Tawaran Kerjasama

1444 Kata
“Ai— aku pengen pipis. Tapi gak berani ke toilet sendiri.” “Memang gak boleh pergi sendiri. Jarak toiletnya jauh. Lagipula penerangan disini kurang terang. Ayo, aku antar.” Naura tersenyum, senang dengan jawaban Dimas. Meskipun ekspresi wajahnya sedang ditekuk tetap lembut saat memperlakukannya. Sepanjang acara sendratari berlangsung, Astar lebih dari dua kali menghampiri Naura, untuk sekedar memberikan camilan dan menanyakan keadaan. Hal itulah yang membuat Dimas kesal. Gamis brokat yang dipakai oleh Naura membuatnya sedikit kesulitan saat berjalan. Dengan sigap Dimas membantunya. “Mau apa, Ai?” Dimas berada di bawah Naura, berjongkok untuk menjepit ujung gamis yang menjuntai ke lantai, menggunakan jarum pentul yang entah dia dapatkan di mana. “Tadi Bunda nyuruh aku pakai sepatu yang ada haknya. Tapi aku nggak mau karena takut jatuh. Makanya gamisnya kepanjangan,” terang Naura tanpa diminta. “Sudah— coba dibuat jalan dua langkah,” pinta Dimas, masih dalam posisi jongkok. Naura pun melangkahkan kakinya, tak hanya dua langkah melainkan enam langkah. “Makasih, Ai. Sudah nggak repot kalau dibuat jalan,” ujarnya sambil menoleh kebelakang. Kearah Dimas berada. Dimas kembali berdiri. Menyimpan jarum pentul yang berada dalam kotak mika ke dalam saku kemeja. Lalu mengajak Naura menuju ke arah toilet. Sepanjang jalan Naura mengeluarkan segala unek-unek ketika Astar mencoba mendekatinya. Lelaki itu bahkan tidak segan memamerkan harta kekayaan orang tuanya. Mungkin Astar pikir kekayaan keluarganya jauh lebih besar dari keluarga Naura. Hingga berani bersikap sombong. “Biarkan saja. Anggap dia tidak ada disekitar kita,” ujar Dimas untuk menenangkan gadis yang kini berdiri didepan toilet dengan mengerucutkan bibir. Naura menghentakkan kedua kakinya. Pertanda jika hatinya sedang kesal. Saat berada di tempat pertunjukan dia berusaha bersikap tenang agar tak membuat keributan dan berakhir mempermalukan Opa-nya. Sekarang sedang berada di tempat yang cukup jauh dari tempat acara. Bebas mengeluarkan kekesalannya. Apalagi Dimas sedang bersamanya. Tempat paling tepat mengeluarkan segara keluh kesah. “Pokoknya kamu harus tegas sama dia, Ai— jangan sampai dia dekati aku,” rengek Naura. “Biar aku yang menegurnya nanti. Namun, aku tidak bisa berjanji dia akan berhenti mengejar mu. Karena kedua orang tuanya juga menyukaimu. Ditambah lagi keluarganya mengenal baik keluargamu.” “Dih— sejak kapan keluargaku mengenal keluarganya? Dia tuh sok akrab gitu. Nyatanya Opa hanya merespon sekedarnya saat dia menyapa. Beda perlakuan ketika melihat kedatanganmu.” Meski yang dikatakan oleh Naura benar adanya, Dimas tak langsung besar kepala, justru terlihat tak peduli. Seolah perhatian yang diberikan oleh Opa Alvin tidak berarti baginya. “Masuklah—” titahnya pada Naura. “Kita bicarakan masalah itu besok lagi.” Naura menurut, langsung masuk ke dalam toilet untuk menuntaskan hajat, meminta Dimas tetap menunggu di depan pintu. Papa Restu “Nak, apa besok ada waktu untuk makan siang bersama?” Satu pesan dari Pak Restu hanya dipandangi oleh Dimas. Meski sudah selesai membacanya tak ada niatan untuk membalas. Makan siang bersama orang tua angkatnya adalah hal yang sangat diinginkan oleh Dimas. Namun, momen itu dapat membuat ketenangan hidupnya menghilang dalam sekejap. Bagaimana tidak? Angga, putra tunggal Pak Restu pasti akan mengikuti kedua orang tuanya. Dia sepantaran dengan Dimas, karena Angga bukan anak kandung melainkan anak adopsi. Bu Tania sempat hamil dua kali namun keguguran saat usia kandungannya 6 bulan. Beliau hampir kehilangan nyawa ketika mengalami pendarahan hebat. Takut terjadi hal buruk pada sang istri, Pak Restu mengakhiri program hamil dan memutuskan mengadopsi anak sepupunya. “Kenapa nggak di balas?” Tanya Naura. Dimas terlonjak kaget, tiba-tiba saja gadis cantik itu berada di belakangnya, padahal telinganya tidak mendengar suara pintu dibuka. “Jawab iya, Ai— besok siang aku akan menemanimu. Jangan takut sama si anak manja dan sombong itu! Kalau dia bikin masalah ntar jadi urusanku.” “Memangnya kamu berani sama dia? Terakhir ketemu kamu nangis karena dibentak.” “Ckck, anak manja itu beraninya melawan perempuan. Bakal aku adukan ke Papa. Biar kena tegur Om Restu.” Setiap kali Naura dan Angga bertemu akan terjadi berdebat. Dan berakhir drama tangisan perempuan terzolimi. Naura mengadukan kelakuan Angga pada Papanya sambil menangis tersedu-sedu. Hingga Pak Restu geram dan menegur putranya dengan suara meninggi. “Lebih baik aku tolak saja ajakan makan siangnya,” putus Dimas. “Lah, kenapa? Memangnya kamu gak kangen sama Mama Tania.” “Lebih baik menjaga perdamaian ketimbang membuat pertikaian. Kamu tidak lupa ending setiap kali diajak makan diluar oleh orang tua angkat ku ‘kan?” “Si anak manja itu menguntit dan membuat gara-gara,” jawab Naura. “Ya, seperti itulah yang akan terjadi besok siang. Bisa jadi Angga tidak hanya mengajakku berdebat, melainkan melakukan aksi saling pukul.” Naura menghela nafas kasar. Kemudian mengajak Dimas kembali ke tempat pertunjukan. Sudah hampir pukul 10 malam. Acaranya akan segera selesai dan Opa-nya pasti akan mencarinya. *** Selepas menonton pertunjukkan sendratari, Opa Alvin tak langsung pulang, melainkan mengajak Naura dan Dimas menikmati kuliner malam di daerah malioboro. Naura yang jarang mendapatkan ijin keluar malam dari sang papa langsung setuju. Paling semangat diantara kedua orang yang kini duduk di sebelahnya. Nasi kucing, sate-satean, gorengan dan wedang uwuh baru disajikan si pemilik angkringan, saat ketiganya sedang membicarakan tentang perkembangan toko cat milik Dimas. “Kakak minggu ini melakukan renovasi apa lagi?” tanya Opa Alvin. Naura menggeleng. Cat yang baru dibelinya masih tertata rapi di gudang. Belum digunakan karena tidak mendapatkan izin dari si empunya rumah, yaitu Pak Gio. “Mulai minggu kemarin Dimas melarang Naura belanja cat lebih dari dua kaleng. Kalau dia menolak bakal Dimas blacklist dari daftar pelanggan tetap,” terang Dimas. Sama sekali tak sungkan bicara seperti itu dengan Opa Naura. Pak Alvin tak jadi menyeruput wedang uwuh yang sudah berada di tangannya. Beliau tertawa melihat perubahan wajah sang cucu. “Gak boleh gitu dong, Ai— gini-gini aku tuh member teraktif di tokomu.” “Paling aktif membuat keributan maksudnya?” sahut Opa Alvin. “Benar sekali Opa,” jawab Dimas. Naura semakin menekuk wajah, kesal karena tidak ada yang mendukungnya, padahal tujuannya membeli cat itu baik. Selain untuk melarisi dagangan Dimas, juga mempercantik rumah kedua orang tuanya. “Mau bekerja sama dengan Opa atau tidak?” Opa Alvin memberikan tawaran tanpa basa-basi lebih dulu. “Proyek kecil namun pengerjaannya harus detail. Akan memakan waktu cukup lama. Sekitar 3-4 bulan,” terangnya lagi. Seketika raut wajah Naura berubah lagi. Awalnya cemberut langsung tersenyum lebar. Bahkan dia yang menjawab tawaran yang diberikan oleh Opa-nya. “Terima saja, Ai— ntar aku bantuin,” paksanya. “Opa belum menjelaskan bentuk kerjasama yang beliau tawarkan,” ucap Dimas. Opa Alvin langsung menjelaskan kerjasama yang ditawarkan pada Dimas. Beliau ingin memperlebar kebun sayur yang ada dibelakang rumah. Sebagai hadiah ulang tahun Oma Sarah. Kebun itu dulunya di desain oleh Dimas. Sebagai hadiah ulang tahun pernikahan. Kini sayur-sayuran organik sudah mulai banyak yang ditanam oleh Oma Sarah. Hingga beliau mengeluh kekurangan lahan. “Desainnya sama atau berubah Opa?” Tanya Dimas. “Samakan saja. Oma berkata sangat menyukai tata letak kebun sayurnya. Meski lahannya terbatas terlihat rapi dan luas.” “Terus Opa rencananya mau bongkar pagar belakang?” Dimas sedang mencari desain kebun sayur milik Oma Sarah yang tersimpan rapi pada galeri ponselnya. “Tanah dibelakang rumah telah Opa beli. Pagar sudah dibongkar dan dibangun kembali. Besok datanglah ke rumah Opa untuk melihat lokasi yang akan dibuat kebun sayur yang baru.” Naura yang menjawab, “Kita barengan aja datangnya. Sekalian minta makan siang di rumah Opa.” Kedua alis gadis itu sengaja di naik turunkan. Senyumnya pun mengembang dengan lebar. Bahagia karena memiliki alasan selalu bersama dengan Dimas. “Aku bisanya pagi. lagipula besok jadwal kuliahmu penuh dari pagi hingga sore. Biar aku ke rumah Opa sendiri saja.” “Bagus deh— kita masih bisa sarapan bareng.” Naura belum mau menyerah. Masih berusaha agar bisa makan bersama dengan Dimas. “Memangnya Kakak mau menginap di rumah Opa?” Tanya Opa Alvin. “Naura sudah minta izin sama Papa buat menginap semalam di rumah Opa,” jawabnya tak yakin. Karena Pak Gio belum membalas pesannya. “Gak bakal dikasih izin,” sahut Dimas. “Opa rasa juga begitu. Lihat itu— datang si paling posesif sama cucu-cucu Opa,” tunjuknya pada seorang pria yang wajahnya mirip sekali dengan Opa Alvin. Naura mendengkus kesal ketika melihat kedatangan Papanya. Sementara Dimas tersenyum saat kedua matanya tak sengaja bertatapan dengan Pak Gio. “Mau apa kamu menyusul?” Tanya Opa Alvin tak suka. “Jemput anak gadis ku lah. Memangnya untuk apa lagi selain itu,” jawab Pak Gio tak kalah ketus. Naura mendekatkan tubuhnya pada Dimas. Masih ada jarak, kurang lebih dua jengkal tangan, lalu membisikkan sesuatu, “Siap-siap. Bakal ada perdebatan sengit yang membosankan. “Sssttt, gak boleh gitu!” tegur Dimas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN