Puja benar-benar frustrasi dengan keadaan hari ini. Baru saja dirinya bekerja sudah mendapatkan hal yang tidak mengenakan sama sekali. Sungguh ia merasa sial sekali hari ini sudah mendengar erangan sang Bos yang sedang keenakan di dalam ruangnya. Hingga Puja meremas rambunya sampai mengacak-acak rambutnya sendiri karena begitu frustrasi.
“Kamu kenapa, Puja? Belum keramas kok garuk-garuk kepala gitu?” tanya Rena yang tiba-tiba muncul di depan Puja, tanpa Puja ketahui.
“Eh, eng—enggak, Mbak. Ah i—itu, apa a—anu ....” Ucap Puja yang kebingungngan harus bicara apa pada Rena.
“Anu itu anu itu apa, Puja?” tanya Rena yang juga ikut bingung. Namun, seketika mata Rena tertuju pada sebuah cangkir yang berisikan kopi hitam di depan Puja. Rena yakin itu pasti Puja buatkan untuk Akash.
“Sebentar, ini Akash sudah datang lagi?” tanya Rena.
“I—iya, su—sudah, Mbak,” jawab Puja gugup.
“Apa dia minta kopi?” tanya Rena dan dijawab dengan anggukkan kepala Puja.
“Loh kenapa gak diantarkan ke ruangannya, Puja? Kamu ih cari masalah?” ucap Rena. Namun, Puja hanya terdiam, bingung harus berkata apa pada Rena.
“I—itu, Mbak. Ehm ... gimana ini bilangnya, aduh .... Anu, Mbak. Apa ya, ah itu ... anu ....”
“Astaga Puja? Anu itu anu itu lagi dari tadi? Kenapa, ada apa, Puja?” tanya Rena tambah kesal.
Puja mendengkus kesal, mengembuskan kasar napasnya, karena tidak tahu harus bicara apa pada Rena. Namun, perlahan Rena tahu dengan ekspres Puja yang seperti frustrasi begitu.
“Aku tahu, pasti di dalam ada perempuan, ya?” tanya Rena. Dan Puja hanya menganggukkan kepalanya saja.
“Benar-benar Akash ini! Mau sampai kapan sih dia begitu? Selalu saja begitu?” gerutu Rena.
“Ini maksudku, saat tadi aku bilang jangan mengganggu Akash saat sedang bersama seorang wanita di dalam. Kamu sudah paham sekarang, kan?” ucap Rena. Puja hanya mampu menganggukkan kepalanya. Masih saja ia terngiang akan erangan Akash yang ia dengar tadi.
“Kamu juga harus tahan dengan kebiasaan Akash yang satu itu, ya? Aku sampai lelah menasihatinya, Puja. Gak tahu harus bagaimana lagi. Bukan hanya aku saja yang menasihatinya, Suamiku dan teman dekat Akash lainnya juga sudah berkali-kali menasihatinya, tapi hasilnya nihil. Masih tetap begini. Kadang aku sedih banget kalau Akash lagi begini. Aku selalu pengin Akash kembali seperti dulu lagi,” ucap Rena dengan tatapan sendu, mengingat bagaimana dulu Akash yang sangat baik sekali orangnya. Hangat dan ceria, tidak searogan sekarang.
“Kalau boleh tahu, kenapa Pak Akash sampai seperti itu, Mbak? Biasanya ada sebab dan akibatnya, kan? Bukan saya ingin tahu, tapi aku juga pernah punya teman yang seperti Pak Akash, karena suatu kejadian, dia berubah menjadi arogan, dan tidak bisa dikendalikan lagi,” ucap Puja, yang kini tingkat kekepoaanya makin tinggi. Padahal Puja bukan tipe orang yang ingin tahu urusan orang lain. Namun, melihat Akash yang tampilannya seperti orang baik, tapi kenyataannya seperti itu, Puja jadi ingat teman masa kecilnya yang persis seperti Akash itu.
“Jadi yang aku tahu itu, dulu Papanya Akash selingkuh, dan tidur dengan wanita lain, itu Papanya lakukan di depan mamanya dan dirinya. Hingga Mamanya Shocked, lalu Mamanya sakit-sakitan setelah itu, dan mengalami Depresi juga. Itu terjadi saat kami masih SMA kelas satu. Dan, di situ Akash sudah mulai berubah total sikapnya. Namun, dia masih baik sama saya, dan suami saya. Meskipun tidak sehangat dan seceria dulu,” jelas Rena.
“Ceritanya sama dengan temanku SMP. Tapi bedanya dia itu sering melihat Mamanya dipukulin Papanya, Mbak. Jadi ya sampai sekarang dia begitu arogan sekali. Kasihan sebetulnya anak yang hidup dalam lingkup keluarga yang kurang harmonis,” ucap Puja.
“Ya begitulah, aku juga kasihan sebetulnya sama Akash.”
“Oh ya, lalu perusahaan ini? Apa ini milik orang tua Akash?”
“Ini milik Akash sendiri. Bukan berarti Akash yang nakal, arogan, dan susah diatur itu malah akan berantakan hidupnya. Dia salah satu murid paling cerdas di SMA. Dia terus mempertahankan peringkat dan prestasinya kala itu, meski dia arogan dan susah diatur. Guru kami paham dengan Akash yang begitu. Karena dia berontak dan protes kenapa sang papa sekejam itu pada ibunya. Hingga pada akhirnya setelah Papa dan Mamanya pisah, Akash bekerja sambil sekolah, apa pun dia kerjakan untuk menyambung hidupnya.”
“Setelah lulus dan dapat beasiswa kuliah, Akash nekat jual rumah peninggalan mamanya, untuk biaya hidup saat kuliah. Dia lalu ngekost, dan ibunya yang sakitnya tambah parah akhirnya Akash memutuskan untuk membawa ibunya ke rumah sakit, untuk dirawat di sana, dan sampai sekarang mamanya masih di rawat di sana.”
“Akash dulu kerja di perusahaan ini. Dia menjadi orang kepercayaan di sini. Hingga pada akhirnya, sang pemilik perusahaan ini mengalami kebangkrutan karena utang, lalu akhirnya pemilik Perusahaan ini menjual perusahaan ini untuk menutup semua utangnya. Dengan sisa uang hasil jual rumah, dan sisa tabungan saat Akash kerja, Akash membeli perusahaan ini. Dia membangun semua ini dari nol, hingga akhirnya sebesar ini.”
Puja sekarang sudah paham kenapa Atasannya sampai seperti itu. Bahkan ia sangat kagum dengan Akash saat mendengar perjuangan hidup seorang Akash yang tidak mudah untuk bangkit dari keterpurukannya. Akash bisa menjadikan perusahaannya sebesar sekarang karena jerih payahnya sendiri. Hasil dari keringatnya sendiri. Sungguh sangat luar biasa menurut Puja.
Karena banyak orang diluar sana yang hidup dalam keluarga berantakan, bukannya malah memperbaiki hidupnya, tapi malah memperburuk kehidupannya. Seperti teman Puja yang tadi diceritakan pada Rena. Sekarang pun hidupnya makin berantakan di desanya, menjadi preman kampung di sana.
“Haduh, aku jadi cerita banyak nih. Jadi ghibahin Akash nih? Kalau sudah bahas Akash, bawaannya melow aku ini. Sedih gitu, kalau mengingat bagaimana dulu dia mati-matian membangun semua ini dari nol,” ucap Rena dengan menyeka sudut matanya yang sudah mengembun, saat mengingat bagaimana perjuangan Akash dulu.
“Gak apa-apa, Mbak. Aku suka dengarnya, jadi kayak nambah inspirasi hidup gitu. Bahwa kita itu harus selalu semangat dan bersyukur dalam setiap keadaan. Kadang kebanyakan orang melihat kesuksesan orang itu tanpa melihat seberapa keras perjuangnya di belakang kesuksesan tersebut. Malah kalau sedang mati-matian usaha mereka mencibir dan menyepelekan kita yang sedang usaha. Kalau udah tahu hasilnya, malah tanya-tanya, deketin kita, sok tanya gimana kok bisa gini, bisa gitu? Apasih rahasianya?” ucap Puja.
“Kamu betul sekali, Puja. Emang cerdas nih orang. Cocok sepertinya sama Akash?” ucap Rena.
“Ah mbak ini bisa saja. Orang saya tadi dibilang lemot, gak berkompeten kok kata Pak Akash? Katanya lemot kaya jaringan 2G?” cebik Puja yang membuat Rena terkekeh saat melihat ekspresi wajah Puja yang lucu dan menggemaskan itu.
“Masa tadi Akash bilang gitu padamu? Lalu kamu bilang apa? Apa hanya diam?” tanya Rena.
“Ya saya bilang saja, maksud anda bicara gitu apa? Saya tidak berkompeten bagaimana, Pak? Sedangkan anda belum tahu kerja saya bagaimana?”
“Berani kamu jawab?”
“Iya.” Jawab Puja lugu.
“Keren kamu. Baru kali ini ada yang berani mendebat Akash. Aku saja tidak berani yang dekat dari dulu, sejak Akash punya masalah keluarga,” tutur Rena.
“Tapi ya takut sebetulnya bicara begitu, takut dipecat saya. Saya butuh sekali buat berobat bapak soalnya, Mbak. Jadi butuh gajian yang cukup untuk pengobatan bapak, dan biaya hidupku di sini.”
“Kamu yang sabar, yang semangat, ya? Semua pasti akan baik-baik saja,” ucap Rena dengan menepuk-nepuk bahu Puja.
“Oh iya, Mbak? Boleh saya tanya satu hal lagi?” tanya Puja yang masih sangat penasaran sekali. Entah kenapa jiwa kekepoan Puja meronta sekarang. Padahal sebelumnya tidak pernah seperti ini.