kali jadi istri kedua anak Sultan di Negara Arab … orang Arab ‘kan ganteng-ganteng.” Aruna ikut bersuara, dia langsung mendapat tatapan tajam kakak-kakaknya juga papi.
“Masalahnya abang mau enggak nikah sama Nay? Si abang ‘kan cintanya sama istri orang.” Arnawarma mengingatkan mereka kalau hati Ghazanvar masih untuk Zaviya.
“Ya kalau gitu harus dicoba donk melupakan Zaviya dan berusaha mencintai Nay … Nay juga enggak kalah cantik sama Zaviya.” Papi Arkana angkat bicara.
“Setuju!” Reyzio berseru.
“Setuju, matanya Nay cantik.” Narashima menyelipkan pujian sambil tersenyum smirk.
“Ya mending Nay lah … Zaviya mah istri orang, ribet urusannya … sekalipun Nay punya pacar, selama janur kuning belum melengkung maka Nay masih bisa dimiliki abang kita … dan abang kita tercinta ini enggak akan jadi sad boy lagi … iya enggak?” Reyzio sampai merentangkan tangannya ke arah Ghazanvar sebagai efek dramatis.
“Yoi!” Ketiga adik Ghazanvar yang lain menyahut disertai tawa.
Mami Zara dan papi Arkana ikut tertawa.
“Jadi gimana, Bang? Mau enggak nikah sama Nay?” Papi yang bertanya.
“Karena Nay pasti akan milih kamu … enggak mungkin dia milih aki-aki itu … lagian kamu ‘kan ingin menghilangkan trauma ya harus kamu hadapi dengan bertemu Nay setiap hari, kalau kamu nikah sama Nay—kamu juga bisa dengan mudah memastikan kebahagiaan Nay.” Mami selalu memiliki cara untuk menjebak para putra dan putrinya agar mengikuti keinginan beliau.
Mami Zara pandai berkata-kata yang dapat diterima logika para putra dan putrinya.
Ghazanvar tidak memberikan tanggapan tapi raut wajahnyatampak berpikir.
“Udah lah Bang, sikaaaat!” Narashima mempengaruhi.
“Asyiiiik, Aruna punya kakak perempuan.” Dia ternyata setuju.
“Jadi Zio bisa nikah sama Adinda, ya Pi?” Reyzio tersenyum lebar, ternyata dia setuju karena ingin menikahi Adinda-kekasihnya.
“Kamu minta restu om Radit sama tante Gita dulu donk.” Papi enggan memberikan jawaban.
“Papi donk yang mintain restu untuk Zio, mereka ‘kan sahabat Papi.”
“Enggak ah, kamu aja yang minta restu sendiri!” Papi mengangkat bahunya berulang kali.
“Heh! Aku dulu nikah sama Ana baru kamu …
Aku ‘kan anak kedua.” Arnawarma mengingatkan.
“Waaaah … kalau nunggu mas Nawa nikah sama Ana bisa-bisa kamu baru nikah di alam barzah,” kata Narashima kepada Reyzio membuat semua tertawa kecuali Ghazanvar.
Mereka semua tahu kalau usaha Arnawarma selama ini dalam mendekati Anasera tidak pernah berhasil meski sudah meminta bantuan kedua orang tuanya yaitu tante Bunga dan om Angga.
Anasera terlalu dingin, misterius dan sulit didekati.
Keluarga Ghazanvar masih duduk di ruang keluarga bersenda gurau melupakan Ghazanvar yang tengah mempertimbangkan pernikahan dengan Naraya.
Di saat yang sama tiba-tiba ponsel mami Zara berdering dari nomor tidak dikenal.
Mami sempat mengerutkan kening tapi tak ayal menjawab panggilan tersebut.
“Hallo?”
“Mi, ini Nay ….” Kalimat Naraya menggantung.
“Nay!” kata mami Zara tanpa suara menunjuk ponselnya yang menempel di telinga.
Semua langsung mendekat pada mami Zara, ingin ikut mendengar apa yang Naraya sampaikan jadi mami mengubah mode panggilan tersebut menjadi mode loudspeaker.
“Ada apa sayang? Apa yang bisa Mami bantu?”
“Mi … apa boleh Nay bicara dulu sama abang Ghaza?”
Mata mereka semua sontak membulat termasuk Ghazanvar dan selanjutnya senyum penuh makna seluruh anggota keluarga menghujani Ghazanvar.
Dagu mami Zara mengendik kepada Ghazanvar meminta persetujuan.
“Bilang sama Nay, besok Abang jemput …,” kata papi Arkana mewakili Ghazanvar.
Ghazanvar menoleh pada papi tapi tatapannya begitu teduh tidak memprotes.
“Ajak ke Dusun Bambu aja, Bang.” Papi memberi ide.
“Cieeeeee …..” Keempat adik Ghazanvar menggoda si abang sadboy.
“Besok abang jemput ya Nay, ngobrolnya di luar aja ya.” Mami Zara menyampaikan apa yang papi katakan karena Ghazanvar tidak memberikan jawaban tapi tidak juga memprotes.