“Nay! Kamu enggak belanja? Di kulkas udah enggak ada bahan makanan yang bisa Bibi masak, kamu belanja dulu lah … kita belum sarapan ini!” Bi Eti, istri dari paman Cecep berteriak dari dapur.
Bi Eti tahu kalau Naraya baru saja keluar kamar dari suara pintu yang dia buka jadi sengaja teriak untuk menarik perhatian Naraya.
Naraya menghentikan langkah, di ruang televisi pandangannya bertemu dengan paman Eka dan istrinya yang sedang menonton televisi.
Mereka berdua mendelik kesal pada Naraya dan yang paling membuat Naraya geram adalah paman Eka duduk di kursi mendiang bapaknya sambil merokok dan membuang abu rokok begitu saja ke lantai.
“Paman, buang abu rokoknya ke asbak!” seru Naraya sembari menyodorkan asbak yang dia ambil dari meja tepat di depan paman Eka.
Paman Eka menatap Naraya kesal kemudian meraih asbak dengan gerakan kasar.
Naraya mengembuskan napas jengah, dia lantas pergi ke dapur.
“Nay mau pergi, Bi … Bibi aja yang belanja ya, ini uangnya.” Naraya memberikan satu lembar uang seratus ribu.
“Kamu mau ke mana?” Bi Eti bertanya dengan nada lebih bersahabat setelah Naraya memberikan uang padahal hanya seratus ribu.
Mungkin beliau berpikir bisa mengantongi sisa uang yang dibelanjakan untuk makan hari ini.
“Ada urusan penting,” kata Naraya lantas melengos pergi tidak menggunakan sopan santun.
Bi Eti memajukan bibirnya meledek Naraya saat gadis cantik berambut panjang itu berjalan menjauh.
Naraya melirik sebal ke arah paman Eka dan istrinya yang sedang menonton televisi saat melewati ruang keluarga.
Dia keluar dari rumah tanpa pamit. Naraya menarik handle pintu untuk menutup benda tersebut.
Naraya kesal sekali karena kedua paman berserta istri mereka belum juga pergi dari rumahnya.
Dia masih berdiri menghadap pintu lalu tubuhnya condong ke depan menempelkan kening dengan pintu.
“Bapak … Ibu … Nay akan coba pertahankan rumah ini, tapi kalau Nay enggak mampu—Bapak sama Ibu jangan marah atau sedih ya … Nay berjuang sendirian ….” Naraya melirih bicara sendiri.
Dan saat dia memutar tubuhnya untuk menunggu Ghazanvar, Naraya terkejut melihat mobil Ghazanvar sudah terparkir di halaman rumah dengan pria itu duduk di belakang kemudian sedang menatap ke arahnya.
Lalu Ghazanvar tersenyum kaku agar Naraya berhenti terkejut.
Pria itu juga keluar dari dalam mobil dan berjalan mendekat pada Naraya yang juga sedang berjalan ke arahnya.
“Pergi sekarang?” Ghazanvar bertanya.
“Iya ayo,” kata Naraya melewati Ghazanvar diikuti pria itu.
Ghazanvar dengan cepat membuka pintu mobil lebih dulu dengan mengulurkan tangan melewati tubuh Naraya.
Naraya menatap Ghazanvar canggung dengan kerjapan mata cepat saat menatap Ghazanvar kemudian segara mengalihkan tatap untuk masuk ke dalam mobil.
Tapi mobil Ghazanvar adalah mobil jenis SUV Premiun yang cukup tinggi jadi Naraya kebingungan saat menaikinya untuk pertama kali.
“Butuh bantuan?” Ghazanvar mengulurkan tangan.
Sesaat Naraya melirik tangan Ghazanvar kemudian mendongak menatapnya.
“Kayanya Abang naik duluan deh, nanti baru tarik aku dari dalam.”
“Ide bagus, bentar ya!” Ghazanvar setengah berlari memutari setengah bagian mobil untuk duduk di belakang kemudi.
Dia mengulurkan tangannya membantu Naraya masuk ke dalam mobil.
Kedua tangan mereka saling menggenggam erat sembari Ghazanvar menarik tangan Naraya dan akhirnya gadis itu berhasil duduk di sampingnya.
“Aku enggak akan pake mobil ini lagi kalau jalan sama kamu,” kata Ghazanvar dengan maksud agar Naraya tidak kesulitan menaikinya.
Tapi ternyata kalimat Ghazanvar itu berefek besar pada jantung Naraya yang menganggap kalau itu adalah bentuk perhatian Ghazanvar sehingga hatinya mulai terasa menghangat dan bergetar tidak biasa.
Naraya belum pernah jatuh cinta jadi saat dia merasakan ada perasaan asing menyelinap ke hatinya, dia berusaha mengabaikan.
Perjalanan dari Kabupaten Bandung Barat ke Dusun Bambu tempat tujuan Ghazanvar atas usul papi Arkana kebetulan tidak terlalu jauh.
Ghazanvar tahu percis daerah Bandung karena keluarganya banyak yang tinggal di sini.
Bahkan adik kandung papi Arkana yang bernama Kaivan juga berdomisili di Bandung dan sekarang papi dan mami beserta keempat adiknya sedang berkunjung ke rumah om Kaivan dan istrinya yang bernama tante Zafira.
Keheningan menjadi satu-satunya suasana selama perjalanan.
Naraya dan Ghazanvar tidak bersuara, sibuk dengan pikirannya masing-masing sampai akhirnya Ghazanvar harus menginjak rem karena antrian kendaraan padahal mereka sudah berada di jalan Kolonel Masturi dan belokan ke Dusun Bambu sudah dekat.
Beberapa menit mobil tidak bergerak begitu juga dengan Naraya dan Ghazanvar yang belum bersuara.
