A Little Miracle

2100 Kata
Hajoon menatap sekitarnya dengan tatapan tak pecaya. Mungkinkah dia sedang bermimpi? Namun rasa sesak yang baru saja dia rasakan itu benar-benar terasa nyata. Entah keajaiban apa pada dirinya, ketika dia berdiri dan melambaikan tangan pada gadis yang menolongnya, Hajoon baru sadar bahwa tidak ada musik yang mengalun di telinganya. Hajoon bisa mendengar suara bising di sekitarnya, suara orang-orang yang tengah mengobrol di kafe pinggir jalan. Semua itu terasa normal di telinga Hajoon. Seorang Park Hajoon bisa berdiri di tengah jalan yang penuh kerumunan tanpa sebuah headset dan tidak merasakan sesak apapun di dadanya adalah sebuah keajaiban. Hajoon mencubit lengannya sendiri. Mungkinkah ini mimpi? Namun rasa sakit akhibat cubitannya membuatnya sadar bahwa yang di depannya bukanlah mimpi. “Tunggu,” Hajoon mendadak teringat sesuatu. Dia belum sempat menyakan siapa gadis yang menolongnya tadi. Hajoon terlalu sibuk mengaguminya hingga lupa bertanya. Hajoon menatap sekeliling dan gadis itu sudah menghilang di tengah kerumunan. “Bukankah dia tadi bicara dalam bahasa korea?” desis Hajoon yang hampir tidak terdengar. Hajoon memukul kepalanya pelan, rasa sesal menyelimuti dadanya, harusnya dia bertanya pada gadis itu, atau setidaknya menanyakan di mana alamatnya untuk mengucapkan terima kasih, namun sayangnya dia terlalu sibuk untuk melamun. “Ah, Kak Ara!” Seperti tersadar akan sesuatu Hajoon kembali teringat kakaknya yang kabarnya pingsan di tengah jalan. Lokasi di mana Ara pingsan berada tak jauh dari tempatnya berdiri, dia hanya harus berjalan lurus tiga ratus meter dan akan menemukan tempat itu. Hajoon meletakkan ipodnya ke dalam kantong Hoodienya, kemudian dia memasang headset di kedua telinganya. Kakinya baru melangkah satu langkah namun Hajoon kembali berhenti. Sesuatu tiba-tiba menghantam pikirannya, sebuah pikiran yang penuh keberanian. “Haruskah kucoba?” Desis Hajoon. Dia terlalu lama berada dalam terowongan panjang yang gelap dan saat ini langkah Hajoon sudah berada di luar terowongan itu. Batin Hajoon bergejolak, tak ada tanda denyut jantung yang berdebar kencang atau napas yang sesak, itu artinya Hajoon dalam keadaan baik. Hajoon menarik napas sebelum memutuskan. Hajoon pelan-pelan melepas maskernya, lelaki itu menghirup udara pelan-pelan, dia mencoba menatap ke depan dan menatap orang-orang di sekitarnya sekitar tiga menit. Setelah tak ada efek samping apapun dan napasnya juga normal, Hajoon berjalan sambil tersenyum. Jika tidak ingat bahwa dia sedang berada di tengah banyak orang mungkin Hajoon akan menangis sekarang. Keajaiban kecil itu datang di hidup Hajoon saat ini. Semuanya tak lagi mengerikan. Hajoon rasanya ingin berteriak menyalurkan kebahagiaan yang meluap di dadanya. * “Hajoon!” Bukan hanya Hajoon saja yang terkejut pada apa yang terjadi padanya, namun juga seseorang yang hari ini membohongi dirinya. Hajoon marah besar terntu saja. Bayangkan kau berjuang keras untuk bernapas di tengah kerumunan dan hampir mati sementara alasan kau keluar rumah itu hanyalah sebuah kebohongan. Hajoon menahan emosinya dengan menggenggam jemarinya erat. Lelaki itu emosi. Hajoon tiba di alamat yang seseorang berikan, tampat di mana Ara pingsan. Tapi yang dia lihat bukannya keadaan kakaknya yang mengenaskan tapi kakaknya malah berhaha-hihi dengan temannya dan dia terlihat baik-baik saja. “s**t!” Emosi Hajoon ingin meledak saat itu juga, harusnya Hajoon marah, namun di sini yang terjadi justru sebaliknya. Ara tak bisa menutupi keterkejutannya. Gadis itu membeku memandang Hajoon berdiri di hadapannya. Rencananya berhasil. Ara sudah putus asa ketika tiga puluh menit dia tak kunjung melihat adiknya, namun pandangannya melebar ketika melihat Hajoon tengah berdiri tanpa masker, tanpa headset yang menyumpal kupingnya dan berdiri seolah baik-baik saja di depannya. “Bagaimana bisa?” gumam Ara tak percaya. Bukannya menjawab tapi Hajoon malah menatap sang kakak dengan tatapan kesal. Ara langsung paham kalau Hajoon marah karena dia membohonginya. Tapi bukankah kebohongan ini membuahkan hasil? Kebohongan tetaplah kebohongan dan Hajoon tidak akan memaafkan seseorang yang berbohong padanya semudah itu. “Kau benar-benar keterlaluan,” gumam Hajoon dengan kesal. Dia berbalik dan mengabaikan Ara yang tengah mengejarnya. Hajoon kecewa. Dia khawatir setengah mati jika terjadi sesuatu pada Ara, bahkan dia sempat mau menelepon ambulance, namun ternyata semua ini hanya lelucon. Hajoon benci lelucon karena selama ini hidupnya selalu dijadikan lelucon oleh orang lain dan itu menyakitkan. “Hajoon tunggu!” ujar Ara mengejar Hajoon. Hajoon berlari ke rumahnya tanpa menoleh sedikit pun. Sementara itu Ara mengikutinya di belakangnya dengan tatapan khawatir. Bagaimana caranya mendapatkan maaf dari Hajoon? Ara sedang memikirkan itu sekarang. Brak! Pintu rumah dibanting dengan keras oleh Hajoon. Hampir saja mengenai wajah Ara jika dia tidak menahannya dengan kakinya. “Hajoon, kita perlu bicara,” Ara berjalan lebih cepat dan mencekal pergelangan tangan Hajoon. Hajoon menghempaskan tangannya dengan kasar. “Gak ada yang perlu dibicarakan,” tolak Hajoon. Dia benar-benar keras kepala. Ara tidak dapat bersabar menghadapinya kali ini. “Aku tahu aku salah, tapi tak bisakah kau mendengar penjelasanku dulu,” ujar Ara dengan memohon. Gadis itu berusaha menahan lengan Hajoon lagi tapi Hajoon menepisnya lebih kasar. “Hajoon! Dengarkan kakak!” Emosi Ara meluap. Perempuan itu membalikkan tubuh Hajoon dalam satu gerakan. Kini Hajoon tak berani melawannya jika Ara sudah seperti ini. “Kau boleh marah padaku, boleh kesal padaku, tapi aku hanya ingin membawamu melihat dunia luar lagi. Sampai kapan kau akan bersembunyi di kamarmu bermain game seperti orang bodoh dan menjadi pengecut?Aku tahu trauma yang kau hadapi tidak mudah tapi kau selalu menutup diri dan tidak mengatakan apa-apa pada kami.” Ara membuang pandangannya. Kata-kata Ara begitu menusuk Hajoon hingga rasanya dadanya perih. “Kau egois. Karenamu aku harus mengorbankan masa mudaku. Home schooling, mengawasimu ketika mama papa kerja, kau pikir aku suka semua itu? Hah? Aku juga ingin keluar, ke kafe menghabiskan hariku di luar menikmati kebidupan di kampus dan bukan hanya menjadi baby sistermu,” ungkap Ara. Ara tak sanggup menlanjutkan kata-katanya ketika matanya bertatapan dengan milik Hajoon. Dia menyadari bahwa perkataannya keterlaluan, mata Hajoon terlihat sendu dan penuh kesedihan, “Hajoon aku tidak bermaksud,” ujar Ara mencoba mengatakan sesuatu agar Hajoon tak salah paham, namun adiknya seperti tidak ingin mendengarkan kata-kata dari Ara lagi dan semakin terluka. “Kau tidak perlu mengatakan apa-apa, ini semua memang salahku. Maaf sudah menghancurkan masa mudamu. Kau tidak perlu menjagaku, aku bisa menjaga diriku sendiri,” gumam Hajoon dengan nada dingin. “Hajoon bukan begitu maksudku---“ Perkataan Ara terpotong ketika Hajoon melepaskan tanganya dari lengannya dengan gerakan pelan. Dia berbalik dan tidak mengatakan