Agatha masih terbawa rasa kesal akan kejadian di kampus Jayden tadi siang. Wanita itu sengaja tidak mau berbicara apa pun apalagi mengobrol dengan Jayden. Saat di rumah ia menahan dirinya agar tidak keluar kamar, ingin tahu apa yang dilakukan pria itu untuk membujuknya.
"Dia ini nggak punya rasa bersalah apa?" Agatha mulai mengeluh sebal tatkala melihat jam dinding yang sudah hampir malam tapi Jayden belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali.
"Cih, biarlah. Kalau dia nggak mau minta maaf, jangan harap aku akan berbicara dengannya," decak Agatha.
Agatha menunggu setiap detik waktu yang terlewati. Masih mencoba sabar karena yakin jika Jayden akan .meminta maaf. Namun, ternyata apa yang diharapkannya tak pernah terjadi. Sampai jam 7 malam, Agatha menunggu, tapi Jayden benar-benar tidak muncul.
"Menyebalkan! Jayden ... awas saja kau." Agatha bangkit dari duduknya begitu geram. Ia buru-buru bangkit karena sejak tadi mulutnya sudah gatal ingin memaki-maki pria yang menjadi suaminya itu.
Agatha melangkah keluar kamar, baru saja ingin membuka pintu tapi ternyata pintu kamarnya sudah diketuk lebih dulu.
Agatha mengulas senyum sinis. "Akhirnya kau menyerah juga, Jayden. Lihat saja, aku tidak akan membuat penyelesalanmu mudah," ucapnya dengan penuh percaya diri.
Agatha sudah membayangkan wajah penuh sesal Jayden. Senyumnya bahkan merekah penuh semangat. Namun, saat ia membuka pintu senyuman itu pupus tatkala yang berada di depan pintu bukanlah Jayden.
"Moti!" Tanpa sadar Agatha berdecak, semakin jengkel karena nyatanya Jayden tak menemuinya.
"Nona, makan malam sudah siap. Anda mau makan di bawah atau saya antar kesini?" ujar Moti memberitahukan.
Agatha tidak langsung menjawab, matanya sibuk melirik ke arah sekelilingnya. Biasanya Jayden selalu berdiri sigap di depannya, tapi sekarang pria itu entah kemana.
"Nona mencari, Jay?" tanya Moti.
Agatha mendengus kecil, kali ini menatap tajam ke arah Moti. "Jangan ikut campur urusanku, Moti. Aku tidak mencari Jay, dengar itu " sergahnya menegaskan.
"Oh baiklah, saya pikir Anda mencari Jayden. Dia tadi siang bilang mau keluar, ingin menyelesaikan beberapa hal katanya," ucap Moti menjelaskan tanpa diminta.
"Menyebalkan! Dia sudah membuatku marah tapi dia malah pergi begitu saja? Benar-benar menyebalkan!" umpat Agatha justru semakin geram, Moti sama saja telah menyiramkan bensin ke api yang tengah menyala-nyala.
"Nona, sepertinya–"
"Diam, Moti! Kau jangan pernah membelanya. Dia itu memang sangat menyebalkan," tukas Agatha sedikit nyolot.
Moti mengangguk pelan, tak ingin bertanya lebih lanjut lagi. Namun ia tiba-tiba teringat akan sesuatu.
"Oh iya, Nona. Tadi Jay berpesan kepada saya untuk membuatkan Anda s**u saat sudah jam 7 malam. Anda mau rasa apa?"
"s**u apa?" Agatha mengernyit.
"s**u hamil untuk Anda dan dedek bayi. Jay sudah membelikannya saat dia belum pergi tadi. Nona ingin saya buatkan rasa apa?"
Agatha terdiam, terkejut pastinya saat tahu pria menyebalkan itu telah membelikannya s**u kehamilan. Bukan masalah membelinya, tapi kenapa Jayden bisa seperhatian itu? Bahkan Agatha saja tidak kepikiran ingin membeli s**u kehamilan.
"Dia itu memang pria yang sulit ditebak," batin Agatha diliputi perasaan aneh yang sangat membingungkan.
*
Jayden pulang ke rumah saat sudah sangat larut sekali. Mungkin saja menjelang pagi karena suasana rumah Agatha sangat sepi sekali. Pria itu terlihat menghela napas panjang beberapa kali, langkahnya terasa berat sekali. Ia langsung masuk ke dalam kamarnya sendiri yang berada di samping rumah utama. Sadar diri jika ia hanya seorang pengawal pribadi dan suami bayaran dari pemilik rumah ini.
Saat Jayden masuk, pria itu ingin meraba sakelar lampu, namun ia justru sangat terkejut saat melihat seorang wanita yang duduk terkantuk-kantuk dengan memegang laptop di pangkuannya.
"Nona Agatha!" seru Jayden kaget.
Agatha sendiri langsung terbangun dari tidurnya, ia melihat Jayden dalam keremangan cahaya kamar.
"Kemana aja sih? Nggak tahu apa ini udah malem?" gerutu Agatha dengan nada kesal. Wanita itu bangkit dari duduknya.
"Nona kenapa ada disini?" Satu pertanyaan itu sejak tadi menari di benak Jayden. Pasalnya wanita yang menjadi majikannya itu ada di kamarnya yang sempit dan menunggunya pulang sampai tengah malam.
"Kenapa? Terserah aku lah aku mau ada di mana saja. Aku akan tidur disini," tukas Agatha yang memutuskan begitu saja, ia bahkan langsung merebahkan tubuhnya di kasur Jayden yang hanya berukuran 1 setengah meter.
Jayden yang melihat hal itu terdiam, ia meletakkan ransel miliknya di lantai, melepaskan sepatunya dan juga Hoodie yang membalut tubuhnya.
"Saya tidak melarang Nona tidur dimana, saya hanya terkejut," kata Jayden menjelaskan. "Maaf sudah membuat Anda menunggu, saya tadi–"
"Aku tidak peduli, Jay." Agatha langsung menyambar ucapan Jayden tanpa menunggu pria itu menyelesaikannya. "Aku ngantuk, mau tidur," lanjutnya lagi.
Jayden mengulum bibirnya, sepertinya mood Agatha masih buruk karena kejadian kemarin siang di kampus. Pria itu tidak ingin menambah masalah baru, jadi ia lebih memilih untuk segera membersihkan dirinya. Memakai baju yang nyaman dan bersiap untuk tidur.
"Nona?" Lagi-lagi Jayden terkejut karena Agatha tiba-tiba berdiri di depan pintu kamar mandinya.
"Aku mau tidur, Jay!" seru Agatha.
"Nona ingin tidur? Lalu kenapa–"
"Bodoh!" umpat Agatha kembali dibuat jengkel. "Bayi sialan ini sejak tadi terus menganggu, dia tidak mau aku tidur karena dia ingin tidur denganmu!"
Jayden terperanjat, tapi sedetik kemudian bibirnya mengulas senyum tipis. Pria itu perlahan mendekati Agatha, wanita itu sepetinya benar-benar sedang menahan kekesalan.
"Jangan mengatakan seperti itu, Nona. Ini mungkin yang dinamakan ngidam pada awal kehamilan. Anak kita ingin tidur bersama Papanya," tutur Jayden sambil mengelus lembut pipi Agatha.
Agatha hanya diam, entah kenapa keresahan dan kemarahan yang sejak tadi menguasai dirinya langsung mereda begitu saja. Bahkan segala makian yang sudah ia siapkan menguap begitu saja hanya karena bisa melihat wajah Jayden. Entah karena dirinya sendiri atau memang bawaan kehamilan, Agatha merasa seperti ada dorongan kuat dalam diri Agatha yang membuatnya selalu ingin didekat pria ini.
"Sekarang ayo tidur, kasihan anak kita sejak tadi belum tidur." Dengan lembut Jayden merengkuh bahu Agatha, menuntun wanita itu ke ranjang. Membantunya untuk tidur dan tak lupa menyalakan AC dengan suhu rendah Agar Agatha tak kepanasan. Tak lupa mengulurkan tangannya dan meraih kepala Agatha agar tidur di lengannya.
Agatha hanya diam saja, sungguh perlakukan manis itu benar-benar membuatnya lupa akan segalanya. Sejak tadi bahkan ia terus menatap wajah Jayden.
Menyadari sejak tadi diperhatikan oleh Agatha, pria itu tersenyum. Ia mencium kening Agatha perlahan. "Sudah, saya sudah memeluk Anda. Apakah bayinya sudah mau tenang?" tanya Jayden.
Agatha menunduk, kali ini pandangannya tertuju pada d**a bidang Jayden yang dibalut kaos oblong putih. Tangannya tiba-tiba saja dengan nakal menyentuhnya.
"Nona!" Jayden menahan tangan Agatha. "Saya tidak berjanji akan menahan diri saya lagi jika Nona kali ini bermain-main," ujarnya memperingatkan.
Agatha mendongak, wajahnya terlihat tak suka karena merasa tak diinginkan. Agatha tahu alasan Jayden melakukan ini, pria itu masih berpikir jika Agatha mungkin saja masih trauma. Namun, tetap saja, Agatha merasa kurang jika hanya tidur berpelukan seperti ini. Ia juga cukup gemas karena Jayden sepertinya sangat pasrah sekali, pria itu seperti membentingi dirinya agar tak terlalu dalam melangkah ke hubungan itu.
"Jay ...." Agatha mengikuti hati nuraninya, wanita itu mengelus lembut d**a Jayden sehingga menimbulkan getaran yang luar biasa pada diri Jayden. Melihat tubuh Jayden yang bereaksi membuat Agatha semakin nakal, wanita itu kini mendekatkan wajahnya lalu mencium d**a pria itu dengan bibir seksinya.
"Nona ..." Jayden berusaha untuk menguasai dirinya, setiap sentuhan nakal itu membuat jantungnya berdegup sangat kencang.
Agatha tidak berhenti disitu saja, kini tangannya meraih tangan kekar Jayden untuk menyentuh dadanya.
"Jika kau ingin ...." Agatha berhenti sejenak, kedua mata indahnya beradu dengan mata hazel Jayden yang memandangnya teduh. "Jika kau ingin ... aku tidak keberatan. Kau ehmptttttttt ...
Bersambung.