Ghazanvar menoleh sedikit memeriksa keadaan Naraya yang tengah melamun, menatap kosong ke depan.
Ghazanvar akui, sedang melamun saja Naraya terlihat cantik.
Tapi bagi Ghazanvar, cantik saja tidak cukup untuk dia bisa jatuh cinta.
Banyak perempuan yang menjadi teman tidurnya disaat gabut pun semuanya cantik-cantik dan ‘bersih’.
Butuh klik untuk bisa membuat Ghazanvar jatuh cinta dan itu baru dia temukan pada diri Zaviya.
“Macet ya, Nay.” Ghazanvar membuat topik pembicaraan untuk mengusir bosan.
“Iya Bang.” Naraya sempat terhenyak tapi kemudian bisa menguasai diri dengan memberi sahutan singkat.
Lalu hening karena respon Naraya hanya searah.
“Di sini kalau weekend memang suka macet.” Naraya menambahkan, menghargai usaha Ghazanvar barusan agar mereka bisa berkomunikasi.
“Tadi itu di depan pintu … kamu ngelakuin ritual apa?” celetuk Ghazanvar bertanya.
“Hah?” Naraya spontan menoleh menatap Ghazanvar dengan kedua alis terangkat.
Jadi Ghazanvar sudah dari tadi ada di halaman rumah?
Jangan-jangan semenjak dia belum keluar dari rumah Ghazanvar sudah ada di sana sehingga bisa menyaksikan apa yang Naraya lakukan saat menutup pintu.
Naraya lantas tertawa pelan seraya mengalihkan pandangan ke depan.
Ghazanvar juga akui, cara tertawa Naraya membuatnya terlihat cantik.
“Bukan ritual … tadi itu ….” Naraya menggantung kalimat.
“Apa?” Ghazanvar menoleh dan kebetulan Naraya sedang menoleh menatap Ghazanvar membuat netra mereka bersirobok.
Keduanya lantas mengalihkan pandangan ke depan lalu ke samping arah sebaliknya pokoknya ke mana pun asalkan tidak bertemu tatap lagi karena tiba-tiba canggung menyergap.
Ghazanvar bingung kenapa harus merasa canggung padahal dia belum mencintai Naraya, apa karena dia sedang menyembunyikan ketakutannya bertemu Naraya?
“Tadi aku lagi ngomong sama ibu sama bapak,” ungkap Naraya membuat Ghazanvar melongo.
“Kan ibu bapak kamu udah meninggal, Nay.” Ghazanvar bicara di dalam hati.
“Paman Eka dan paman Cecep masih di rumah … mereka enggak akan pergi sebelum mendapatkan keinginannya … dan pak Surawijaya tadi pagi sekali datang lagi sebelum dia kembali ke Sukabumi—“
“Ngapain dia ke rumah kamu?“ sambar Ghazanvar terselip kesal dalam nada suaranya.
“Dia nanyain tentang lamarannya kemarin karena kalau aku nolak berarti aku harus bayar hutang bapak sekaligus bunganya.”
“Terus kamu jawab apa?” Ghazanvar bertanya.
Komunikasi mereka berjalan lancar sekarang.
“Aku minta waktu satu minggu … makanya tadi aku minta ijin sama ibu dan bapak kalau nanti aku enggak bisa mempertahankan rumah … ibu sama bapak jangan marah.” Naraya polos sekali menceritakan semuanya kepada Ghazanvar.
“Memangnya kamu mau menolak lamaran mami? Nanti kuliah kamu gimana? Kalau rumah dijual, kamu mau tinggal di mana?” Ghazanvar ingin tahu bagaimana nasib Naraya bila dia memutuskan untuk menjual rumahnya tapi terdengar perhatian dan seakan tidak terima kalau Naraya mengambil keputusan menjual rumah dari pada menikah dengannya.
Baru beberapa jam saja Naraya sudah dua kali dibuat baper oleh Ghazanvar yang memang sweet.
“Memangnya Abang mau nikah sama Nay? Kita ‘kan baru kenal.” Naraya membalikan pertanyaan Ghazanvar.
Sekarang Ghazanvar tidak mengalihkan pandangannya ke mana pun, tetap lurus ke depan karena kebetulan kendaraannya sudah bisa belok ke arah Dusun Bambu.
Keterdiaman Ghazanvar itu membuat hati Naraya mencelos.
Naraya jadi tahu kalau sebenarnya lamaran itu bukan dari Ghazanvar melainkan keinginan mami semata.
Ghazanvar memarkirkan mobilnya dengan sempurna.
“Tunggu, aku bantuin turunnya,” kata pria itu lantas turun.
Naraya mengerutkan keningnya bingung karena kalau Ghazanvar tidak memiliki perasaan kepadanya kenapa pria itu diam saja saat sang mami melamarnya?
Dan kenapa sikap pria itu perhatian sekali?
Naraya terpekur sampai Ghazanvar membuka pintu lalu mengulurkan tangan.
Naraya meraih tangan Ghazanvar yang kemudian menggenggamnya erat lantas satu tangannya lagi refleks memegang pinggang Naraya begitu Naraya meloncat turun.
Kini mereka berdiri saling berhadapan tanpa jeda lalu tiba-tiba Ghazanvar terpaku tidak bergerak sampai akhirnya Naraya mendongakan kepala.
“Bang,” panggilnya membuat Ghazanvar mundur beberapa langkah.
“Ayo,” katanya berjalan lebih dulu.
“Apa itu tadi?” Ghazanvar membatin mempertanyakan apa yang terjadi dengannya karena tiba-tiba merasakan desiran asing ketika tubuhnya dengan tubuh Naraya bergesekan saat sang gadis melompat turun tadi.