Model Hijab Terbaru

1744 Kata
“Kakak ke kampus diantar sama supir saja. Soalnya, Akung mau anterin Uti periksa ke Dokter.” “Iya, Akung. Nanti kabari Naura kalau sudah sampai klinik.” Naura pergi ke kamar Eyang Hana yang sedang sakit kepala. Gara-gara kemarin diajak naik mobil saat pergi ke toko. Hingga sekarang kondisinya tak kunjung membaik. Katanya semua barang-barang yang ada disekitarnya berputar. Apalagi saat beliau membuka mata. Ranjang yang ditempatinya seakan terbalik. “Eyang Uti, Naura berangkat ke kampus dulu. Hari ini jadwalnya sangat padat sekali. Jadi, gak bisa temani Eyang Uti periksa.” “Gapapa, Sayang— Uti memang seperti ini kalau naik mobil. Kakak ke kampus diantar sama supir ‘kan?” Meskipun sedang sakit, Eyang Hana tetap memperhatikan cucunya. Beliau selalu khawatir jika Naura pergi keluar menggunakan motor bebeknya. “Iya, hari ini Naura diantar sama Pak Supir.” “Kakak semangat kuliahnya. Jangan pikirkan Uti! Setelah periksa dan minum obat pasti langsung sembuh. Naura mencium pipi Eyang Hana, lalu pamit berangkat ke kampus. Sebenarnya dia ingin ikut ke klinik. Namun, Dosen mata kuliah pagi ini sangat galak. Tidak menerima ijin tanpa alasan yang masuk akal. Eyang Hasan telah menunggu di depan. Memastikan jika mobil yang akan ditumpangi cucunya berfungsi dengan baik. Beliau juga menyiapkan bekal makan siang. Kebiasaan Naura yang malas antri di kantin. Dia lebih suka makan di taman atau perpustakaan sambil membaca buku. “Assalamualaikum, Eyang Akung. Jangan lupa kasih kabar Naura ya—” “Waalaikumsalam, siap, Kakak.” Sepanjang perjalanan ke kampus, Naura sibuk membaca buku. Biasanya Dosennya suka membuat kuis dadakan tentang materi yang akan dibahas. Tak mau mendapatkan nilai jelek, dia mempelajarinya lebih dulu. Sahabatnya baru saja mengirim pesan. Berkata jika sudah sampai di parkiran kampus. Dia akan menunggu di dalam mobil sampai Naura sampai. Saat sampai di perempatan kampus, kebetulan mobil Naura bersisihan dengan motor besar yang dikendarai oleh Dimas. Gadis itu langsung menurunkan kaca. Menyapa Ayang dengan riang. “Jangan keluarkan kepala dan tangan Naura!” seru Dimas. Naura tak peduli dengan teguran dari Dimas. Masih mengeluarkan kepala dari jendela. Saat ini kondisi jalan sedang sepi. Jadi, tak ada kendaraan yang tiba-tiba melewati mobilnya. “Nanti siang aku numpang istirahat di kos mu ya, Ai—” “Aku ada bimbingan. Belum tahu pulang jam berapa. Lagipula selain penghuni kos dilarang berkeliaran disana.” “Kamu lupa, Ai— kalau aku tuh memiliki hak istimewa. Meski tidak ngekos disana tetap diperbolehkan keluar masuk tanpa harus ijin.” Lampu merah sebentar lagi menjadi kuning lalu hijau, Dimas meminta Naura agar kembali duduk dengan benar. Namun gadis itu malah memberikan syarat. Dia mau duduk asalkan diijinkan menumpang istirahat di kosannya. Hanya sebatas istirahat tidak lebih. Alasan kedua adalah dia masih memiliki pesanan yang harus dikirim nanti malam. Seharusnya pagi ini dia menyelesaikannya, malah jadwal kuliah siang dimajukan menjadi pagi. “Gimana, Ai?” Tanya Naura dengan memasang wajah menggemaskan. Dimas pun menjawab, “Lihat nanti— aku belum bisa memberikan jawaban.” Sebenarnya jawaban yang diberikan oleh Dimas sama sekali belum pasti. Entah mendapat keyakinan darimana Naura yakin jika siang nanti diperbolehkan menumpang istirahat dikosan Ayang. “Bye, Ai— pelan-pelan saja naik motornya. Jangan ngebut! Apalagi lirik-lirik cewek cantik, jangan ya Ayang ya—” Pak supir geleng-geleng kepala melihat tingkah genit Nona-nya saat bertemu dengan Dimas. Hanya dengan pria itu. Karena Nona-nya selama ini terkenal jutek dan galak jika ada lelaki yang menggodanya. Perjalanan dilanjutkan kembali. Mobil melaju dengan pelan karena sudah memasuki gerbang kampus. Kebetulan Fakultas Ekonomi Dan Bisnis berada di bagian belakang. Cukup jauh jika harus berjalan kaki. Sesampainya di parkiran, Naura melihat sahabatnya turun dari mobil. Berjalan menghampiri mobil yang ditumpanginya. “Assalamualaikum, Ukhti sholeha—” sapa Najla ketika sahabatnya turun dari mobil. “Waalaikumsalam, Ukhti cantik nan sholeha,” jawab Naura. “Tumben tidak kesiangan. Biasanya kalau belum ada dosen kamu gak bakal masuk kelas.” “Apakah ini adalah sebuah sindiran?” Naura tertawa dengan keras. Senang dapat menggoda sahabatnya. “Senyamannya kamu saja. Kalau aku sih selalu positif thinking. Gak bakalan berpikir jelek tentang sahabatku.” “Kesambet setan mana sih?” Najla menaruh punggung tangannya pada kening Naura. Memastikan jika sahabatnya baik-baik saja. “Haha, sehat aku sih— sehat banget malahan. Karena Ayang mulai bersikap manis padaku,” ujar Naura sembari menyingkirkan tangan sahabatnya dari keningnya. Keduanya pun berjalan menuju ke arah lobi gedung ekonomi dan bisnis. Obrolan mereka tentang perubahan sikap Dimas masih berlanjut. Karena Najla sudah terlanjur kepo. “Aku tuh yakin Kak Dimas sudah suka sama kamu sejak dulu. Hanya saja dia ingin memantaskan diri sebelum menikahi mu, Ra—” “Aku gak memandang harta. Kamu tahu itu ‘kan, La? Buat apa Dimas berjuang sekeras itu hanya untuk membuktikan bahwa dia memiliki penghasilan? Kadang aku tuh pengen nangis kalau lihat dia sakit akibat kelelahan bekerja dan kuliah.” Naura memanggil Dimas tanpa embel-embel, meskipun umurnya jauh lebih muda dua tahun, alasannya karena dulu dia pernah memanggil Kakak tapi malah dimarahi. Entah apa alasan Dimas menolak dipanggil Kakak oleh Naura? sampai saat ini tidak ada penjelasan darinya. “Namanya juga lelaki. Suatu saat nanti bakal jadi kepala rumah tangga. Jadi, harus memiliki pekerjaan atau usaha untuk menghidupi istri dan anak-anaknya nanti. Mungkin Kak Dimas sudah berpikir sejauh itu.” Naura berpikir sejenak. Memang benar yang dikatakan oleh Najla. Namun ada satu hal yang membuatnya penasaran. Yaitu tentang sikap Dimas selama ini. Kalaupun ingin membangun bisnis sendiri mulai dari nol, Kenapa harus sampai menolaknya ribuan kali? “Fokus pada mata kuliah pagi ini. Bocoran dari komting bakal ada kuis,” ujar Najla membuyarkan lamunan dari sahabatnya. *** Selesai mengikuti dua mata kuliah, Najla mengajak Naura istirahat di kosan keluarganya. Nanti sore masih ada mata kuliah. Daripada pulang ke rumah, mereka memutuskan istirahat di kos. Naura yang awalnya letih, lesu dan lunglai mendadak berubah menjadi penuh semangat. “Aku keatas dulu ya— mau pastikan jika Ayang berada di kosan.” “Ingat batasan, Ra. Kita tidak boleh bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahram.” “Siap, Ukhti—” Najla berjalan menuju ke arah kamar yang selalu ditempati keluarganya ketika sedang mengunjungi kosan. Sementara Naura berlari kecil menuju ke arah tangga. Tak sabar ingin segera bertemu dengan Dimas. Suasana kost sedang sepi karena hampir seluruh penghuninya adalah karyawan. Hanya Dimas yang masih berstatus sebagai mahasiswa. Harga kost termasuk mahal bagi kalangan mahasiswa. Dan target keluarga Najla memang karyawan yang bekerja di perusahaan di sekitar sana. “Jangan masuk dulu, Ra—” ujar Dimas saat Naura sampai di depan pintu. Senyum gadis itu pun mengembang. Senang karena Dimas telah pulang ke kosan. Padahal tadi pagi bilang akan dikampus sampai sore. “Pulang jam berapa tadi, Ai?” Tanya Naura sembari menunggu si empunya kamar selesai mengepel lantai. “Barusan— aku tak sengaja menumpahkan es kopi jadi harus membersihkan ulang kamar,” jawab Dimas. Tangan kanan Naura menenteng kotak bekal makan siangnya. Sementara tangan kiri membawa es dan jajanan yang dibelinya saat dalam perjalanan menuju kosan. Setelah Dimas selesai mengepel, Naura langsung masuk ke dalam kamar, berjalan ke arah mini dapur untuk menaruh barang bawaannya. “Aku belum makan siang. Kamu udah apa belum Ai?” “Belum— masih kenyang. Kamu kalau mau makan disana masih ada lauk yang aku buat tadi pagi. Tinggal panaskan pakai microwave.” “Sebenarnya aku juga bawa bekal. Tapi kok pengen cobain masakan kamu ya, hihi.” Dimas duduk di depan pintu yang terbuka lebar. Memakai alas karpet tebal yang tadinya berada di bawah sofa. Hari ini dia beruntung dapat urutan bimbingan pertama. Jadi bisa pulang ke kosan dengan cepat. Revisi nya pun tak banyak. Hanya beberapa typo yang luput dari pantauannya. Setelah itu, dia akan mendapatkan ACC dari dosbing, lalu mendaftar seminar proposal. Naura mulai makan siangnya, dia memutuskan makan lauk buatan Bibik dan Dimas. Dalam hatinya berkata ‘Sayang banget udah dimasakin Ayang tapi nggak dimakan.’ Padahal Dimas masak untuk dirinya sendiri. Dasar Naura! Setelah menghabiskan semua makanan, Naura mencuci alat makan dan rantang, menaruhnya ke atas rak agar airnya tidak meluber kemana-mana. “Ai— numpang istirahat sebentar ya,” ujar Naura. Dimas menghela nafas, kemudian menganggukkan kepala, meminta Naura duduk di sofa agar lebih nyaman saat mengerjakan pekerjaannya. “Kayak gak ikhlas gitu kamu, Ai.” “Katanya mau istirahat tapi malah buka iPad.” Naura terkekeh pelan. Istirahat yang dimaksudnya adalah menyelesaikan pekerjaan. “Tanggung tinggal dikit. Harus aku kirim nanti malam. Takut gak selesai kalau aku kerjain nanti sore,” terangnya. “Misal jadwal kuliah sedang padat jangan banyak-banyakan ambil pekerjaan. Tugasmu itu belajar bukan mencari uang.” “Sebenarnya aku tuh udah tolak. Tapi si pemesan mohon-mohon. Katanya buat kado ulang tahun Ibunya. Karena nggak tega ya aku terima saja. Eh ternyata, permintaannya aneh-aneh.” “Cancel saja kalau dia banyak mau. Kamu melukis itu kan hobi. Semisal jadi beban berarti harus kamu sudahi.” Naura mengerucutkan bibirnya. Mana tega dia membatalkan pesanan pelanggannya. Apalagi sudah hari H-nya. “Mana ponsel kamu?” Dimas telah berada di dekat Naura, mengulurkan tangan sambil meminta gadget gadis itu. Naura pun menurut, memberikan ponselnya. Namun Dimas minta ponsel yang digunakan sebagai alat komunikasi dengan para pelanggannya. “Mau apa kamu, Ai?” “Biar aku yang bicara dengan pelanggan itu,” kata Dimas. “Ih, jangan! Tinggal dikit kok,” Naura memperlihatkan sketsa yang dia buat. “Ada beberapa anak kecil yang harus aku gambar di sebelah sini,” jelasnya kemudian. Sketsa yang dibuat oleh Naura memang rumit. Dimas aja sampai geleng-geleng kepala. Kenapa gadis itu mau menurut pada pelanggannya? Jika sejak awal sudah ada perjanjian tidak boleh mengubah permintaan setelah p********n. “Sini— biar aku saja yang melanjutkannya.” Dimas mengambil iPad yang berada di tangan Naura. “Ai, kamu harus segera merevisi proposal,” ujar Naura. “Lihatlah kantung matamu. Semalam pasti kamu tidak tidur. Dan lagi– jangan memakai model hijab seperti ini!” Naura melihat ke arah samping, menatap dirinya pada kaca besar yang menempel pada dinding. Soal kantung mata memang benar. Gara-gara pesanan dari pelanggan berisik membuatnya kesulitan tidur. Namun, soal hijab menurutnya tak ada masalah. Dia hanya memakai pashmina yang baru dibelikan oleh Bundanya. “Rambutku nggak kelihatan. Ujung hijab juga menutup d**a. Bagian belakang panjang. Kenapa tidak boleh memakai hijab model begini?” Dimas kembali duduk di tempatnya semula. Memilih sibuk menggambar ketimbang menjawab pertanyaan dari Naura. Memang tidak ada yang salah dengan model hijab yang dipakai gadis itu. Hanya saja hari ini dia terlihat semakin cantik. Itulah yang membuatnya kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN