Naura bukan tipe gadis yang manja dan sombong meski menjadi kesayangan Opa dan Oma-nya.
Setiap bulan memberikan uang jajan yang cukup besar, membelikan barang-barang mewah dan sering mengajak liburan ke luar negeri begitulah cara Opa Alvin dan Oma Sarah memanjakan cucunya.
Mungkin jika gadis lain yang berada di posisi Naura saat ini tak akan mau mengantri hanya sekedar untuk membeli minuman.
Baik Papa dan Opa-nya telah menyiapkan bodyguard yang selalu mengawalnya setiap kali berada di luar rumah.
Tinggal perintah satu diantara para bodyguard untuk membelikan minuman dan dia tinggal duduk manis sembari mendengarkan sambutan dari kepala dinas kebudayaan Yogyakarta.
Namun, Naura tak mau. Lebih suka mengantri layaknya penonton sendratari pada umumnya. Lagipula dia merasa bosan duduk diantara para orang tua. Pembahasan yang diperbincangkan tak jauh-jauh perihal bisnis.
“Naura— ah, iya, ternyata benar kamu,” sapa seorang lelaki berperawakan tinggi, putih dan berwajah tampan.
Sementara yang disapa, Naura. Masih terdiam di tempatnya. Belum menunjukkan ekspresi apapun. Seolah sedang mengingat-ingat siapa orang yang sok kenal dengannya.
Seperti yang telah dikatakan oleh Eyang Hasan, cucunya tak memiliki teman laki-laki selain Dimas. Selama di pondok benar-benar menjaga pergaulan dan hanya fokus belajar.
Wajar jika Naura kesulitan mengingat orang selain Ayang-nya, Dimas. Bisa jadi memang dia tak pernah kenal.
“Maaf, Ra— aku membuatmu kaget ya,” ujar lelaki yang kini sedang menggaruk tengkuknya yang pasti tak gatal.
Sebelah alis Naura terangkat. Ekspresi wajahnya pun berubah masam. Merasa terganggu saat disapa orang yang tidak dikenalnya.
“Perkenalkan, aku Astar—”
Uluran tangan lelaki itu diabaikan oleh Naura. Tentu saja akan begitu, karena dia tak mungkin bersentuhan dengan yang bukan mahramnya.
“Dimas. Sahabat Naura.”
Tiba-tiba Dimas datang dan menerima jabatan tangan Astar. Padahal dia berkata lembur di toko saat Naura mengirim pesan tadi.
Jabatan tangan pun terurai, Dimas bergegas mengajak Naura maju beberapa langkah, karena sudah waktunya memesan kopi juga camilan.
“Ai, kok bisa kamu ada di sini?” Tanya Naura dengan heran.
“Kamu mau kopi atau jahe hangat?” Tanya balik Dimas.
“Jahe hangat saja,” jawab gadis itu dengan wajah yang tadinya mendung kini berganti cerah.
Dimas memesan kopi, jahe hangat dan dua snack potato, kemudian membayar.
Setelah pesanannya jadi, Dimas meminta Naura membawa snack sementara dia membawa dua cup plastik yang berisi kopi dan jahe hangat.
“Kamu duduk di mana, Ai?”
“Paling belakang. Bisa juga tidak kebagian tempat duduk.”
“Kalau gitu duduk di samping aku saja. Tadi masih ada kursi kosong.”
“Aku akan sibuk selama acara berlangsung. Kemungkinan tidak sempat menyaksikan pertunjukan.”
Naura menghentikan langkah, lalu mendengkus kesal karena Dimas mengambil job freelance lagi.
“Aku hanya membantu teman. Misal aku bekerja di sini pasti sudah memakai seragam seperti yang lain. Nyatanya aku pakai kemeja batik milikku sendiri,” terang Dimas.
“Putra yang kerja di sini?” Naura kembali melanjutkan langkahnya setelah diberi penjelasan yang masuk akal.
“Hm, setiap malam dia akan bekerja di sini.”
Saat keduanya sampai di depan pintu masuk, ternyata Astar sudah menunggu di sana, memasang senyum lebar ketika melihat kedatangan Naura.
“Ai, antar aku sampai ke tempat duduk ya. Aku tidak suka dengannya. Lihat— senyumnya sangat menyebalkan.”
“Dia dulu satu pondok denganmu.”
“Kok kamu bisa tahu, Ai?”
“Hanya menebak saja. Dan sepertinya tebakanku benar.”
Pondok pesantren tempat Naura menimba ilmu terdapat yayasan sekolah berbasis agama Islam mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.
Karena sekolah di sana murid lelaki dan perempuan dicampur menjadi satu kelas, membuat Siva mengambil keputusan yang sempat ditentang oleh sang suami.
Naura tetap sekolah namun tidak di sekolahan melainkan di tempat yang telah disediakan oleh pemilik pondok. Bisa dikatakan dia mengikuti program homeschooling.
Hanya ada beberapa anak yang mengambil program seperti Naura. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga yang berada. Karena biaya homeschooling sangat mahal.
Hal itulah yang membuat Naura tak memiliki banyak teman. Meskipun begitu, dia tetap menjadi idola pondok. Padahal dia jarang sekali menampakan wajah saat pondok pesantren memiliki acara.
“Ayo buruan masuk, Ra. Sebentar lagi acara utama akan dimulai,” ajak Astar.
Dimas menganggukkan kepala saat Naura menatapnya. Kemudian keduanya masuk ke dalam tempat acara dengan berjalan beriringan. Bersikap seolah-olah tak ada orang lain di sekitar mereka.
Tempat duduk Naura berada pada barisan paling depan. Tempatnya di depan panggung. Kursinya pun berbeda dengan kursi penonton yang lainnya. Karena Opa Alvin termasuk tamu undangan VVIP.
“Opa— Aku diantar sama Ayang,” ujar Naura setelah mendaratkan b****g pada sofa.
“Eh, ada Nak Dimas,” Opa Alvin langsung beranjak dari tempat duduknya, tanpa sungkan memeluk lelaki yang selalu diceritakan oleh cucunya. “Duduk di sebelah mana?” Tanya beliau kemudian.
“Saya sedang membantu teman. Nanti akan duduk di baris belakang,” jawab Dimas.
“Setelah acara jangan langsung pulang. Opa ingin membicarakan hal penting denganmu.”
“Iya, Opa—”
Dimas menaruh kopi dan jahe hangat ke atas meja. Memberikan minumannya pada Opa Alvin. Tamu undangan memang mendapatkan snack dan air mineral botol. Tapi, menonton sendratari paling enak sambil minum kopi atau jahe hangat. Apalagi udara semakin malam semakin terasa dingin.
“Ai— aku ikut kamu saja ya,” rengek Naura.
“Lebih nyaman duduk di sini. Kalau kamu duduk di belakang tidak akan terlihat jelas pertunjukannya. Lagian aku juga bakal sibuk membantu mencarikan tempat duduk para penonton yang baru datang.”
“Aku bakal bosan,” rengeknya lagi. Kali ini lengkap dengan wajah memelas.
“Tidak akan bosan karena pertunjukannya sangat menarik. Aku pergi dulu ya. Jangan nakal!”
Naura mengerucutkan bibirnya saat melihat kepergian Dimas. Harapannya menikmati pertunjukan sendratari ditemani Ayang sirna. Ya— karena Dimas berada di sana bukan untuk menonton melainkan bekerja.
Opa Alvin mengambil gelas plastik yang ada di depannya, kemudian menyeruput kopi yang masih berasap itu, perlahan hingga membuat tubuhnya kembali menghangat.
Kedua matanya menatap ke arah sang cucu, perubahan mood-nya sangat cepat, padahal beberapa detik yang lalu masih senyum-senyum tak jelas.
“Biarkan Nak Dimas menyelesaikan pekerjaannya. Kalau Kakak gangguin dia bisa kena tegur atasan.”
“Dimas itu tidak kerja di sini. Tapi dia membantu temannya. Harusnya sih tidak masalah jika Naura mengikutinya. Paling-paling jika ketahuan honornya tidak turun.”
“Kakak nggak boleh nakal. Ingat pesan Papa tadi.”
Naura merengek, memeluk lengan Opa-nya sambil menyandarkan kepala. “Mau pindah duduk ke belakang,” pintanya.
“Di belakang kursinya tak senyaman sofa ini. Kakak yakin mau pindah?”
