Searah Meski Tidak Sedarah

668 Kata
Ponsel Naraya berdering sesaat setelah menutup sambungan telepon dengan mami Zara yang diakhiri informasi mengenai rencana Ghazanvar menjemput besok pagi agar mereka berdua bisa bicara. Siapa lagi kalau bukan panggilan video sebelum tidur dari Anggit dan Afifah. Semenjak kedua sahabat Naraya itu kembali ke Jakarta, kegiatan ini rutin dilakukan sehingga Naraya tidak tenggelam dalam kesedihannya sebelum tidur. “Naaaay!” Afifah berseru, wajahnya dibalut tissue masker wajah. “Lagi apa Nay?” Anggit yang bertanya. “Baru aja teleponan sama mami.” Naraya menjawab, dia jatuhkan tubuhnya di atas ranjang. “Mami dari cowok yang jadi saksi kecelakaan ibu bapak kamu itu?” Afifah menebak. Sesungguhnya Afifah sudah curiga sedari awal Naraya menceritakan tentang cowok bernama Ghaza dan keluarganya yang kelewat baik tapi dia tidak ingin membebani Naraya jadi memilih menyimpan kecurigaannya sendiri. Afifah menduga kalau Ghaza ini lah yang menyebabkan kedua orang tua Naraya kecelakaan. Apalagi Naraya mengatakan kalau mobil Ghaza tampak mulus tidak ada lecet dan Naraya percaya kalau Ghaza hanyalah orang yang menyaksikan kejadian nahas tersebut semakin membuat Afifah tidak segan mengungkapkan pendapatnya. “Iya ….” Naraya menjawab dengan ekspresi murung. “Kenapa muka kamu kok gitu?” Anggit peka saat melihat perubahan ekspresi wajah Naraya. Naraya lantas menceritakan semuanya, mulai dari kedatangan kedua paman beserta istri mereka yang berdrama dengan membawa cerita yang sudah bisa dipastikan bohong demi mendapat uang dari penjualan rumah lalu perdebatan sengit antara paman Rukmana dengan kedua paman dari pihak ibu Hernita dan dilanjutkan dengan kedatangan Surawijaya yang menagih hutan dan memberikan solusi sebuah pernikahan. Terakhir, Naraya menceritakan tentang kedatangan Ghazanvar beserta keluarganya yang kemudian mengetahui perihal masalah keluarganya dan malah memberikan solusi agar Naraya menikahi Ghazanvar. “Jadi kamu akan memilih nikah sama Ghaza?” Afifah bertanya mencari keyakinan. “Ya iya lah Ipeh, ya masa si Nay nikah sama aki-aki … ih, enggak banget.” Anggit yang menjawab. “Emang si Ghaza ini ganteng? Umur berapa sih? gantengan mana sama mas Khafi?” Afifah tampaknya tidak setuju dengan keputusan Naraya yang akan menerima tawaran maminya Ghazanvar tapi tidak mau juga sahabatnya menikah dengan Surawijaya. Naraya menundukan pandangannya tanpa sadar bibirnya tersenyum tipis tatkala membayangkan wajah tampan Ghazanvar. Dia gadis normal yang tertarik dengan lawan jenis, selama ini Naraya memblokir dirinya dari kisah asmara agar bisa fokus kuliah dan bekerja membantu perekonomian keluarga tapi begitu dia dihadapkan pada sebuah pernikahan—Naraya merobohkan benteng di hatinya. Padahal tadinya Naraya bermaksud menolak lamaran Ghazanvar dan Surawijaya tapi setelah berpikir lagi mencari jalan keluar dari masalah yang tiba-tiba muncul setelah kematian orang tuanya ini—Naraya tidak menemukan solusi cara membayar hutang kepada Surawijaya dan menolak permintaan kedua pamannya selain menikahi Surawijaya atau Ghazanvar. Jadi Naraya akan mencoba mengambil pilihan menerima lamaran maminya Ghazanvar. “Enggak usah dijawab, aku udah tahu jawabannya.” Afifah merotasi bola mata. Tatapan Naraya kembali pada layar ponsel. “Pipi kamu merah, Nay ….” Anggit menunjuk pipinya sendiri. “Jadi penasaran sama Ghaza,” celetuk Afifah menggoda Naraya. “Aku mau bicara dulu besok sama Ghaza, aku mau tanya apa lamaran itu serius? Memangnya dia mau menikah sama aku? Atau karena kasian aja? Kalau dia setengah hati mending cari cara lain untuk membantu aku, misalnya aku pinjem uang dari mereka dengan menggadaikan rumah orang tua aku sama mereka tapi tanpa bunga, nanti aku tebus setelah dapet kerjaan.” Naraya mengungkapkan niatnya untuk bertemu Ghazanvar besok. “Tapi Nay … kamu enggak sopan kalau nolak lamaran maminya Ghaza dengan cara seperti itu.” Anggit berpendapat. “Tapi apa aku enggak akan dicap matre karena menikah berdasarkan materi?” Ternyata Naraya sepemikiran dengan salah satu adiknya Ghazanvar. “Ya enggak lah, bukan kamu yang mau tapi mereka yang ngelamar kamu.” Afifah menimpali. “Jadi kamu setuju kalau aku nikah sama Ghaza?” Naraya serius bertanya kepada Afifah. Afifah terlihat menatap Naraya dalam melalui kamera ponselnya. “Aku mah setuju aja yang penting kamu bahagia, Nay.” Naraya tersenyum lega. “Cuma kalian yang aku punya … makasih ya karena selalu searah meski tidak sedarah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN