Puja kepo dengan persahabatan Akash dan Rena. Entah kenapa dia bisa-bisanya penasaran dengan semua itu.
“Mau tanya apa?”
“Mbak ini katanya bersahabat sama Pak Akash dari dulu, dari kecil? Ehm maaf nih kalau saya tanya ini. Biasanya kan dalam persahabatan itu setahu saya tidak ada yang benar-benar sahabatan, pasti adalah rasa di antara kalian?” tanya Puja.
“Yups, kamu benar sekali, Puja. Tidak ada pesahabatan yang murni persahabatan. Apalagi persahabatan lawan jenis. Saya, Akash, dan suami saya itu bersabahat sejak kecil. Dan apa yang terjadi, saya suka Akash, tapi Akash tidak. Karena saya bukan tipe dan wanita idaman Akash. Dan, ternyata malah suami saya yang suka sama saya. Karena saya dan suami saat kuliah itu satu kampus, ya sudah akhirnya saya jatuh cinta sama suami lalu kita menikah? Kalau Akash kan kuliahnya beda sama aku dan suami.” Jelas Rena.
“Ah ini Pak Akash buta kali, ya? Masa sih gak suka sama Mbak Rena? Mbak ini cantik banget loh sumpah? Aku saja yang perempuan suka lihatnya? Kagum sama kecantikan Mbak? Malah aku kira Mbak ini hamil anak pertama, tenyata sudah punya anak yang sudah lima tahun umurnya? Dibandingkan cewek yang ada di dalam nih Mbak? Wuih .... lebih cantik Mbak ke mana-mana!” ucap Puja dengan memuji Rena, yang memang dia sangat cantik sekali.
“Kamu ini bisa aja? Karena kamu sudah bikin mood aku baik, dan senang nih. Aku traktir kopi deh nanti pulang kerja?” ucap Rena.
“Eh Mbak, gak usah ih? Aku kan bilang sesuai dengan kenyataan, Mbak?” tolak Puja yang tidak enak hati.
“Jangan menolak, saya tidak suka penolakan! Anggap saja ini suatu sambutan di hari pertama kamu kerja. Oke? Saya ini senang sekali, Pak Andi pintar cariin pengganti saya. Orangnya lucu, menggemaskan, cantik, cedas, ceria, bersemangat, pokoknya cocok lah di sini. Aku yakin Akash pasti akan suka nantinya,” ucap Rena.
“Ah Mbak Rena bisa saja? Makasih loh pujiannya?” ucap Puja.
“Mana kopi saya!” Terdengar suara bariton yang menyela percakapan Puja dan Rena.
Ternyata Akash sudah berdiri di ambang pintu ruangannya dengan menatap Puja dengan tatapan kesal. Puja langsung beranjak dari tempat duduknya, lalu dia membawakan kopi yang telah ia buat untuk Akash.
“Ini, Pak.”
Akash menerima cangkir tersebut yang berisikan kopi. Namun, baru sebentar ia memegangi kopinya, Akash langsung melempar cangkir tersebut ke lantai, hingga pecah dan berserakan di lantai. Puja dan Rena yang melihatnya pun langsung terjingkat kaget.
“Bodoh sekali, kamu! Kopi apa itu yang kamu buat untuk Saya!” hardik Akash.
“Ko—kopi hitam, Pak. Bukannya Mbak Rena bilang kopi hitam yang Pak Akash suka?” jawab Puja dengan gemetar dan takut.
“Saya tahu itu kopi hitam! Kopi itu panas, bukan dingin seperti itu! Bikin kopi saja kamu gak becus, gimana mengerjakan lainnya! Bodoh sekali kamu!” rutuk Akash pada Puja.
“Bapak kan minta dari tadi? Saya mau masuk tidak berani, karena Mbak Rena bilang kalau sedang ada tamu, jangan masuk ke dalam,” jelas Puja.
“Berani kamu mendebat saya? Berani kamu?!”
“Saya benar, kenapa harus takut, Pak?” jawab Puja lagi.
“Bersihkan semua itu, lalu kamu pergi dari perusahaan ini, Kamu saya pecat!”
“Baik.” Jawab Puja. Tidak peduli nasibnya nanti bagaimana jika baru sehari saja dia bekerja terus dipecat. Daripada dia makan hati punya bos galak dan gila macam Akash. Lebih baik dia dipecat.
“Akash!” tegur Rena dengan keras.
“Kenapa, Ren? Aku bilang berkali-kali sama kamu, aku ingin kamu tetap di sini, Rena. Aku gak mau kamu digantikan oleh siapa pun. Please ....” Ucap Akash dengan lembut.
“Kita sudah bahas ini sebelumnya, Akash. Tolong jangan mempersulit aku untuk resign. Mas Dito sudah ingin aku berhenti kerja. Aku tahu aku sahabatmu, tapi aku ini sudah punya kehidupan sendiri, Akash? Tolong hargai itu.”
Puja langsung membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. Ia mengerutkan dahinya, mendengar ucapan Akash barusan dengan Rena yang seperti sedang membujuk kekasihnya supaya tidak pergi meninggalkannya. Namun, Puja langsung menepis pikirannya itu. Ia tidak mau ikut campur, mungkin hanya pikirannya dia saja, karena terlalu banyak ia menonton drama korea dan sinetron kalau lagi jenuh di dalam kontrakannya.
“Puja ini gadis yang cerdas dan cekatan, Akash! Aku yakin kamu pasti senang punya sekretaris seperti Puja,” sambung Rena.
“Oke, kalau itu mau kamu aku kabulkan! Aku akan lihat secerdas dan secekatan apa karyawan baru itu nantinya!” ucap Akash, lalu dia kembali ke dalam ruangannya dengan menutup kasar pintu ruangannya.
Rena menatap Puja yang sedang membersihkan pecahan gelas dengan tatapan sedih. Ia tidak tega melihat Puja dibentak seperti itu. Tapi, ada kebanggaan tersendiri, saat melihat Puja tidak takut pada Akash, dan berani menjawab karena dia memang benar adanya. Namun, kembali lagi, namanya bawahan, meskipun dia benar, tetap saja salah di mata sang atasan.
“Bangun, Puja. Biar OB yang bersihkan semua itu.” Puja pun mengikuti ucapan Rena. Dia bangun dan langsung menuju ke meja kerjanya.
Puja langsung mengambil tasnya, dan membenahi semua pekerjaannya. Benar lebih baik dia dipecat saja. Dia tidak mau berurusan lebih dengan atasannya yang gila dan galak itu. Baru kali ini Puja dibentak oleh orang, ketika dulu kerja pun dia tidak pernah dibentak-bentak bahkan direndahkan seperti tadi. Padahal sama saja dirinya pernah melakukan kesalahan.
“Kamu kenapa mengemasi semua itu?” tanya Rena.
“Saya kan sudah dipecat, Mbak? Saya harus pulang, bukan?” jawab Puja dengan tenang.
“Kamu harus bertahan di sini, Puja.”
“Aku sudah dipecat, Mbak dengar Pak Akash tadi bilang apa, kan?” jawab Puja. Ingin rasanya Puja menangis, tapi dia tidak mau dibilang lemah. Memang di kantor ini saja dia dapat kerjaan? Dia pintar, dia pekerja keras, pasti akan banyak lapangan kerja di luar sana.
“Puja, Mbak mohon. Kamu kerja di sini ditawari gaji banyak loh? Kamu mau cari kerja di mana lagi, Puja? Katanya kamu butuh biaya pengobatan buat Ayah kamu? Ini gajiannya Fanstastis loh? Please ... bertahanlah, Puja?”
Rena berusaha membujuk Puja yang sepertinya sudah sakit hati sekali dengan ucapan Akash tadi. Seketika Puja berpikir tentang keadaan Ayahnya yang memang membutuhkan biaya untuk pengobatannya. Untuk kemoterapi, dan untuk kebutuhan lainnya. Sungguh ini pilihan yang amat sulit, kalau melepaskan pekerjaan sekarang, belum tentu dia mendapatkan yang seperti ini.
“Puja, Mbak mohon ya? Jangan menyerah. Mbak mohon bertahanlah di sini. Taklukkan sifat keras kepalanya Akash. Aku yakin kamu pasti bisa. Kamu gadis yang kuat, kamu pasti bisa, Puja. Kamu gak sayang sama Ayah dan Ibumu juga?” tutur Rena yang membuat Puja sadar akan keadaan ibu dan ayahnya di kotanya.
Puja hanya menganggukkan kepalanya. Dia terpaksa untuk tidak resign dari pekerjaannya. Selain tidak enak hati dengan Rena yang sudah baik padanya. Dia pun sangat memikirkan keadaan Ayahnya di kota yang butuh pengobatan, juga untuk keperluan ibunya.
“Iya, kalau aku keluar dari sini, belum tentu aku dapat perusahaan yang mau menggajiku banyak seperti ini? Aku harus kuat, aku harus bertahan demi Ayah. Aku ingin Ayah bisa sehat kembali, meski mustahil bagiku, tapi aku yakin Allah punya segala cara untuk menyembuhkan hamba-Nya,” batin Puja.