Gadis itu pun menganggukkan kepala cepat. Memasang senyum yang membuat Opa Alvin gemas.
Beliau sangat mudah luluh dengan rengekan Naura dan Nabila. Para cucu kesayangannya.
Apalagi Naura seperti itu hanya dengan Dimas. Biasanya dia mengabaikan jika ada lelaki yang mencoba mendekatinya. Tak jarang memasang wajah jutek jika yang menggodanya pantang menyerah seperti Astar.
“Ya sudah kalau begitu minta Nak Dimas buat jemput,” putus Opa Alvin.
“Terima kasih, Opa,” Naura tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi.
Setelah itu, Naura mengambil ponselnya lalu mengirim pesan pada Dimas.
Naura : “Ai, bisa jemput aku apa ngak?”
Tak butuh waktu lama, Dimas langsung membalas pesan.
Dimas : “Mau ke toilet?”
Naura : “Enggak, aku mau duduk di sebelahmu. Opa sudah kasih ijin.”
Dimas : “Duduk di depan saja. Dari sini tidak terlalu jelas. Lagipula kursinya nggak nyaman.”
Naura : “Gapapa kok, Ai. Buruan jemput aku. Keburu pertunjukannya dimulai.”
***
Naura bukannya fokus menonton pertunjukan sendratari malah asik menghabiskan camilan sambil melihat orang pacaran.
Beberapa kali dia terkekeh saat si cewek menolak ketika akan di cium. Bahkan sempat memukul wajah pacarnya saat tangannya mulai aktif.
Dimas sudah menegur Naura. Meminta agar tidak melihat pasangan di depannya. Dia pun berkata iya namun matanya lagi-lagi melihat ke arah pasangan itu.
“Ra— lebih baik kamu menatapku ketimbang memperhatikan pasangan yang tak sopan itu!”
“Aku sudah berusaha untuk tidak melihatnya, Ai— tapi mereka kayak sengaja pengen jadi pusat perhatian gitu. Tiba-tiba mengeraskan suara ketika saling menggoda.”
“Lihat sini saja!” pinta Dimas dengan suara lembut.
Naura mengulum senyum saat mata cantiknya tak sengaja bertatapan dengan mata hitam kelam milik Dimas.
“Ganteng banget kamu, Ai. Kayak apotik gulung tikar. Kehabisan obat,” ujar gadis itu sambil cekikikan.
“Nakal kamu ya!” seru Dimas sambil mengangkat sebelah tangannya. Ingin menarik pipi chubby Naura namun diurungkan. “Harusnya kamu duduk manis di sebelah Opa.”
“Gak mau! Lebih nyaman di sini. Kalau disana tuh terlalu dekat. Aku takut digoda sama para tuyul.”
“Pemain yang memerankan tuyul itu manusia. Mereka bahkan masih kecil. Kemungkinan siswa SD kelas 5 dan 6. Apa yang perlu ditakutkan?”
“Meski aku tahu itu manusia yang memakai make up hantu, tetap saja terasa seram bagiku.”
Saat Naura dan Dimas tengah asik berbincang. Terdengar suara letusan kembang api. Disusul sekelompok orang yang tiba-tiba membakar salah satu properti pertunjukan sendratari.
Suasana pun berubah riuh, para penonton berteriak ketika salah satu tokoh wayang yang sangat terkenal muncul.
Begitupun dengan Naura, ikut berteriak sambil bertepuk tangan, hingga membuat Dimas geleng-geleng kepala.
"Ai, video video," ujar gadis itu. Meminta Dimas agar merekam aksi para pemain sendratari.
"Iya," jawab Dimas.
Bukannya mengarahkan kamera pada punggung pertunjukan malah pada Naura. Kelakuan Dimas memang cukup unik.
Malam ini dia sama sekali tidak bersikap dingin dan ketus. Sejak datang dan menemui Naura sikapnya sangat manis.
"Dating view Prambanan sungguh indah sekali," gumam Dimas.
Sayangnya, Naura masih dapat mendengar meski samar-samar. Lalu dia pun menoleh ke arah Dimas. "Ai, kamu videoin aku?" tanyanya sembari memasang wajah jahil.
"Tidak, kebetulan kameranya mengarah ke arahmu. Ini aku putar ke sebelah sana," jawab Dimas dengan memutar kamera ke arah panggung.