Kurang Cocok

1401 Kata
Kring … kring … Alarm yang berasal dari ponsel milik Naura berbunyi nyaring hingga membuat tidurnya terganggu. Kedua mata cantiknya mengerjap lucu. Tiba-tiba melenguh saat merasakan cahaya mengenai matanya. Kemudian membenamkan wajahnya pada bantal yang dijadikan guling. Satu jam yang lalu Naura berkata tidak bisa tidur. Nyatanya setelah sofa bed dibuka oleh Dimas, matanya langsung terpejam dan terdengar dengkuran halus dari bibirnya yang sedikit terbuka. “Ai— maaf ya aku malah ketiduran.” Naura telah membuka kedua matanya. Namun belum beranjak dari sofa. “Masih ada waktu satu jam. Mandilah— sekalian sholat ashar. Aku sudah menyiapkan alat mandi dan pakaian untukmu,” titah Dimas tanpa melihat kearah Naura. Gadis itu melihat pakaiannya. Gara-gara tidur dengan banyak gaya, membuat gamisnya lecek. Beberapa saat kemudian, Naura berteriak kencang, hingga membuat Dimas berjengkit kaget. “Ada apa?” Tanya Dimas. Naura buru-buru menutup wajahnya menggunakan ujung hijab pashmina. Sementara tangannya menepuk-nepuk bantal yang ada di pangkuannya. “Aku kalau bobo mingkem kok. Nggak pernah ileran,” ujarnya kemudian. Kedua ujung bibir Dimas terangkat ke atas. Hanya beberapa detik, setelah itu dia berdiri dari tempat duduknya. Pekerjaan Naura yang telah diselesaikan olehnya sudah dikirim pada email gadis itu. Kemudian membantu membereskan barang-barang yang tersebar di atas ranjang. “Walaupun kamu ileran aku juga tidak peduli.” Naura mengerucutkan bibirnya. Padahal rasa malunya sudah berada di ubun-ubun. Eh ternyata, Si Ayang tidak memperhatikannya. Dia sempat takut jika Dimas ilfil melihat gaya tidurnya yang tidak bisa tenang. Kalau kata Papanya seperti kincir angin. “Aku mau mandi. Rasanya tidak nyaman setelah tidur siang. Padahal AC-nya nyala, loh— pantesan aku kegerahan ternyata pintunya dibuka lebar.” “Cepat mandi. Jangan sampai terlambat masuk kelas! Najla sudah menunggumu di bawah.” Sehabis membereskan kekacauan yang dibuat oleh Naura, Dimas keluar dari kamar, memberikan waktu pada gadis itu untuk mandi dan bersiap-siap. Setelah kepergian Dimas, Naura bergegas turun dari sofa. Sebelum ke kamar mandi dia menutup pintu terlebih dahulu. Kemudian melihat satu stel gamis yang tergantung di depan lemari. “Ayang dapat gamis ini dari mana?” Tanya Naura pada dirinya sendiri. Pakaian yang telah disiapkan oleh Dimas adalah sebuah abaya lengkap dengan hijabnya. Warnanya merah marun dan ukurannya pas pada badan Naura. Tak mau berlama-lama kebingungan di depan abaya itu, Naura masuk ke dalam kamar mandi membawa serta perlengkapan mandi yang telah disiapkan oleh Dimas. Sebelum melepas semua pakaiannya, Naura dikejutkan lagi dengan isi washbag yang ternyata perlengkapan mandi yang biasa dipakai olehnya. Mulai dari sabun, shampo, pasta gigi dan facial wash. Yang paling membuatnya heran adalah merk handuk sama persis seperti yang ada di rumahnya. Naura menutup wajah menggunakan kedua tangannya. Lalu berteriak kegirangan sambil melompat-lompat kecil. Bagaimana hatinya tidak membuncah? Dimas yang selalu bersikap seolah tak peduli padanya, menyiapkan barang-barang pribadinya secara detail, meski harus mengeluarkan uang yang tak sedikit. “Awas aja nanti kalau bilang, ‘Aku tidak peduli denganmu Naura’ bakal aku cubit lengan kamu, Ai—” teriak Naura saking gemasnya. *** Najla menyusul sahabatnya ke atas ketika melihat Dimas sedang mengobrol dengan Pak satpam. Sebenarnya dia ingin meminta izin pada si empunya kamar. Namun Dimas memberikan kode lebih dulu sebelum dia bicara. Seakan tahu maksud dan tujuannya. “Ini kan gamis yang aku cari selama ini— kok kamu bisa dapat? Sementara aku pesan hampir satu bulan zonk terus.” Najla berdecak kesal saat melihat abaya yang dipakai oleh Naura. Gadis manis itu masih mengagumi kecantikannya di depan kaca. Memutar badan ke kanan dan ke kiri sembari menyunggingkan senyuman lebar. Dia pikir tak akan cocok ke kampus memakai abaya. Ternyata salah! Penampilannya justru terlihat semakin memukau. “Aku juga nggak tahu gimana caranya Dimas mendapatkan abaya ini. Saat bangun tidur pakaian dan perlengkapan mandi sudah disediakan olehnya. Bahkan pekerjaanku pun diselesaikannya juga,” terang Naura. “Pengen—” rengek Najla. Si pecinta abaya itu kini memeluk lengan sahabatnya sembari mengelus kain yang terasa lembut di tangannya. “Coba minta tolong sama Kak Dimas. Kalau boleh aku minta dipesankan satu. Abaya yang warna peach.” “Iya, nanti aku akan tanyakan. Tapi tidak sekarang. Karena kita harus segera ke kampus.” “Maacih, Ukhti Sholehah—” “Sama-sama Sholehah-nya aku.” Naura merapikan kamar Dimas terlebih dahulu sebelum meninggalkannya. Kebetulan kunci pintu masih menempel, jadi dia tak perlu memanggil si empunya kamar yang sedang asyik berbincang di bawah. Pakaian kotornya dimasukkan ke dalam paper bag yang lagi-lagi telah disiapkan oleh Dimas. Hingga dia tak perlu mencari kantong kresek. “Itu apa?” Tanya Najla saat Naura memasukkan peralatan mandinya pada kotak penyimpanan. Tepatnya di sebelah keranjang pakaian kotor. “Alat mandi. Sengaja aku tinggal biar Dimas tidak perlu membelikan lagi saat aku menumpang istirahat,” jelas Naura. “Handuknya kamu tadi pakai apa?” Najla malah semakin penasaran. Seperhatian itu Dimas dengan sahabatnya. Padahal jika bertemu cuek dan dingin sikapnya. “Dibelikan baru sama Dimas. Aku taruh di belakang biar kering.” Najla mengerucutkan bibirnya membentuk huruf O. Dia senang dengan semua perhatian Dimas pada sahabatnya. Tinggal 25 menit lagi kelas Naura dan Najla akan segera dimulai. Keduanya pun bergegas meninggalkan kamar Dimas, turun ke bawah menuju ke arah parkiran mobil. “Ai— Aku berangkat ke kampus dulu ya,” pamit Naura saat melihat Dimas. “Hm, barang-barangmu tidak ada yang ketinggalan?” “Sepertinya tidak ada. Soalnya aku nggak cek lagi karena kamu sudah membereskannya.” Naura menyerahkan kunci kamar pada Dimas. Sebelum pergi, dia menempatkan mengucapkan terima kasih. Selain sudah mengganggu waktu Ayang, dia juga membuatnya repot. “Tunggu sebentar,” ujar Dimas ketika Naura telah membalik badan. Matanya menyipit, menatap gadis itu dari atas kepala hingga ke ujung kaki, kemudian mendengkus kesal. Naura kebingungan dengan perubahan ekspresi wajah Dimas. Beberapa waktu yang lalu masih terlihat seperti manusia normal. Tiba-tiba menjadi lempeng layaknya patung. “Ada yang salah dengan pakaianku? Atau make up-ku? Atau hijab yang aku pakai?” Tanya Naura beruntun. Dimas tidak menjawab. Sikapnya semakin membuat Naura kebingungan. Menurut gadis itu tak ada yang salah dengan pakaian, make up dan juga hijabnya. Namun, Dimas bersikap seolah Dia memakai pashmina seperti tadi siang. “Ada apa sih, Ai? Jangan bikin aku bingung dong!” “Kamu tidak cocok memakai gamis seperti ini,” ujar Dimas setelah lama terdiam. “Justru menurutku abaya ini sangat cocok dan pas di badanku. Hijab instan nya pun nyaman sekali saat dipakai,” ungkap Naura. “Kamu terlihat pendek dan juga gemuk. Lebih pas pakai kemeja panjang dan rok yang bentuknya seperti payung. Hijabnya pakai yang biasa saja. Seperti yang kamu kenakan sehari-hari.” “Tapi— Najla bilang aku kelihatan tinggi dan tirus. Apa dia sengaja membohongiku ya? Biar aku percaya diri memakai abaya ke kampus.” “Bisa jadi begitu,” jawab Dimas. “Sahabatmu tipe orang yang tidak enakan.” Naura menghela nafas lirih. Ternyata abaya tidak cocok di badannya. Padahal dia sempat berpikiran ingin membeli beberapa abaya untuk dipakai saat pergi ke kampus. “Ya udah deh— aku akan memakai kemeja panjang dan rok model payung jika pergi ke kampus,” putus Naura. “Jangan lupakan hijabnya!” Seru Dimas. “Iya, aku juga akan memakai hijab segi empat yang ukurannya besar,” tambah gadis itu. “Bagus, cepatlah berangkat ke kampus. Sebentar lagi kelasmu akan dimulai.” Naura tersenyum pada Dimas. Selepas itu, dia melangkahkan kedua kakinya menuju mobil. Sahabatnya sudah memanggil. Mengajaknya agar segera berangkat ke kampus sebelum dosen masuk ruangan. “Lama banget— bicara apa saja sama Kak Dimas?” Tanya Najla ketika mobil yang ditumpangi keduanya meninggalkan parkiran kost. “Kak Dimas bilang aku tidak cocok memakai abaya,” jawab Naura. “Masa sih Kak Dimas bilang kayak gitu? Kamu cantik banget loh, Ra— cocok memakai pakaian seperti ini.” “Tapi Kak Dimas bilang begitu. Katanya tuh aku lebih cocok memakai pakaian yang biasa aku pakai ketika ke kampus. Oh, iya satu lagi, dia juga bilang aku nggak boleh memakai pashmina.” “Kenapa?” “Pipi aku kelihatan chubby, terus mata aku terlalu lebar, gitu—” Najla sama polosnya seperti Naura. Meski tak mengerti dari sudut mana Dimas mengatakan sahabatnya tidak cocok memakai pashmina dan abaya, tetap mengangguk-anggukkan kepala, soal setuju dengan pendapat pria itu. “Besok kamu pakai OOTD yang biasa saja. Jangan sampai Kak Dimas ilfil lihat kamu pakai pashmina dan abaya.” “Iya, Aku tidak akan memakai pakaian aneh-aneh lagi. Selain tidak cocok di badanku juga tak enak saat dipandang Ayang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN