Secuil Kisah Dimas

1470 Kata
“Ambil lah paper bag ini, Ra— isinya pakaian yang menurutku sangat cocok jika kamu pakai saat pergi ke kampus.” Akhirnya, setelah menunggu cukup lama. Naura mendapatkan kalimat romantis yang diinginkannya. Mungkin bagi sebagian orang kalimat yang baru saja diucapkan oleh Dimas biasa saja. Namun, tidak bagi gadis itu. Kedua pipi chubby-nya berubah warna seperti tomat matang. Mata indahnya pun bersinar terang mengalahkan cahaya mentari pagi ini. “Berapa stel bajunya?” Hais, harusnya Naura tidak menanyakan jumlah baju pemberian Dimas. Tinggal bilang terima kasih itu sudah cukup. Ya— namanya juga Naura. Jika tak melakukan hal konyol dunia akan terasa sepi. Karena setiap hari selalu membuat gebrakan baru yang membuat orang-orang disekitarnya geleng-geleng kepala. “Enam stel, bisa kamu pakai mulai hari senin hingga sabtu,” jawab Dimas, sama sekali tak merasa tersinggung. “Terus minggu depannya aku harus pakai apa?” Dasar Naura! Pertanyaan keduanya seolah-olah dia manusia yang tak memiliki pakaian. “Minggu depan aku belikan lagi. Semua pakaian itu sudah aku laundry. Bisa langsung kamu pakai,” terang Dimas. “Terima kasih—” jawab Naura sembari melihat pakaian yang diberikan oleh Ayang. Semua warna pakaian itu berwarna earth tones. Padahal selama ini Naura sering memakai pakaian warna-warni. Melambangkan ciri khasnya yang selalu ramai dan ceria. “Ayo pulang— aku akan mengantarmu,” ujar Dimas. “Eh, jangan! Aku akan naik ojol saja. Kamu ‘kan harus menjaga toko. Karyawan mu belum pada datang.” “Putra sebentar lagi sampai. Lagipula masih pagi, pelanggan datangnya saat siang.” Dimas mengambil jaket dan tas punggung. Kemudian meninggalkan gadis cantik yang masih mematung ditempat. Saat dia sampai di depan pintu, putra datang dengan tergesa, seperti orang yang habis dikejar satpol PP. Keringat pun membanjiri keningnya. Baju bagian atas juga basah hingga pakaian dalamnya kelihatan. “Hujan di musim kemarau?” Tanya Dimas dengan mengangkat sebelah alisnya. “Hujan lokal! Hanya aku yang terkena,” jawab Putra sambil mendengkus kesal. “Masih mengejar mu? Bukannya sudah pindah dari Jogja.” “Hutangnya malah semakin menggunung. Kalah jvdi lagi dan aku yang dikejar-kejar depkolektor.” “Bilang saja kalau kamu bukan anaknya. Kebetulan diadopsi saat menemukanmu di pos ronda.” “Ckck, kamu pikir debkolektor itu Naura. Yang mudah dibohongi dengan drama murahan. Mereka akan terus mengejar ku sampai kiamat.” Dimas menepuk punggung sahabatnya. Lalu memintanya masuk untuk berganti pakaian. Setelah itu, dia meninggalkan toko karena akan mengantar tamu yang selalu merepotkannya. “Aku akan tinggal di sini untuk sementara waktu—” ujar Putra dan Dimas langsung mengangkat jempolnya. *** Sesampainya di rumah Naura, Dimas tak langsung pulang. Kebetulan di depan rumah ada Bu Siva yang sedang berbincang dengan tukang kebun. Motor besar Dimas dimasukkan ke dalam oleh Pak satpam karena tadi parkir di depan gerbang. Rencananya dia akan langsung kembali ke toko. Ternyata ketemu dengan orang tua Naura. Naura pamer pada Bundanya, pakaian pemberian Dimas dikeluarkan semua, seperti pedagang sedang menjajakan dagangannya. “Tumben Kakak suka pakaian warna natural. Biasanya kalau beli baju warna gonjreng bikin silau mata,” ucap Bu Siva. “Kayaknya Ayang lebih suka Naura jadi cewek bumi ketimbang cewek kue,” ungkap Naura. Dimas geleng-geleng kepala setiap kali Naura memanggilnya dengan sebutan Ayang di depan orang tuanya. Beberapa kali dia menegurnya dan jawabannya selalu ‘Gapapa, Ai. Papa dan Bunda paham kok. Gak bakalan marah sama kamu.’ “Ya sudah, Kakak segera masuk dan temui Papa. Sedih banget wajahnya pulang kerja putrinya gak ada di rumah.” “Hihi, maaf, Bun— kirain mau sambangan ke pondoknya Adek sampai sore.” “Papa dan Bunda hanya boleh bertemu dengan Adek sebentar. Soalnya ada kegiatan disekolah yang tidak memperbolehkannya izin.” “Jadi kangen si imut. Bulan depan Kakak ikut kalau mau sambangan ya Bun.” “Iya, Sayang— masuk dulu gih.” “Siap,” jawab Naura, kemudian menoleh ke arah Dimas. Lalu berkata, “Ai, aku masuk dulu ya. Terima kasih untuk kadonya dan sudah mau repot-repot mengantar ku.” Dimas menjawab dengan anggukan kepala. Ditambah sedikit senyuman yang terlihat sangat manis. Selepas kepergian Naura, Bu Siva mengajak Dimas duduk di kursi yang ada di teras. Beliau ingin membicarakan tentang kondisi sahabatnya. “Nak Dimas tidak pernah pulang ke rumah Papa Restu dan Mama Tania?” Tanya Bu Siva tanpa basa-basi lebih dulu. “Setelah perdebatan satu tahun yang lalu Dimas tidak pernah menginjakkan kaki ke rumah Papa dan Mama,” jawab Dimas dengan tertunduk lesu. “Tante tahu jika Nak Dimas memilih mengalah demi menjaga perasaan Nak Angga. Tapi keputusan itu membuat Mama Tania sering keluar masuk rumah sakit—” Bu Siva menjeda kalimatnya, memberi waktu pada Dimas untuk berpikir ulang. Pak Restu dulunya sekretaris Pak Gio. Setelah menikah beliau resign karena harus mengurus perusahaan mertuanya. Mendiang Papi Dimas dan Mertua Pak Restu adalah Kakak Beradik. Maka dari itu, Dimas diangkat anak setelah kepergian Papinya. “Mama Tania merasa bersalah karena membiarkanmu hidup seorang diri dikosan. Setiap hari beliau menangis dan sering melewatkan jam makan. Hingga harus dilarikan ke rumah sakit akibat kekurangan cairan,” lanjut Bu Siva. Sebenarnya Dimas sudah tahu kondisi kesehatan Mama angkatnya dari Naura. Bahkan gadis itu memaksanya untuk datang ke rumah sakit. Dimas bukannya tak peduli dengan keadaan Mama angkatnya, melainkan mencoba menghindari perdebatan dengan sepupunya. “Dimas tidak mau Angga marah pada kedua orang tuanya. Gara-gara keberadaan Dimas di sana membuat Papa Restu sering adu mulut dengan putranya. Tak jarang Mama Tania juga dibentak-bentak. Rasanya sangat tidak nyaman, Tante— lebih baik Dimas tinggal di kosan karena lebih nyaman dan tenang.” Bu Siva paham dengan posisi Dimas dalam keluarga Pak Restu. Masalahnya, beliau khawatir sekaligus kasihan dengan Dimas yang tak memiliki orang tua. Perusahaan mendiang orang tuanya kini dikuasai oleh orang kepercayaan Papinya. Hingga Dimas memutuskan membangun bisnis kecil-kecilan untuk masa depannya. “Kalau begitu Nak Dimas mau janji sama Tante?” “Janji apa Tan?” Bu Siva tersenyum sebelum mulai bicara. Berharap lelaki yang ada di didepannya kembali rileks. “Usahakan setiap akhir pekan sarapan dan makan malam di rumah ini. Semisal Kakak ajak makan di luar kamu juga harus ikut. Mau?” Tentu saja Dimas menolak. Sungkan jika dia menumpang makan di rumah orang. Meskipun si empunya rumah tak keberatan. Namun, dia tidak sanggup menolak. Takut membuat Bu Siva sedih karena sudah memasang wajah penuh harap. Akhirnya, Dimas mengangguk. “InsyaAllah ya, Tan. Jika Dimas tidak ada pekerjaan saat weekend.” “Iya— ke sini saja kalau sedang senggang. Nak Dimas boleh request makanan. Tante siap membuatkan,” kata Bu Siva dengan senyum lebar. *** Naura kembali membuat pusing kedua orang tuanya. Hanya akan menghadiri undangan menonton pertunjukkan sendratari hebohnya melebihi sekelompok orang yang sedang melakukan orasi. Gadis itu kebingungan mencari pakaian yang cocok. Semua pakaian yang dia punya warnanya gonjreng. Sementara dia mau berubah menjadi cewek bumi. “Ini kalem warnanya, Kak—” ujar Bu Siva setelah menemukan gamis brokat warna peach. “Itu masih kelihatan menyala, Bun. Apalagi banyak payetnya. Berasa kayak lampu taman lagi jalan-jalan.” Naura kembali menolak pakaian yang disodorkan padanya. Pak Gio menyerah, tubuhnya lelah karena baru pulang dari kantor, menyerahkan urusan pakaian pada istrinya. “Jadi cewek bumi mulai besok saja. Hari ini terakhir kali menjadi cewek kue. Gimana?” Mendengar rayuan dari Bundanya membuat Naura berpikir ulang. Terlalu dadakan merubah gaya pakaiannya. Makanya dia belum ada persiapan. Setelah berpikir hampir dua menit, Naura bersedia memakai gamis brokat pilihan Bundanya. Saat Naura berganti pakaian, Bu Siva menyimpan barang-barang putrinya yang masih tersebar diatas ranjang, memasukkan sebagian ke dalam tas dan sebagian ditata pada nakas. “Cantiknya— anak siapa sih?!” Pak Gio memeluk putrinya yang sudah berganti pakaian. Make up natural membuatnya terlihat semakin cantik. “Gak rela kasih izin Kakak buat pergi sama Opa.” “Jangan mulai, Pa!” seru Bu Siva. Beliau susah payah merayu agar putrinya mau memakai pakaian yang ada di lemari. Malah mau dikurung di kamar. Dengan alasan cemburu kecantikan putrinya dilihat banyak orang. “Bercanda, Bun— Papa bakal kena omel Papi kalau hal itu sampai terjadi,” ucap Pak Gio. Naura mendadak tidak percaya diri memakai pakaian warna terang. Padahal tadi pagi dia masih memakai outfit warna-warni. Efek Dimas padanya memang sangat luar biasanya. Hanya memberikan 6 stel pakaian mampu merubah gaya berpakaian Naura. “Naura kelihatan cantik apa gak, Pa?” “Cantik banget, Sayang— Mirip Bunda kalau Papa ajak kondangan.” “Beneran Naura secantik itu?” “Iya, buat apa Papa bohong. Kakak dan Adek wajahnya mirip sekali dengan Bunda.” Bu Siva memutar kedua matanya. Jelas-jelas kedua putrinya mirip dengan sang suami. Masih saja memaksakan jika mirip dengannya. “Turun yuk— Opa Alvin sudah menunggu di bawah.” Naura berpindah pada Bundanya. Memeluk lengan wanita yang sangat dicintainya itu. Sembari berjalan perlahan karena sepatu hak tinggi yang dipakainya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN