Hajoon baru saja menyandarkan punggungnya di kursi ketika tanda notifikasi dari hapenya berkedip-kedip. Sebuah panggilan dari nomor sang kakak, dia baru sadar bahwa sudah beberapa menit yang lalu kakaknya pergi membeli burger dan belum juga kembali.
“Kak, kenapa lama sekali, aku sudah la---“ Begitu menekan tombol hijau di hapenya Hajoon langsung mengomel. Namun omelannya terhenti ketika menyadari seseorang yang menjawab telepon di seberang sana bukanlah kakaknya.
“Apa kau kenal dengan pemilik hape ini?” tanya orang itu. Hajoon tanpa sadar mengangguk, kemudian dia menyadari kebodohannya, “Iya aku mengenalnya, ada apa?” tanya Hajoon dengan firasat tidak enak. Pikirannya sudah melayang ke mana-mana, “Kau siapa?” imbuh Hajoon.
“Aku menemukan pemilik hape ini sedang pingsan, cepatlah ke sini. Aku akan mengirimkan lokasinya lewat pesan,” ujar orang itu dengan panik. Hajoon tak dapat berpikir jernih. Tangannya gemetar. Membayangkan dia harus keluar benar-bena membuat dadanya sesak. Tapi dia tidak mungkin menelpon mamanya, Lisya selalu mematikan hape ketika bekerja. Hajoon tidak ingin melibatkan papanya, karena mereka berdua sama-sama sibuk.
Hajoon mondar-mandir di kamarnya, tangannya sudah berkeringat dingin. Di satu sisi dia ingin segera menemui sang kakak. Di sisi lain Hajoon takut berada di tengah keramaian. DIa berusaha untuk mengumpulkan keberaniannya. “Tidak akan terjadi apa-apa, Hajoon, kau bisa. Dunia luar tidak seburuk itu,” gumam hati kecil Hajoon. Tidak ada waktu untuk berpikir. Hajoon harus segera bergerak.
Dia mengambil Hoodie yang berada di gantungan yang berada di balik pintu, Hajoon memakainya dengan gerakan secepat mungkin, tak lupa dia mengambil hape, dompet dan memasukkannya ke dalam kantong celananya dan yang paling bagi Hajoon adalah headset dan ipodnya. Hajoon menempelkan headset di telinganya dan memakai sepatunya dengan cepat. Tak lupa sebuah topi yang dia pakai di kepalanya, masker yang menutupi wajahnya dan step terakhir adalah memakai tudung dari hoodie miliknya.
Hajoon segera berlari ke luar rumah, dia sudah membaca alamat tempat Ara pingsan, tidak terlalu jauh jadi Hajoon memilih untuk berlari. Hajoon berlari dengan cepat, dia berlari di sisi jalan dan menghindari kerumunan.
Hajoon mencoba mengalihkan pandangannya, dia tidak mau jatuh kali ini. Keringat dingin membasahi dahinya. Ini pertama kalinya sejak dua tahun terakhir Hajoon keluar rumah. Dokter bilang keadaannya sudah cukup membaik, namun kenapa dia masih merasakan tubuhnya gemetar dan berkeringat dingin saat melewati kerumunan?
“Oh tidak, sial!” umpat Hajoon begitu melihat apa yang ada di depannya. Sebuah kerumunan besar yang memenuhi pinggir jalan. d**a Hajoon mendadak sesak. Keringat mengucur deras di dahinya. Rasa sakit itu mencekik leher Hajoon seolah tidak ada pasokan oksigen yang ada di dunia ini. Tangannya gemetar hebat. Hajoon harus mencari cara untuk melewati kerumunan tersebut. Haruskah dia menyeberang, pikir Hajoon. Tapi setelah dia mengangkat kepalanya pelan, di bahu jalan yang sana juga terdapat sebuah kerumunan besar yang tak mungkin Hajoon lewati.
“Bagaimana ini,” gumam Hajoon putus asa. Dadanya semakin sesak, rasanya seperti kau berada di ruang gelap dan kehabisan oksigen, Hajoon meraba kantong hoodienya dan sialnya dia lupa membawa obat dari dokter. Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi.
Bruk!
Hajoon tak sadar bahwa dia telah lama berdiri di tengah jalan hingga seseorang menabraknya dan membuat Hajoon tersungkur. Sialnya Hajoon yang terjerembab membuat ipods di kantong Hoodie Hajoon terlepas.
Suara-suara itu kini memenuhi telinga Hajoon. Rasa yang mencekik itu kini semakin dalam. Hajoon seperti tidak bernapas, terlebih ketika orang-orang menatapnya. Tubuhnya gemetar hebat.
