“Enggak jelas banget sih nih cowok!”
Naraya misuh-misuh karena Ghazanvar tidak menjawab pertanyaannya tapi bersedia membantunya turun dari mobil setelah itu tidak menyingkir saat kakinya telah memijak tanah sehingga d**a mereka menempel dan Naraya dapat menghirup aroma parfum masculin Ghazanvar yang mampu membuat darahnya berdesir kencang.
Naraya mengikuti Ghazanvar di belakang dengan menjaga jarak.
“Ayo Nay!” Ghazanvar berseru sembari melempar tangannya ke belakang setelah membeli tiket.
“Apa maksudnya coba? Ya masa Nay raih tangannya terus kita gandengan tangan? Kita ‘kan enggak pacaran, tadi Nay tanya apa sebenarnya dia ingin menikah sama Nay atau enggak … dia enggak jawab sama sekali.” Naraya menggerutu di dalam hati.
Ghazanvar masih berjalan di depan dengan tangan terulur ke belakang menunggu Naraya meraihnya tapi Naraya tak kunjung memegang tangannya jadi Ghazanvar menoleh ke belakang.
Dia menghentikan langkah menatap Naraya, sorot matanya tak terbaca.
Naraya berjalan menunduk pura-pura tidak menyadari apa yang Ghazanvar inginkan.
Sekarang keduanya sedang menunggu alat transportasi khusus yang akan membawa mereka ke dalam area wisata.
“Kamu enggak suka kita ke sini?” Ghazanvar bertanya karena melihat Naraya tidak bersemangat.
Naraya mendongak sehingga netra mereka bertemu kemudian menggelengkan kepala.
“Enggak kok, Nay suka … Nay belum pernah ke sini.”
“Hah? Kamu ‘kan orang sini.” Ghazanvar mengerutkan keningnya, dia mendorong punggung Naraya agar berdiri di sampingnya.
Dan tangan Ghazanvar tidak pernah pergi, tetap di punggung Naraya membuat Naraya jadi salah tingkah.
Biasanya Naraya tidak seperti ini, tapi semenjak dia merobohkan benteng di hatinya—Naraya melihat Ghazanvar dengan cara berbeda sampai terkadang blingsatan sendiri.
“Abang liat ‘kan tadi macet banget, padahal masih pagi … Nay jadinya males ke tempat wisata di saat weekend … kalau hari biasa ‘kan enggak mungkin, Nay sekolah.” Naraya memberi penjelasan.
“Gara-gara orang Jakarta ya, Nay … orang Jakarta memang nyebelin … kegerahan dikit, pergi ke Bandung … galau dikit, pergi ke Bandung.” Ghazanvar merespon dengan gurauan membuat Naraya tertawa pelan mengingat yang bicara seperti itu adalah orang Jakarta.
“Kulinernya juga di Bandung enak-enak,” timpal Naraya.
“Ceweknya juga cantik-cantik,” sambung Ghazanvar sembari menatap Naraya dari samping lalu refleks Naraya menoleh sehingga tatap mereka bertemu kembali.
Ghazanvar bisa melihat pipi Naraya merona, gadis itu mengerjap gugup kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Tapi buat aku … gadis Surabaya masih paling cantik, Nay.” Ghazanvar menambahkan di dalam hatinya. Yang dia maksud adalah Zaviya.
“Ayo Nay.” Tangan Ghazanvar sekarang pindah ke pinggang Naraya, menuntunnya naik kendaraan khusus yang baru saja berhenti di depan mereka.
“Hati-hati!” kata Ghazanvar si paling perhatian dan sering disalah artikan oleh banyak wanita.
Ghazanvar duduk di samping Naraya yang mulai mengeluarkan ponselnya untuk merekam keindahan tempat wisata itu.
“Mau aku fotoin Nay?” Ghazanvar menawarkan.
“Enggak usah, Nay cuma mau videoin aja.” Naraya bergumam, dia terlalu fokus merekam video di ponselnya.
Mereka turun di sebuah pool, di sana sedang ada pertunjukan musik.
Naraya berhenti sebentar untuk menyaksikan wanita yang sedang menyanyi diiringi band, ponselnya masih merekam pertunjukan tersebut.
Ghazanvar berdiri di samping Naraya, diam-diam dia menatap wajah cantik Naraya.
Bibir mungil Naraya tersenyum tulus dengan binar di matanya yang indah namun sedang memendam duka.
Sepertinya ide papi Arkana membawa Naraya ke sini adalah ide bagus, jadi selain mereka bisa bicara berdua—Ghazanvar juga bisa membuat Naraya lupa sejenak dengan dukanya mengingat misinya yang harus memastikan Naraya bahagia.
Ghazanvar mengambil langkah menjauh, dia arahkan kamera ponselnya pada Naraya untuk merekam gerak-gerik sang gadis.
Beberapa saat kemudian Naraya tampak celingukan mencari Ghazanvar dan akhirnya pandangan Naraya berhasil menangkap sosok Ghazanvar.
Naraya tersenyum sambil berjalan mendekat lalu Ghazanvar menghentikan rekamannya.
Dia lantas memutar ulang rekaman tersebut.
“Tadi Abang videoin Nay?” Naraya memberanikan diri bertanya.
“Iya … nih.” Ghazanvar memperlihatkannya kepada Naraya.
Naraya mengambil langkah lebih mendekat agar bisa melihat rekaman tersebut.
Sekarang tidak ada jarak di antara mereka, Naraya melongokan kepalanya ke depan Ghazanvar agar bisa melihat hasil rekaman pada ponsel yang dipegang pria itu.
Dengan jarak mereka yang sangat dekat dan meresahkan, Ghazanvar bisa menghirup aroma wangi shampo di rambut Naraya.
“Kamu cantik,” celetuk Ghazanvar jujur namun lagi-lagi sikap Ghazanvar yang manis itu membuat selain pipi Naraya merona juga merusak kinerja jantungnya.
Mungkin Naraya bisa dengan mudah mencintai Ghazanvar yang secara fisik sempurna selain dia cucu Konglomerat.
Tapi bagaimana dengan Ghazanvar yang sulit untuk jatuh cinta terlebih ada nama wanita lain masih tersimpan di hatinya.
“Kirim ke aku ya Bang!”
“Oke ….” Dan detik berikutnya. “Done,” kata Ghazanvar.
Dia telah menyimpan nomor ponsel Naraya yang diberikan mami tadi malam.
“Kita ke sana ya.” Ghazanvar menunjuk sebuah jembatan panjang yang melintasi area wisata.
Naraya menurut saja, berjalan berdampingan dengan Ghazanvar.
“Kata mami … ada yang mau kamu bicarakan berdua sama aku … kamu mau bicara apa?” Ghazanvar memulai.
“Ya tadi yang kita bahas di mobil … tentang lamaran mami … Abang serius? Ini sebetulnya hanya permintaan mami atau keinginan Abang juga?” Naraya serius ingin tahu.
Sebenarnya Ghazanvar tahu arti pertanyaan Naraya tadi di jalan, sekarang dia hanya sedang basa-basi saja untuk memulai pembicaraan dan alasan kenapa Ghazanvar tidak langsung menjawab karena Ghazanvar sedang memikirkan kalimat yang lebih pantas di dengar Naraya agar gadis itu tidak tersinggung.
“Ini sebetulnya permintaan mami, Nay ….” Ghazanvar akhirnya jujur.
“Tapi kalau kamu mau menikah sama aku ….” Ghazanvar menoleh sebentar menatap Naraya yang ternyata sedang menatapnya menunggu kelanjutan kalimat pria itu.
“Aku juga mau,” sambung Ghazanvar dan seketika itu juga Naraya meraup udara dalam lalu mengembuskan napas pelan.
“Pernikahan itu ‘kan butuh cinta ya, Bang … tapi untuk saat ini Nay belum ngerasa jatuh cinta … Nay belum pernah pacaran jadi enggak tahu juga rasanya jatuh cinta.”
Ghazanvar terkekeh. “Enggak apa-apa, banyak kok di keluarga aku yang dijodohin tapi sekarang malah saling mencintai, bucin banget.”
Raut wajah Ghazanvar berubah sendu karena yang dia maksud adalah Svarga dan Zaviya.