apa-apa. Punggungnya terlihat rapuh dan terluka. Ara menyesal harusnya dia lebih mengerti keadaan Hajoon, ini semua tak mudah baginya. *** “Apa kau yakin dengan keputusanmu, Dae Jung?” Rasa khawatir dan tak rela melepaskan putra tunggalnya pergi terlihat di mata seorang Kang Heejun, Lelaki itu menatap Dae Jung dengan tatapan datar. Ini pertama kalinya Dae Jung mengungkapkan apa yang dia inginkan, tapi Heejun tidak mungkin dengan mudah melepasnya pergi ke Kanada begitu saja. “Iya, Pa,” gumam Dae Jung tanpa ragu sedikit pun. Daejung sudah banyak berubah, dia melihat tekad itu di mata Dae Jung. Kekecewaan yang pernah terlihat di mata orang tuanya rupanya itu adalah pukulan yang berat bagi seorang Kang Dae Jung. Penyesalan terbesar salam hidupnya, beruntung Tuhan menegurnya sebelum dia terperosok lebih jauh. “Dae Jung, coba kau pikirkan lagi. Sekolah di luar negeri bukan hal yang mudah,” gumam Baek Junhee dengan penuh kekhawatiran. Dae Jung menggigit bibirnya, sebelum mengatakan ini dia sudah memikirkan matang-matang. Dae Jung ingin belajar mandiri, selama ini orang tuanya selalu mendidiknya dengan baik, tapi kesalahannya terakhir kali membuatnya merasa sangat menyesal. Dia rasanya ingin pergi jauh, tapi ini bukan alasan bagi Dae Jung untuk lari. Dae Jung ingin belajar dan membalas rasa sakit yang pernah dia berikan pada orang tuanya. Dia ingin menebusnya. Dia ingin orang tuanya bangga. “Aku sudah memikirkannya, Eomma, kau tidak perlu khawatir, di sana ada asrama dan aku tidak akan sendirian di sana,” gumam Dae Jung mencoba meyakinkan orang tuanya. Heejun tidak dapat berkata banyak, tekad Dae Jung sudah bulat, bahkan segala keperluan di Kanada Dae Jung mengurusnya sendiri. Dia diam-diam mendaftar di sekolah yang dia inginkan, dan ternyata Dae Jung lolos seleksi. Dae Jung mendapat beasiswa setahun penuh. Dia hanya harus membayar biaya makan dan juga biaya hidup di sana. “Jika kau sudah memutuskan maka kami tidak bisa berbuat apa-apa, kami---“ “Tapi, Pa—“ Junhee menatap suaminya, dia ingin suaminya memikirkan kembali permintaan Dae Jung. Mereka tidak masalah jika harus membayar biaya Dae Jung di sana, hanya saja Dae Jung putra mereka satu-satunya, Junhee pasti akan sangat merindukan putranya. "Kau tidak perlu khawatir. Dae Jung pergi untuk belajar. Aku yakin Dae Jung dapat menjaga dirinya dengan baik. Lagi pula kita masih bisa mengawasinya dari jauh." ujar Heejun dengan wajah tenang. Dae Jung menggeser tempat duduknya dan berpindah duduk di samping Junhee. Jemarinya meraih tangan Junhee. Tangan Junhee hangat, semua tangan ibu selalu seperti ini. Dae Jung juga pasti akan merindukan perempuan yang sudah melahirkannya ini. Terutama masakan sang mama. "Eomma, aku tahu mama khawatir tapi seperti kata Appa aku akan baik-baik saja di sana. Aku janji akan menelepon mama setiap hari. Jadi Eomma tidak perlu khawatir," gumam Dae Jung mencoba meyakinkan sang mama. Melihat Dae Jung yang begitu gigih membuat Junhee akhirnya mau melepas sang anak. "Baiklah, tapi kau harus janji akan makan dengan teratur di sana. Stay healthy stay happy dan jangan lupa menelepon kamu," pesan Junhee padah Dae Jung. Dae Jung mengangguk. "Terima kasih sudah percaya padaku, Eomma," gumam Dae Jung sambil tersenyum. Dae Jung berjanji bahwa dia tidak akan mengecewakan sang mama lagi. Dae Jung akan bekerja keras memperbaiki semuanya. Dae Jung berjanji akan membuat mamanya bangga suatu hari nanti. *** Hening. Kecanggungan luar biasa menyelimuti ruangan ini. Mereka berdua