“Apa kau tidak apa-apa?” Seseorang menyentuh Hajoon dan mencoba membantunya untuk berdiri, namun dengan gerakan cepat Hajoon menepis tangannya kasar, “Jangan sentuh aku,” gumam Hajoon dengan panik. Tubuhnya semakin gemetar dan kini air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Ada apa denganmu, aku hanya ingin menolongmu, kenapa kau kasar sekali?” Gumam seorang lelaki yang berada di depan Hajoon. Semakin banyak orang yang mengerumuni Hajoon sekarang, dadanya benar-benar terasa sesak, namun tak ada yang paham apa yang Hajoon rasakan, mereka malah semakin mengerumuni Hajoon dan membuatnya semakin panik. Hajoon pikir hari itu adalah hari terakhirnya dia hidup sebelum sebuah kegelapan menyelimutinya.
“Menyingkirlah kalian semua,” gumam seorang perempuan mencoba mengusir kerumunan di sekitar Hajoon. Orang-orang di sekitar Hajoon masih belum beranjak. Mereka malah menjadikan Hajoon sebagai tontonan, bahkan ada yang merekam video dirinya. Gadis itu geram melihat orang-orang yang tak jua paham, “Aku bilang menyingkir, bodoh. Apa kalian tuli?” ujarnya dengan kasar.
“Kenapa kami harus menyingkir, harusnya dia yang menyingkir dari sini,” tunjuk seseorang pada Hajoon. Perempuan itu menggenggam jemarinya karena kesal, “Brnar-benar menyebalkan,” gumamnya dengan tatapan kesal pada orang-orang. Dia menarik napas sebelum mengatakan sesuatu, “Are you dumb or stupid. He has Panic Attack you all! Now go away from here!” teriaknya dengan lantang. Mendadak orang-orang di sekitar Hajoon mereasa bersalah. Harusnya mereka tidak mengerumuni Hajoon sejak awal. Seseorang dengan Panic attack akan sangat sulit berada di tengah kerumunan dan merasa gemetar setiap berada di tengah-tengahnya. Hajoon selalu memakai headset jika tepaksa harus keluar rumah, itu pun dia hanya berani membeli sesuatu di mini market dekat rumahnya. Dia hanya bisa keluar di malam hari saat keadaan sudah sepi. Saat konsultasi pun biasanya dokter yang datang ke rumah dan memeriksa kondisi Hajoon.
“Stupid you all!” umpat gadis itu dengan mata yang penuh emosi. Kerumunan di depan Hajoon mendadak bubar setelah dia memarahinya. Gadis itu menarik napas lega. Tangan Hajoon tak lagi gemetar, tubuhnya mulai membaik, ini berkat jaket yang menutupi kepalanya.
Jamie mengambil ipod milih Hajoon dan membawanya ke hadapan pemiliknya. Gadis itu berjongkok, lalu memasangkan satu per satu headset di telinga Hajoon. Tepat di saat yang bersamaan mata Hajoon bertemu dengan pemilik mata cokelat itu.
“Are you okay?” Tanya Jamie dengan tatapan lembut. Hajoon tidak menyangka seorang gadis yang menolongnya memiliki wajah yang imut di balik potongan rambut pendeknya. Meski terlihat tomboy tapi dia terlihat cantik.
“Hei, kenapa kau malah melamun?” tanya Jamie dengan tatapan heran. Hajoon baru sadar bahwa sejak tadi dia bengong di hadapan seorang gadis cantik.
“Sorry,” gumam Hajoon tanpa sadar mengucapkan kata maaf.
“No need to sorry,” gumam Jamie. “Apa kau bisa pulang sendiri?” tanya Jamie dengan tatapan khawatir. Hajoon mengangguk, dia merasa kondisinya sudah membaik. Jamie mengangguk lalu berdiri dari tempatnya. Hajoon menatapnya dengan tatapan datar, “Jaketmu,” gumam Hajoon berniat melepaskan jaket milik Jamie di kepalanya.
“Kau bawa saja,” gumam Jamie tak acuh. Gadis itu berdiri dan melenggang pergi, sebelum langkahnya semakin menjauh, “Hei kamu,” gumam Hajoon karena tidak tahu nama gadis yang menolongnya. Jamie berhenti dan menoleh ke arah Hajoon.”Thanks,” gumam Hajoon sambil melambaikan tangannya. Jamie hanya menanggapinya dengan wajah datar lalu pergi tanpa berkata apapun.