Ayo, Rayu Aku!

1276 Kata
Pak Gio baru pulang sampai rumah setelah melakukan kunjungan bisnis ke perusahaan cabang yang ada di Jakarta. Beliau tak langsung istirahat melainkan mencari keberadaan putri sulungnya. Kalau putri bungsunya dalam keadaan sehat walafiat. Sebelum pulang ke Jogja, keduanya menyempatkan waktu sambangan ke pondok pesantren yang berada di Magelang. Kamar Naura, ruang gym, dapur, ruang keluarga dan taman belakang telah disisir, namun beliau tidak dapat menemukan keberadaan putrinya. “Bun— Kakak mana?” tanya Pak Gio pada sang istri. Bu Siva baru saja selesai mandi. Rencananya akan istirahat sebentar sebelum pergi ke toko Hijab Asyva. “Kata Bibik beli bubur Ayam,” jawabnya tanpa melihat ke arah sang suami. Pak Gio berjalan mendekati istrinya. Lalu memeluk tubuh yang hanya tertutup handuk itu. “Jangan bilang Kakak sedang ganjen sama Dimas!” “Mau gimana lagi sih, Pa. Memang itu ‘kan hobinya. Biarkan saja Kakak nongkrong di toko cat daripada nongkrong ditempat yang tak jelas.” “Papa lebih suka Kakak di rumah membaca buku, belajar masak atau mengurus kebun binatangnya. Tidak suka Kakak nempel sama Dimas!” Bu Siva melepaskan pelukan sang suami. Tubuhnya sudah mulai kedinginan karena terkena AC. Sementara Pak Gio masih menekuk wajahnya. Kesal karena tak menemukan putrinya. Padahal beliau rindu dan ingin memeluknya. “Papa mandi dulu gih, setelah itu istirahat. Ada meeting setelah makan siang ‘kan?” “Hm, Sepertinya Papa akan pulang terlambat Bun.” “Gapapa, nanti Bunda ke kantor. Sekalian ajak Kakak. Kita makan malam bersama.” “Ya— kalau si bawel itu sudah pulang. Soalnya Papi bilang mau ajak Kakak nonton pagelaran sendratari di Prambanan.” “Pertunjukannya Indoor atau outdoor? Tumben Papi mau keluar malam.” “Kalau tempat pertunjukannya Papa kurang tahu. Beliau hanya bilang dapat undangan dari dinas kebudayaan. Mami berhalangan hadir karena kurang enak badan. Jadi, Papi berencana ajak Kakak.” Pak Alvin dan Bu Sarah kini sedang menikmati masa tuanya dengan berjualan roti. Selain itu, mereka juga membuat kebun organik dibelakang rumah. Kedua orang tua Pak Gio itu sering meminta Naura agar tinggal di rumahnya. Namun, Pak Gio tak memberi izin. Dua hari tak bertemu saja rasanya seperti dua tahun. Bagaimana jika si cantik itu menetap di rumah Opa dan Omanya? “Ya sudah, kalau gitu dinner berdua di balkon ruang kerja Papa.” Pak Gio menyunggingkan senyuman. Meski tak selebar biasanya, tetap saja lumayan ketimbang cemberut, menurut sang istri. “Papa mau kirim pesan ke Kakak dulu. Biar dia cepat pulang,” putus Pak Gio sembari meninggalkan walk in closet. Bu Siva membiarkan suaminya melakukan yang dimau. Bagaimanapun juga Naura itu anak gadis. Seharusnya dia dikejar oleh lelaki bukan malah mengejar. *** Naura mengerucutkan bibirnya saat mendapatkan pesan dari sang papa. Kalau pesan itu tak dibuka dan dibalas pasti paduka Giorgio akan mengamuk. Namun, jika dibuka dia akan disuruh pulang cepat. Papa Ganteng : “Kak, pulang! Papa tahu kamu sedang nongkrong di depan toko cat.” Naura Cantik : “Bentar lagi, Pa. Tanggung Ayang belum datang.” Papa Ganteng : “Ayang Ayang, pulang sekarang, Kak!!!” Naura Cantik : (Picture) Naura Cantik : “Papa Ganteng, Cinta pertamaku, yang sabar ya, wufyuuu.” Papa Ganteng : “Pulang sekarang. Kalau tidak Papa cekik ikan koi Kakak!!!” Naura mencak-mencak setelah membaca pesan terakhir yang dikirimkan oleh sang papa. Pesan itu adalah sebuah ancaman. “Astaghfirullah, Papa jahatnya, masak anak-anak aku mau dicekik. Tega sekali Papa menyakiti para cucunya.” Dimas menebak jika gadis yang sedang membantunya bersih-bersih baru saja berbalas pesan dengan Papanya. Terlihat dari emosinya yang awalnya tenang, dalam sekejab berubah tantrum, hingga menghentakkan kedua kakinya sembari mengerucutkan bibir. “Pulang, Ra— Om Gio pasti rindu denganmu,” ujar Dimas. “Subuh tadi aku sudah teleponan sama Papa. Lagipula gak ketemu cuman dua hari,” jawab Naura. “Om Gio memang seperti