"Siapa namamu?" Alaric memasang wajah lurus.
"Nova, Tuan Alaric." Nova meletakkan tangannya di atas tubuh Alaric.
Alaric tampak muak dengan apa yang dilakukan Nova, ia masuk ke dalam rumah besar itu dan membuka pintunya. Tasya terkejut melihat Alaric sedang mencium Nova di depannya.
"Mau sampai kapan kamu menghalangi jalanku!" Alaric membentak Tasya.
Ia dan Nova langsung masuk ke ruang tamu yang berada tepat di sebelah kamar Tasya.
Entah kenapa, Tasya merasa sakit saat melihat Alaric memeluk wanita itu.
Ayolah, Tasya kamu harus cuek dengan hal ini. Kenapa kamu merasa sakit hati sama dia? Seharusnya kamu benci sama dia.
Ia melihat Devon yang lewat di belakang Alaric, ia sudah mengenalinya, bahkan tanpa sengaja. Devon tersenyum dengan wajah dingin, ya.
******
Di ruang tamu, Alaric sedang duduk di sofa.
Sementara Nova berusaha menarik perhatian Alaric dengan membuka pakaiannya satu persatu, kini ia hanya mengenakan pakaian dalam, yang membuatnya bertanya-tanya mengapa Alaric tidak berniat untuk mendekatinya. Nova pun berjalan ke arah Alaric tanpa persetujuan Alaric. Nova duduk di pangkuannya, dan ya, ia pun mencium Alaric dengan mesra.
Alaric tidak menolaknya, tapi dia juga tidak membalas. Nova membuka kaitan bra-nya dan membiarkan payudaranya terlihat oleh Alaric. Alaric mengakui bahwa tubuh Nova sangat menggoda.
"Hentikan!" Alaric melepaskan tangan Nova yang berusaha melepaskan pakaiannya.
Alaric mendorong Nova dari pangkuannya. Ia mengambil telepon genggam di atas nakas dan menelepon Devon. Devon mengetuk pintu kamar yang ditinggali Alaric.
"Masuklah." Devon terkejut melihat wanita yang bersama Alaric hampir setengah telanjang, dan dia bahkan tidak repot-repot menutupi payudaranya.
"Saya tidak ingin berhubungan seks dengannya; gunakan dia jika kamu mau." Alaric meninggalkan Devon dengan pikiran bingung.
Sementara Tasya merasa dirinya memanas ketika melihat adegan panas yang tidak sengaja dilihatnya, dia tiba-tiba merasa panas. Ia melihat beberapa botol dan gelas yang terisi setengah penuh dengan air berwarna keemasan, dan entah mengapa ia menginginkannya.
Tanpa pikir panjang, ia langsung menenggaknya, meskipun pada awalnya ia meringis ketika merasakan sensasi terbakar di tenggorokannya.
"Minuman apa ini?" ia meneguknya berulang kali.
Kesadaran Tasya mulai hilang, ia tidak menyadari bahwa minuman yang diminumnya bisa memabukkan.
Ia menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Tasya salah, kamar yang dimasukinya bukanlah kamarnya, melainkan kamar Alaric.
Alaric yang sedang berada di kamarnya terkejut mendengar pintu kamarnya terbuka tanpa seizinnya.
Ia menghela nafas lega saat Tasya yang masuk dengan sikap yang menurut Alaric sedikit aneh.
"Ada apa dengan dia?" Alaric tampak bertanya pada dirinya sendiri.
"Kenapa kamu ada di sini?"
"Alaric, aku benci kamu." Tasya mendekatkan dirinya pada Alaric yang masih duduk di sofa di samping tempat tidurnya.
"Kau tahu, entah kenapa aku membencimu; aku benci karena aku menggantikan hutang ayahku padamu; aku benci wajah bermuka dua yang kau tunjukkan; dan... Aku benci melihat adegan menjijikkan yang kamu lakukan di depan mataku." Tasya menunjuk ke arah wajah Alaric.
Alaric menarik tangan Tasya dan jatuh ke dalam pelukannya.
"Lepaskan, aku membencimu."
"Kamu tidak akan melepaskannya di sini!" Kamu tidak memintaku untuk mengganti hutang ayahmu, tapi kamu menawarkan dirimu yang kedua. Saya tidak tahu apa yang Anda maksud dengan bermuka dua. Aku tidak akan mengubah diriku yang iblis menjadi malaikat, dan kalau kamu jijik melihatku berciuman tadi, maka aku akan menggantinya."
Alaric mencengkeram tengkuk Tasya dan memaksanya untuk menciumnya.Tasya berusaha melepaskan diri meski dalam keadaan mabuk, namun ia masih setengah sadar dengan apa yang dilakukan Alaric.
Alaric menikmati ciuman antara dirinya dan Tasya. Ia tahu bahwa Tasya masih sangat pasif dalam hal berciuman, tapi ia menyukainya.
Tasya yang awalnya terus menolak, kini terbawa oleh permainan Alaric, bahkan ia mengangkat tangannya seakan memberi izin kepada Alaric untuk menguasai dirinya.
*****
Tubuh Alaric kini berada di atas tubuh Tasya. Ia menatap wajah Tasya yang tak lagi memberontak di bawahnya. Pipinya yang memerah menambah birahi Alaric.
"Kamu tahu betapa aku sangat menginginkan tubuhmu sekarang."
Alaric menopang tubuhnya dengan siku, menjaga agar dadanya yang keras tidak menindih tubuh Tasya. Alaric membungkuk dan mencicipi bibir merah Tasya yang begitu menggoda dan menggairahkan, begitu manis dan menggoda.
"Tenang, sayang, aku mungkin akan menyakitimu." Alaric memegang pinggul Tasya dengan kedua tangannya saat pinggul Tasya bergerak-gerak, mengundangnya.
Tasya tidak sepenuhnya mabuk, tapi dia juga tidak bisa menahan diri saat tubuhnya semakin lemah
"Tolong jangan sakiti aku, aku mohon," Tasya memohon pada Alaric. Alaric sejenak ingin berhenti, namun nafsu menguasainya, dan dia mencium bibir Tasya lagi, dan Tasya pun kembali sadar.
Saat itu juga, Alaric menyodorkan dirinya ke dalam Tasya dengan penuh kehati-hatian. Tasya menggigit bibirnya, berusaha menahan gairahnya yang sangat tinggi.
Hati-hati, wanita ini masih perawan. Alaric mencoba mengingatkan dirinya sendiri lagi. Penghalang itu ada di sana, seakan berusaha menghalangi Alaric untuk memasukinya, dan Alaric terus maju, mengklaim apa yang menjadi miliknya. Tasya adalah miliknya!
"Sakit!" Tasya berteriak, berusaha mendorong tubuh Alaric yang melukainya.
Tubuhnya menjerit antara rasa sakit dan keinginan untuk dipenuhi.
hasratnya, setetes air mata menetes dari sudut matanya, sisa-sisa
dari kesadarannya yang tertinggal.
Alaric mendorong dirinya sedalam mungkin, akhirnya berhasil
menembus penghalang, mengabaikan jeritan kesakitan Tasya, dan mencium kelopak mata wanita yang telah menjadi miliknya.
Ketika jeritan Tasya akhirnya mereda. Alaric mengangkat kepalanya,
dan dengan lembut mencium bibir Tasya yang terbuka dan terengah-engah.
"Setelah ini, aku akan mengajarimu cara memuaskanku," kata-kata itu bergema di ruangan itu, sebuah janji yang diucapkan sang mafia
Dan Tasya, yang sudah benar-benar kehilangan akal sehatnya, tubuhnya
menggeliat dalam kenikmatan saat rasa sakit itu akhirnya
rasa sakit itu akhirnya menghilang, digantikan oleh kenikmatan yang panas
yang mendistribusikan sensasi menyiksa ke seluruh tubuhnya.
Alaric merasakan gerakan pinggul Tasya, merasakan denyutannya
yang menggenggam panas tubuhnya, yang terkubur jauh di dalam
Tubuh Tasya, mendesak dengan berani, menarik Alaric lebih dalam ke dalam kenikmatan.
Alaric mengertakkan gigi, menahan diri, membiarkan Tasya menggerakkan pinggulnya, mencari kenikmatan
sesuka hati.
Dan tidak butuh waktu lama ketika dia akhirnya mencapai
kepuasannya, Tasya memejamkan matanya saat kenikmatan itu meledak dan membanjiri tubuhnya dengan
panas yang tak tertahankan.
Dan bahkan Alaric pun bisa memperpanjang kenikmatannya. Pemandangan o*****e Tasya dan denyutan yang meremasnya, jauh di dalam, membuatnya tidak dapat menahan diri lebih lama lagi.
Pada saat itu juga, gairah Alaric yang meledak-ledak bergabung dengan gairah Tasya
dalam gairah yang melemahkan dan melebur menjadi satu.
"Kamu milikku Tasya," Alaric mengucapkan kata-kata itu sebelum memejamkan matanya.
*****
Entah apa yang membangunkan Tasya dari tidur nyenyaknya, rasa sakit yang aneh di tubuhnya, atau cahaya terang yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Tasya membuka matanya.
Pandangannya kabur, dan ia mencoba memfokuskan diri. Ini adalah kamar yang ia tempati selama beberapa hari terakhir.
Sedikit demi sedikit ia merasa kepanasan tadi malam dan Alaric menciumnya membangunkannya.
Tasya dengan panik duduk dari tempat tidur, dan selimutnya melorot
hampir jatuh menutupi dadanya, melorot? Tasya menunduk, dan menyadari bahwa ia tidak mengenakan apapun di balik selimutnya, apa yang terjadi?
"Selamat pagi." terdengar suara berat di sebelahnya.
Suara maskulin itu terdengar sangat dekat dan Tasya menoleh
menoleh dengan kaget. Pemandangan di hadapannya membuat jantungnya berdegup kencang.
Alaric ada di sana di tempat tidurnya, mereka berada di bawah
selimut yang sama, dan dengan selimut Alaric yang hampir menggantung di pinggulnya, mereka berdua telanjang!
Kemarahan Tasya naik ke puncak paru-parunya saat ia merasakan sakit di antara pangkal pahanya, apakah pria ini memperkosanya mengapa ia tidak menyadarinya. ia bahkan tidak ingat apa yang terjadi semalam.
"Dasar b******n tak bermoral, mengambil keuntungan dari wanita yang sangat membencimu!" desis Tasya dengan marah masih tidak mau menatap Alaric.
Alaric tertawa ketika mendengar suara Tasya yang marah. "Kamu tidak ingat apa yang terjadi?"
Kenangan-kenangan seakan berputar-putar di kepala Tasya seperti potongan-potongan puzzle, kilasan-kilasan romantisme yang pernah ia alami bersama Alaric.
*****