saling diam dan tak ada niat sekalipun untuk memulai pembicaraan. Lisya berdiri dengan wajah kesal. Dia memutar kenop kunci dan mengunci Hajoon dan Ara dalam satu ruangan. Lisya punya cara yang unik dalam mendidik anak-anaknya. Dia tidak akan membiarkan Hajoon dan Ara saling mendiamkan dalam waktu yang lama. Lisya bisa merasakannya aura canggung diantara Hajoon dan Ara. Biasanya mereka akan sangat berisik ketika di rumah. Terutama Hajoon saat main game dia bisa sangat berisik dan juga tidak tahu waktu. "Mom, please open the door," gumam Ara dengan nada memohon. Lisya menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. "Nope" gumamnya dengan nada yang tak bisa dibantah, "Kalian tahu kan apa yang harus kalian lakukan agar aku membuka pintu ini," ujar Lisya. "Mom, i still have many homework to do," ujar Ara mencari alasan. Sebenarnya bukan satu kebohongan juga karena Are memang punya tugas yabg yang menumpuk. Meskipun home schooling tugasnya sama banyaknya dengan mereka yang pergi ke sekolah. "I don't care. Pastikan kalian baikan dulu nanti baru kubukakan pintu," gumam Lisya. "Joon, lakukan sesuatu kenapa kau malah main game di saat seperti ini," tegur Ara. Di saat dia sedang memohon pada sang mama, adiknya justru asyik dengan game komputer miliknya. "Percuma, kau juga tahu kan apa yang mom mau," gumam Hajoon. Ara menarik napasnya panjang. Terkurung di kamar Hajoon jelas pilihan yang buruk terlebih ini zona nyaman Hajoon. Hajoon mungkin betah berada di ruangan ini seharian tapi tidak dengan Ara. Ara tidak dapat terus seperti ini. Ini hari minggu dan satu-satunya kesempatan bagi Ara untuk dapat pergi ke kafe dan bertemu dengan teman-temannya karena Lisya sedang libur jadi dia bisa menjaga Hajoon. Hingga setengah jam berlalu mereka benar-benar belum memulai pembicaraan. Hajoon akan betah seperti ini. Tapi Ara harus melakukan sesuatu. "Maafkan aku," sejak kemarin Hajoon tak bicara pada Ara. Dia hanya diam dan terlihat menghindar. "Why are you saying sorry again and again," gumam Hajoon tanpa menoleh. Bagi Hajoon perkataan Ara kemarin memang benar. Dia tidak menyalahkan Ara karena berkata seperti itu padanya kemarin. Hanya saja hal yang bikin dia kesal karena Ara membohonginya. "Are you mad?" tanya Ara dengan hati-hati. Hajoon menggeleng, "Nah," Hajoon menjawabnya tidak. "Upset?" tanya Ara lagi. Hajoon mengangguk, "Kau tahu kan aku tidak suka dibohongi tapi kau membohongiku," celetuk Hajoon. Dari kemarin Ara dihujani rasa bersalah. Meski pada akhirnya Hajoon bisa keluar dan melihatnya dunia lagi tapi tetap saja dia merasa bersalah. "Kau benar aku tidak seharusnya melakukan itu. Maafkan aku Hajoon harusnya aku tidak memaksamu keluar dengan cara seperti ini. Ayo baikan," gumam Ara mengacungkan jari kelingkingnya. "Kau pikir semudah itu, Hah?" ujar Hajoon sambil tersenyum sinis. Dia masih saja keras kepala. "Belikan aku Burger M dengan ekstra keju dua buah baru aku akan memaafkanmu." ujar Hajoon sambil tersenyum tanpa dosa. "Dasar kau ini! Punya adik sepertimu membuatku bangkrut," Gerutu Ara, "Baiklah akan aku belikan," Ara menyanggupi pemintaan Hajoon. Hajoon tersenyum senang. Dia menang banyak. Hajoon menyambut jari kelingking Ara dengan tersenyum penuh kemenangan. "Terima kasih noonaku yang baik, aku padamu," goda Hajoon sambil tertawa. "Giliran ada maunya aja baru manggil Nuna," sungut Ara dengan kesal tapi setidaknya dia senang karena masalahnya dengan Hajoon sudah selesai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN