CHAPTER 7 HAMPIR MATI

1146 Kata
Mengapa Anda membuat saya merasa bingung? Di satu sisi, kau adalah orang yang jahat Tapi di sisi lain, kau orang yang sangat lembut Sebenarnya, kau ada di pihak yang mana? ***** Sekelebat kenangan tentang romansa yang panas muncul di benaknya. Ingatan Tasya samar-samar dan tidak jelas, tapi dia tidak bisa mengingatnya Semuanya-kenapa dia tidak bisa mengingat semuanya? Tasya mengingat minuman cair berwarna keemasan. Ia merasa malu dan jijik dengan apa yang telah terjadi pada tubuhnya. "Aku tidak tahu apa yang aku minum semalam, tapi kamu b******k karena mengambil keuntungan saat aku mabuk." Sepertinya kata-kata Tasya mengena di hati Alaric karena rahang pria itu tampak mengeras, marah. tampak mengeras dan menjadi marah. Alaric mengenakan pakaiannya, dan Alaric naik ke tempat tidur, dan mencengkeram rahang Tasya untuk menatap matanya. "Apa pun yang kamu katakan, satu hal yang pasti, kamu sudah menjadi milikku. Dan seperti yang gue bilang, apapun yang menjadi milik Alaric Alvaro tidak akan pernah lepas dari gue, kecuali gue lepaskan lo... atau gue bunuh lo!" Alaric melepaskan cengkeramannya pada rahang Tasya dengan kasar, membuatnya terdorong kembali ke tempat tidur, lalu, dengan langkah tegas, melangkah keluar kamar, membanting pintu di belakangnya. ***** Tasya menangis melihat nasibnya yang berantakan sambil berjalan tertatih-tatih ke kamar mandi. Ia menatap tubuh telanjangnya yang terpantul di kaca kamar mandi. Ada banyak bintik-bintik keunguan di sekitar leher dan dadanya. Dia menangis lagi dan berusaha keras untuk menggosok tubuhnya di bawah pancuran air. Ia berusaha menghilangkan bekas-bekas yang ditinggalkan Alaric di tubuhnya. Lebih jauh lagi, dia merasa jijik dengan apa yang terjadi. Saya berharap dia sedang mengalami mimpi buruk saat ini. Tasya menyeka air matanya. Air matanya mengalir deras. Tidak! Dia sudah cukup menangis, dia harus melawan, bagaimanapun caranya! Alaric bisa menyentuh tubuhnya, tapi tidak merasukinya. Tasya, wanita yang bebas dan ceria, wanita yang tak kenal takut, sekarang akan mencoba menghancurkan Alaric. Tunggu saja, dia hanya belum punya kesempatan. Dia berjalan keluar kamar, mencoba melarikan diri. Dia tidak tahan tinggal di penjara ini. Pada saat dia mencapai pintu depan mansion, dia tahu bahwa Alaric sudah pergi, tapi sebuah tangan menariknya dengan kasar. "Kamu mau ke mana!" Alaric membentak Tasya. "Aku hanya ingin keluar dari tempat ini." Tasya membentak dengan marah, frustrasi Alaric menggunakan ancaman yang licik untuk mencegah Tasya melarikan diri. "Kamu milikku, dan tak seorang pun boleh pergi dari sini tanpa seizinku." "Atas dasar apa kamu melarang aku?" Tasya berteriak dengan marah, "Aku bukan milik siapa-siapa, apalagi orang jahat sepertimu, aku hanya ingin keluar dari sini. Aku muak denganmu dan muak dengan semua yang ada di sini. Saya hanya ingin keluar!" "Kamu mau keluar, ya?" Alaric meraih lengan Tasya lagi, di tempat yang tempat yang sama hingga Tasya merasakan lengannya memar. "Biar aku antar kamu keluar!" Tidak ada yang berani menolong saat Tasya berteriak dalam tarikan Alaric. Sepertinya kemarahan Alaric sudah biasa terjadi di rumah ini. rumah ini, dan tidak ada yang berani melawannya. Alaric membawa Tasya masuk ke dalam dan menariknya ke ujung lorong, ke jendela kaca lantai dua yang mengarah langsung ke balkon. Yang mengarah langsung ke balkon. Alaric dengan kasar mendorong Tasya keluar lalu mendorongnya ke tepi balkon, sampai kepala Tasya menunduk dan menatap ngeri ke arah kolam renang yang luas di bawahnya. Kolam renang itu tampak sangat jernih dan dalam. Tasya bergidik ngeri. Ia menyesal karena tidak bisa berenang, apakah Alaric akan mendorongnya ke bawah? Alaric mendorong tubuh Tasya ke tepi balkon, membuat kepala Tasya menunduk, sementara Alaric memegangi kedua tangan Tasya di belakangnya. "Kamu lihat itu? Salah lemparan saja, kepalamu bisa saja pecah terkena ubin di pinggir kolam." Nafas Alaric sedikit tersengal-sengal karena marah. "Kau wanita yang tidak tahu berterima kasih, kau seharusnya berterima kasih atas kebaikanku padamu dan keluargamu sehingga kau masih bisa hidup sampai sekarang." .... Tahukah kamu bahwa aku bisa dengan mudah mencabut nyawamu kapanpun aku mau? Aku bisa dengan mudah mengambil nyawamu kapanpun aku mau." "Tuhan yang berhak mencabut nyawaku, bukan setan sepertimu," teriak Tasya menantang, meski jantungnya berdegup kencang. Diliputi rasa takut. "Wanita tidak tahu berterima kasih," kata Alaric, mendorong Tasya lagi sampai akhir. "Ada kata-kata terakhir?" Tasya menoleh sehingga matanya yang penuh kebencian bertemu dengan mata Alaric yang dingin. "Terima kasih telah membebaskanku." Kemudian tubuh Tasya benar-benar terlempar, melayang di udara dan kemudian meluncur ke bawah, ke dalam kolam renang yang dalam. "Ayah dan ibu, maafkan aku atas kesalahanku yang mungkin telah menyakiti kalian," kata Tasya dalam hati. Sedetik kemudian, tubuh Tasya terhempas ke permukaan kolam dan tenggelam. Tasya tidak berusaha menyelamatkan diri. Membiarkan tubuhnya tenggelam lebih jauh ke dalam kolam. Matanya menggelap dan terpejam, dan tak peduli seberapa banyak air yang ia telan, nafasnya tersengal-sengal, dan paru-parunya seperti sudah penuh. Oh, Tuhan! Aku akan mati... Saat Tasya hampir kehilangan kesadaran, terdengar suara yang sama kerasnya di dalam kolam. Tak lama kemudian sebuah lengan yang kuat mencengkeramnya, mengangkat tubuhnya, dan membawanya ke permukaan. Tubuh lemas Tasya dibaringkan di lantai di tepi kolam, lalu dia merasakan perutnya ditekan dengan ahli sampai ada aliran air yang tertelan. Tasya memuntahkan banyak air dan terbatuk-batuk kesakitan. Paru-parunya masih terasa sakit dan nyeri. Siapa penolongnya? Apakah dia belum boleh mati? Tangan yang kuat itu terus memompa sampai semua cairan keluar dari perut Tasya. Mata Tasya mulai kabur, kesadarannya mulai hilang, ketika suara di atasnya terdengar tenang. "Panggil dokter." Itu adalah suara Alaric. Apakah Alaric yang menyelamatkannya? Sekali lagi. Lagipula, mengapa dia menyelamatkannya? ***** Perlahan-lahan, matanya terbuka setelah beberapa jam tertidur lelap. Dadanya masih terasa sesak, dan ia mengira ia sudah mati. "Tarik napas, kamu sudah berada di daratan." Alaric yang berada di sampingnya, memasang wajah hampir tertawa. "Kenapa kau menyelamatkanku? Aku lebih baik mati daripada diselamatkan oleh iblis sepertimu!" "Tenang, karena aku masih ingin bermain denganmu." "Dasar bajingan." Dalam keadaan sakit, Tasya masih bisa memaki-maki manusia iblis ini. "Apa pun yang kamu katakan, aku tidak peduli; kamu persiapkan saja dirimu untukku malam ini." Alaric berjalan meninggalkan ruangan, dan Tasya menangis lagi. Ia menangis dalam diam, ia tidak ingin semua orang merasa kasihan padanya, yang telah disiksa oleh Alaric. ***** Malam harinya, Alaric kembali masuk ke kamar Tasya karena ia mendengar Tasya belum menyentuh makanannya sama sekali. "Kenapa kamu tidak makan?" Alaric membentak perempuan itu yang sedang termenung di tepi tempat tidur. Tidak ada jawaban dari Tasya membuatnya geram, jadi dia mendekatinya lagi dan memegang dagunya, membuat Tasya hanya bisa menatap wajahnya. "Kenapa kamu tidak menyentuh makananmu?" "Aku lebih baik mati daripada terjebak dengan iblis sepertimu." Kata-kata Tasya seakan menjadi bumerang baginya karena Alaric semakin marah padanya. "Oh, jadi kau ingin mati? Kalau begitu aku akan membantumu menemui ajal dengan cepat." Alaric menarik tangan Tasya ke arah ruang penyimpanan berbagai macam makanan beku. "Tinggallah di sini sampai ajal menjemput. Alaric mengunci pintu dan meninggalkan Tasya yang terduduk kedinginan di dalam ruangan. "Ibu... Tasya akan segera menyusul Ibu, cepat jemput Tasya ya, Bu." Tasya berdoa dalam hati sambil memeluk tubuhnya yang kedinginan. Sudah hampir dua jam ia berada di sana, dan kini bibirnya membiru dan wajahnya pucat pasi. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN