Rasanya ada sesuatu yang asing merayap di d**a Naraya saat ini.
Sebuah perasaan tidak menentu yang dia sendiri tidak tahu apa namanya.
Ghazanvar terlalu indah untuk menjadi nyata karena lihat saja bagaimana pria itu memperlakukan Naraya saat terdapat saus di sudut bibirnya, dengan cepat meraih tissue lalu membersihkannya.
Membukakan botol air mineral untuk Naraya, menarik kursi saat Naraya akan duduk dan membuka jaket baseballnya untuk menutup paha Naraya karena rok rample model cheeleader yang hanya sampai atas lutut itu tertarik ke atas saat dia duduk.
Tutur kata yang lembut, menatap mata Naraya saat bicara dan perlakuan manis Ghazanvar lainnya mampu membuat hati Naraya berbunga-bunga.
Tentu tidak sulit bagi Ghazanvar memikat wanita melalui parasnya yang bak aktor Korea ditunjang dengan body language pshysical touch, act of service dan word of affirmation membuat Naraya mudah menerima Ghazanvar di hatinya.
“Mau cobain punya aku, Nay?” Ghazanvar menawarkan Naraya mencicipi menu makan siang pesanannya.
Sebuah restoran yang menawarkan pemandangan danau buatan menjadi pilihan Naraya dan Ghazanvar untuk makan siang di tempat wisata Dusun Bambu.
“Hah?” Naraya melongo.
“Buka mulutnya,” pinta Ghazanvar sembari menyodorkan sendok.
Naraya membuka mulut dengan mata mengerjap cepat karena gugup.
“Enak, kan?” Dengan santai Ghazanvar bertanya.
Naraya mengangguk bersama senyum kaku sambil mengunyah.
Momen mesra yang biasa dilakukan pasangan kekasih tersebut baru Naraya alami sekarang.
Dia jadi canggung dan bingung.
Selesai makan siang, Naraya dan Ghazanvar melanjutkan petualangan mereka di sana.
Tidak lupa berfoto untuk mengabadikan momen hari jadian mereka.
Tiba-tiba d**a Naraya bergemuruh hebat saat melihat sepasang suami istri bersama seorang anak perempuan tampak tertawa sambil bermain air di sungai buatan.
Sang ayah sibuk mengarahkan kamera ponsel untuk menangkap momen tersebut.
Naraya berlama-lama berdiri hanya untuk melihat kebahagiaan mereka dari jauh.
Mata Naraya mulai berkaca-kaca mengingat sudah tidak bisa lagi tertawa bersama kedua orang tuanya seperti yang dilakukan gadis kecil itu.
Naraya berpikir kalau gadis itu dan para anak di dunia ini beruntung bila masih memiliki kedua orang tua yang lengkap.
Karena mereka masih bisa meminta doa kepada kedua orang tua, meski kedua orang tua tidak dapat berbuat banyak untuk membantu kesulitan anaknya tapi percayalah doa mereka untuk sang anak akan didengar oleh Tuhan membuat dunia anaknya baik-baik saja meski tidak selalu beruntung.
“Nay,” panggil Ghazanvar lembut.
Pria itu sudah menyadari keterdiaman Naraya semenjak beberapa menit lalu dan memilih membiarkan Naraya tenggelam dalam lamunan.
Namun saat mata Naraya sudah tidak mampu lagi membendung buliran kristal, Ghazanvar jadi khawatir dan berinisiatif menyadarkannya.
Refleks Naraya menoleh bersamaan dengan itu satu buliran kristal jatuh ke pipi.
Naraya langsung mengusap jejak air mata menggunakan jarinya.
“Iya … kenapa, Bang?” tanyanya yang masih sibuk mengeringkan air mata.
“Butuh pelukan?” Ghazanvar merentangkan kedua tangan.
Naraya malah tertawa pelan. “Enggak perlu ….” Dia menurunkan kedua tangan Ghazanvar.
Jangankan dipeluk, pegangan tangan saja jantung Naraya sudah hampir meledak.
Dia sendiri tidak habis pikir kenapa Ghazanvar kelewat santai saat menggenggam tangannya dan sekarang menawarkan sebuah pelukan?
Apa pria itu tidak merasakan sesuatu yang meresahkan?