itu ‘kan? Beliau gak bisa jauh-jauh dari kedua putrinya.” Naura melanjutkan membersihkan etalase. Tinggal sedikit tanggung jika ditinggal. Benar yang dikatakan oleh Dimas barusan. Papanya memang bucin dengan Istri dan kedua putrinya. Enggan berjauhan meski hanya sesaat. Saat Naura berada di pesantren, Pak Gio sering menjenguknya. Aturan sengaja dilanggar dengan alasan tak bisa tidur karena merindukan putrinya. “Hari ini aku nggak numpang istirahat di kosan, Ai,” ucap Naura setelah berkemas. “Mau kemana?” Tanya Dimas, tumben penasaran dengan kegiatan Naura. Selesai berkemas, gadis itu duduk di depan meja kasir. Kemudian menaruh siku ke atas meja dan menopang pipi chubby-nya menggunakan kedua telapak tangannya. Kedua matanya mengerjap lucu, sengaja ingin menggoda Ayang, salah sendiri pasang wajah tampan sedang cemburu. “Apa?” Dimas menyandarkan punggung pada sandaran kursi ketika wajah Naura terlalu dekat dengan wajahnya. “Sejak kemarin kamu cemburu ya, Ai— gak usah malu-malu. Aku gak bakalan marah kok.” Dimas mengangkat sebelah alisnya. Kemudian mendengkus kesal. “Tidak ada yang cemburu!” serunya. “Aku sudah menduga kamu bakal jawab begitu. Tapi, aku masih yakin jika kamu cemburu,” ungkap Naura. “Dapat keyakinan darimana?” “Bunda— semalam aku cerita sama Bunda soal hijab pashmina dan abaya. Kata beliau aku kelihatan cantik, imut dan lucu saat memakainya. Hanya kamu yang bilang jelek— itu berarti kamu gak mau kecantikan dan kelucuan aku dilihat banyak orang,” terang Naura. “Tante Siva bicara begitu?” “Bunda bilang aku cocok pakai hijab pashmina dan abaya. Asumsi kamu cemburu itu muncul dari pikiranku sendiri— soalnya semalam aku sulit bobo, kepikiran masalah pakaian yang cocok dibawa ke kampus.” “Pakai saja pakaian yang seperti ini,” tunjuk Dimas pada Naura. Gadis itu pun melihat pakaian yang sedang dipakainya. Kemeja oversize dengan rok levis bentuk A. Hijab yang dipakainya model segi empat, dibiarkan menutup d**a bagian depannya. “Kata Papa, aku kayak gembel kalau pakaiannya begini. Kurang sedap dipandang.” “Justru menurutku kamu terlihat lucu kalau pakaiannya seperti ini.” Naura memejamkan kedua matanya. Hatinya seperti terkena panah asmara. Pipi chubby-nya pun berubah warna menjadi merah. Sementara kakinya menendang-nendang kaki Dimas. “Ra— kamu tidak akan pulang hingga besok jika masih seperti ini.” “Kayaknya p****t aku nempel di kursi deh— susah banget di angkat.” Mulai— ada-ada saja ide Naura agar tidak disuruh pulang. Kini yang menjadi kambing hitam adalah kursi. Benda mati yang tak mungkin menarik pantatnya. “Kamu tidak kasihan dengan kursi itu? Badan kamu yang gembul itu saja sudah berat, masih saja kamu fitnah.” “Haha, aku kurus loh, Ai. Gara-gara sering tidur larut. Beberapa bulan ini pesanan lukisan banyak banget. Aku sampai kewalahan dan banyak yang aku tolak.” “Jangan mengambil banyak pekerjaan!” “Lumayan buat isi tabungan, Ai—” “Buat beli cat lebih tepatnya,” sahut Dimas. Naura menggelengkan kepalanya. “Uang buat beli cat itu pemberian Opa dan Eyang Akung. Tiap bulan ‘kan aku dikasih uang jajan. Jarang aku pakai karena sering bawa bekal dari rumah. Lagipula uang jajan dari Papa jumlahnya sangat banyak. Belum kepakai sudah ditambah lagi,” terangnya kemudian. Dimas beranjak dari tempat duduknya. Masuk ke dalam ruang kerjanya untuk mengambil sesuatu. Beberapa saat kemudian, dia keluar membawa paper bag dengan ukuran yang cukup besar. “Buat aku?” tanya Naura saat Dimas memberikan paper bag itu. “Hm, ambil lah dan segera pulang. Kasihan Om Gio, beliau sudah merindukanmu.” “Kasih kata-kata yang manis dong, Ai. Masak gitu sih—” “Ra—” “Gak mau! Pokoknya harus diberi kata-kata manis,” sahut Naura, menolak pemberian Dimas. Jelas saja lelaki tampan didepannya kebingungan. Mana bisa dia merangkai kata-kata manis? Sementara hidupnya sejak kecil penuh dengan duka. “Ai— aku masih menunggumu,” ujar Naura sembari mengulum senyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN