“Kalau Nay menerima lamaran mami, nanti dianggap menikah karena materi enggak sih, Bang? Karena Nay enggak mau nikah sama Pak Surawijaya.” Naraya bergidik jijik mengingat lamaran pria tua itu.
“Semua juga tahu alasan kamu menerima lamaran mami yaitu untuk membayar hutang ke Surawijaya karena sebetulnya hasil penjualan rumah pun enggak akan bisa menutupi hutang mendiang Bapak beserta bunganya apalagi kalau kamu memberikan apa yang kedua paman kamu inginkan … tapi realistis aja lah Nay, kamu memang lagi membutuhkan imbalan dari tawaran mami dan lagi mami yang mau kamu jadi menantunya dan dari pada kamu nikah sama Surawijaya … mending nikah sama aku donk.” Cara bicara Ghazanvar begitu santai dan tenang membuat Naraya nyaman mengobrol dengan pria itu.
Naraya terkekeh pelan, menghargai usaha Ghazanvar untuk membuatnya tertawa.
“Nay … kalau kamu mau, kita coba aja dulu … yang penting kamu bisa melunasi hutang dan rumah orang tua kamu enggak perlu dijual … kedua paman kamu juga akan berhenti merongrong kamu karena udah mendapatkan apa yang mereka inginkan … dan kamu bisa melanjutkan kuliah … hanya status kamu aja yang berubah, jadi istri aku … mami juga seneng banget pastinya ….” Ghazanvar mengatakannya seperti tidak serius karena sambil menatap ke depan.
Belum ada respon dari Naraya, dia masih meresapi apa yang diucapkan Ghazanvar barusan.
Pria itu lantas menghentikan langkah, dia menghadapkan tubuhnya ke kanan diikuti Naraya menghadapkan tubuhnya ke kiri dan kini mereka saling berhadapan.
Naraya sampai harus mendongak karena Ghazanvar memiliki postur tubuh tinggi menjulang.
“Kalau ke depannya ternyata kita enggak bisa saling mencintai … atau baik kamu atau aku enggak bisa jatuh cinta … maka kita akhiri aja, yang penting kita udah berusaha.” Ghazanvar sedang bermain kata-kata.
Mata bulat nan indah Naraya menatap Ghazanvar lekat.
“Jadi kalau nanti Nay enggak bisa jatuh cinta sama Abang, kita bisa berpisah?”
“Iya … meskipun aku telah mencintai kamu, aku harus rela melepaskan kamu.” Ghazanvar menambahkan.
“Begitu juga sebaliknya?” Naraya sedang bertanya.
“Begitu juga sebaliknya.” Dan Ghazanvar menyetujui karena sesungguhnya apa yang dia sampaikan kepada Naraya untuk dirinya yang tidak yakin bisa melupakan Zaviya.
“Abang enggak punya pacar?” Pertanyaan Naraya tersebut sebenarnya untuk memancing Ghazanvar.
Naraya ingin tahu alasan Ghazanvar yang ingin ‘mencoba’ dahulu.
Sebuah pernikahan adalah sebuah lembaga sakral dan tidak bisa main-main sedangkan Ghazanvar baru saja mengajaknya coba-coba.
Kenapa pria itu tidak mengajaknya berusaha keras untuk saling mencintai, membangun keluarga kecil dan bahagia?
“Aku enggak punya pacar, makanya mami ingin aku segera menikah … dan kamu ada di waktu dan tempat yang salah ketika bertemu mami dan jadi korban keinginan terbesar mami.” Ekspresi Ghazanvar terlihat datar ketika mengatakannya tapi Naraya tertawa juga.
Naraya berusaha mengenyahkan prasangka buruk tentang Ghazanvar dan berpikir kalau mungkin belum ada perempuan yang bisa membuat Ghazanvar jatuh cinta.
Pria tampan dan kaya raya seperti Ghazanvar pasti memiliki perasaan tidak pernah puas, dia merasa bisa mendapatkan ‘yang lebih’ namun akhirnya merasa tidak ada sosok yang masuk kriteria ‘yang lebih’ menurutnya lalu lama-lama dia sendiri pasrah dan menurut ketika mami menjodohkannya dengan wanita manapun.
Positif sekali pemikiran Naraya padahal terdapat banyak misteri dibalik ketampanan dan sikap manis serta perhatian Ghazanvar.
Naraya masih menatap Ghazanvar, wajah elok pria itu tampak sempurna sekali—Naraya jadi insecure.
“Ya udah, kita coba ya Bang … tapi pelan-pelan aja, kita pacaran dulu.”
Ghazanvar tertawa membuat ketampanannya naik seratus persen.
“Mami ingin kita menikah secepatnya, Nay … setelah mami bayarin hutang kamu ke Surawijaya dan memberikan apa yang kedua paman kamu inginkan selanjutnya pesta pernikahan kita dilangsungkan.”
“Hah … secepat itu?” Naraya membolakan matanya.
Ghazanvar menganggukan kepala membenarkan.
“Kita bisa pacaran setelah menikah,” cetus Ghazanvar sedang membujuk.
Naraya masih menatap mata Ghazanvar, kali ini lebih dalam lagi dan tentu saja Ghazanvar sudah tahu kalau Naraya sedang menyelami hatinya.
“Seru lho Nay, pacaran setelah menikah.” Ghazanvar mendistraksi dengan candaan.
Naraya berhenti menatap Ghazanvar, dia tersenyum kemudian mengalihkan tatapan ke depan.
Kepalanya mengangguk bersama hembusan napas panjang.
“Jadi kita akan menikah, Nay?” Ghazanvar mengulurkan tangan ke depan Naraya.
Naraya memperbaharui senyumnya. “Iya … kita akan menikah, Bang.” Naraya menjabat tangan Ghazanvar sebagai tanda kesepakatan.
“Mulai sekarang aku enggak akan mimpi buruk lagi, Nay … aku bisa pastikan kamu bahagia dalam genggamanku.” Ghazanvar membatin, sorot matanya begitu teduh menatap Naraya disertai senyum tipis.
Ghazanvar mengeluarkan ponselnya dari saku celana.
“Kita catat tanggal kita jadian ya, Nay …,” kata Ghazanvar manis sekali.
“Jadi anggap aja hari ini kita jadian,” sambungnya lagi usai menyimpan reminder di aplikasi kalender pada ponselnya.
Naraya tertawa, Ghazanvar seperti remaja tanggung yang sedang belajar pacaran.
“Kita selfie dulu, Nay … buat laporan ke mami papi kalau kita udah jadian.” Ghazanvar mengangkat ponselnya ke udara sedangkan tangannya yang lain merangkul pundak Naraya yang menurut saja saat dipaksa mengikis jarak.
Naraya mendongak mengarahkan tatapan pada kamera ponsel bersamaan dengan itu Ghazanvar mendekatkan kepalanya dengan kepala Naraya.
Mereka berdua tersenyum tatkala timer sudah mulai menghitung dari angka tiga.
Cekrek.
Kamera ponsel canggih dan mahal milik Ghazanvar menangkap dengan apik wajah mereka yang cantik dan tampan mendekati sempurna.
“Kamu cantik, Nay!” Ghazanvar memuji lagi sembari menatap layar ponselnya.
Dia jujur tapi tidak menggunakan hatinya sehingga sangat mudah dia ucapkan.
Seketika pipi Naraya kembali merona mendapat pujian dari pria yang sekarang sudah resmi menjadi kekasihnya.
“Kita ke resto yuk, Nay!” ajak Ghazanvar setelah melirik arlojinya yang ternyata waktu sudah menunjukan jam makan siang.
“Ayo!” Naraya berseru, perutnya memang sudah lapar.
Dia hendak melangkah namun Ghazanvar langsung menggenggam tangannya, Naraya refleks menundukan pandangan menatap tangannya yang telah diselipi jemari Ghazanvar yang panjang dan berurat.
“Kita pacaran ‘kan Nay? Jadi boleh pegangan tangan.” Ghazanvar mengingatkan, dengan santai pria itu melangkah menuntun Naraya yang jantungnya jadi berdebar tidak karuan.