Tidak bisa Ghazanvar pungkiri kalau sempat merasakan sengatan listrik berdaya rendah ketika dadanya dengan d**a Naraya bergesekan tapi kemudian Ghazanvar segera menguasai diri.
Ghazanvar telah merasakan lebih dari pelukan dan pegangan tangan bahkan nikmat dunia pernah dia reguk bersama wanita asing yang dia sendiri tidak tahu siapa namanya.
Jadi Ghazanvar berpikir kalau dengan Naraya semestinya sama saja kecuali dia melakukannya dengan Zaviya.
Dan sikap Naraya yang menolak pelukannya membuat Ghazanvar kecewa.
“Kamu kaya Zaviya.” Ghazanvar bergumam.
“Hem? Kenapa Bang?”
“Ah … enggak.” Ghazanvar menggelengkan kepalanya.
“Kita jalan lagi?” Ghazanvar mengulurkan tangan ke belakang meminta tangan Naraya saat dia melangkah lebih dulu.
Naraya memberikan tangannya untuk Ghazanvar genggang, dia menatap tangannya yang dilingkupi tangan besar Ghazanvar yang berurat sembari tersenyum.
“Oh … jadi ini yang namanya pacaran.” Naraya membatin.
Baru kali ini Naraya merasakan liburan yang sesungguhnya.
Tanpa melihat harga tiket, Ghazanvar mengajaknya menjajal banyak wahana di sana.
Dan ketika hari sudah hampir senja, Naraya mengajak Ghazanvar pulang.
“Kamu takut dimarahin paman sama bibi kamu, Nay?”
“Bukan, Bang … Nay males ditegur mereka yang sok peduli sama Nay.”
Mereka tengah menikmati kemacetan dalam perjalanan pulang.
“Sampai rumah kamu bicara dengan paman- paman kamu ya, berapa jumlah yang mereka inginkan nanti aku transfer ke rekening kamu jadi mereka bisa segera pergi dari rumah kamu,” kata Ghazanvar dengan sorot mata serius.
Aura pria itu berubah kelam dan dingin membuat Naraya merinding.
“Iya ….” Naraya menjawab singkat.
Lalu hening, Ghazanvar sibuk dengan pikirannya yang tengah menyusun rencana dalam menjalin hubungan dengan Naraya sampai tanpa dia sadari kalau Naraya tertidur.
Selagi mobil berhenti karena antrian kendaraan, Ghazanvar membuka jaketnya untuk dia selimutkan di d**a Naraya.
Pria itu juga menarik rok Naraya yang tersingkap.
“Hadeuuuuuh ….” Ghazanvar mengesah tatkala gelora hasrat dengan kurangajar terpicu hanya gara-gara melihat paha mulus Naraya.
Tanpa terasa mereka sampai di rumah Naraya.
“Nay.” Ghazanvar mengusap pipi Naraya menggunakan punggung jarinya membuat Naraya terjaga.
Lembut dan halus dirasakan Ghazanvar membuat pria itu tercenung sebentar.
Naraya mengerjapkan mata, dia mengulurkan kedua tangan ke depan melakukan peregangan lantas terkejut karena jaket Ghazanvar jatuh ke atas pangkuannya.
Dia baru sadar kalau selama perjalanan tadi diselimuti jaket Ghazanvar, pantas saja tidak merasa dinginnya AC mobil Ghazanvar.
Naraya mengembalikan jaket itu kepada pemiliknya.
“Makasih ya, Bang.”
“Sama-sama, Nay … tapi boleh enggak aku ikut ke toilet,” kata Ghazanvar meringis menahan kemih sedari tadi.
“Oh boleh.” Naraya menegakan punggungnya.
“Bentar Nay, aku bantu turunnya.” Ghazanvar turun lebih dulu.
Naraya terharu dengan perhatian Ghazanvar.
“Ayo Bang, masuk.” Naraya menuntun di depan setelah dia berhasil turun dari mobil.
Ghazanvar mengikuti dari belakang, dia masuk lebih jauh ke dalam rumah.
Ada kedua paman dan bibinya Naraya di ruang televisi menatap mereka bingung.
Ghazanvar menunjukkan tampang datar, tidak tersenyum apalagi menyapa mereka berdua.
Pria itu mulai membenci kedua paman Naraya semenjak menuntut harta mendiang ibu Hernita jadi Ghazanvar merasa tidak perlu sopan terhadap dua paman b******k itu.
“Pakai toilet yang di kamar ini, Bang.” Naraya membuka pintu kamar bapak dan ibu yang kini menjadi kamarnya.
Ghazanvar lantas masuk tanpa dipersilahkan dua kali.
“Bagus ya, main seharian … pulang bawa cowok ke kamar,” celetuk istri dari paman Eka.
Naraya menatap wanita itu sebentar dengan tatapan datar kemudian masuk ke dalam kamar saat mendengar teriakan Ghazanvar.
“Naaaay! Cepet ke sini Nay!”
“Ada apa, Bang?” tanya Naraya panik.
Naraya dibuat terkejut saat melihat Ghazanvar naik ke sisi bak mandi.
“Itu … kecoa, di belakang closet.” Ghazanvar menunjuk ke belakang closet dengan ekspresi ketakutan.
Naraya tertawa, sungguh sangat tidak pantas seorang Ghazanvar yang memiliki tubuh atletis takut sama kecoa.
Naraya masuk ke dalam kamar mandi, dia meraih sikat closet untuk membuat kecoa itu keluar dari belakang closet.
Naraya berhasil mengeluarkan kecoa dengan posisi terlentang yang membuat kecoa tidak bisa ke mana-mana.
Dia lantas mengangkat kecoa itu tinggi-tinggi dengan cara memegang kumisnya.
“Niiih kecoa … niiii ….” Naraya menakut-nakuti Ghazanvar.
“Nay … Nay!” Ghazanvar memberikan tatapan peringatan di wajahnya yang tegang.
Naraya tertawa hingga terpingkal sembari membawa kecoa keluar dari kamar mandi untuk dibuang ke luar melalui jendela.
Dia belum berhenti tertawa mengingat kejadian di kamar mandi tadi, perutnya sampai sakit karena terus tertawa.
Apa yang terjadi dengan Naraya juga pernah dialami Anasera dan Radeva saat mengetahui kalau Ghazanvar takut kecoa.
Bayangkan bagaimana bullyan mereka saat itu kepada Ghazanvar yang jago beladiri dan menembak dan dijuluki Mafia oleh para musuhnya tapi takut sama kecoa.
Tidak lama Ghazanvar keluar dari kamar mandi, Naraya berusaha melipat bibirnya ke dalam agar berhenti tertawa untuk menghargai Ghazanvar.
“Ketawa aja, Nay … aku udah biasa kok, lagian aku bukan takut ya tapi jijik.” Ghazanvar meluruskan.
“Iyaaaa,” sahut Naraya memanjangkan kata.
“Ya udah, aku pulang ya.” Ghazanvar pamit berbalas anggukan kepala Naraya.
Mereka melewati ruang tamu lagi dengan mengabaikan empat orang yang masih berada di ruang televisi.
“Pulang dulu ya, Nay.”
“Hati-hati ya, Bang.”
“Kapan kamu balik ke Jakarta?” Ghazanvar baru ingat kalau Naraya kuliah di Jakarta.
“Besok kayanya, Bang … lusa aku ada perform.”
“Hah? Perform apa?” Ghazanvar yang sudah menarik langkah menjauh pun kembali mendekat.
“Nari daerah untuk menyambut Perdana Mentri Jepang.”
“Oh ya?”
Naraya menganggukan kepala.
“Wah hebat, aku boleh nonton?” Ghazanvar antusias sekali.
“Enggak lah, Bang … itu acara Kenegaraan ….”
Ghazanvar tampak kecewa.
“Nanti aja kalau ada pertunjukan seni, Abang boleh nonton perform aku.”
Senyum Ghazanvar terkembang lebar.
“Aku pulang ya.” Ghazanvar pamit sekali lagi.
“Besok aku jemput kamu, kita ke Jakarta bareng.” Ghazanvar mengatakannya sembari berjalan mundur, lantas membalikan badan sebelum sempat Naraya merespon.
Pria itu naik ke dalam mobil dan melajukannya keluar halaman rumah Naraya.