LIsya meletakkan piring yang berisi cookies dan meninggalkannya di meja Hajoon, “Hajoon, mama ada rapat, jika kau lapar mama sudah siapkan sandwich di meja makan. Atau kau bisa meminta kakakmu Ara untuk membuatkanmu makan,” tukas sang mama sebelum pergi.
Hajoon masih belum beranjak dari kursinya, menoleh pun tidak, dirinya asyik menatap layar komputer dan sibuk dengan game di depannya. “Mom, bisakah kau membelikanku senar gitar, tokonya berada di dekat kantor Mom, aku sudah mencatat merek dan jenis senarnya, Mom hanya perlu menyodorkan kertas itu ke pemilik toko,” pesan Hajoon tanpa menoleh sedikit pun. Lisya menatap sebuah kertas dengan tulisan bolpoin yang berada di meja dekat TV.
“Baiklah nanti akan mama belikan, kau jangan lupa makan,” gumam Lisya. Hajoon mengangguk, “Hati-hati di jalan, Mom,” gumam Hajoon tanpa menoleh. Hanya tiga hal yang disukai Hajoon saat ini dunianya yang tenang meskipun berada di ruangan yang sempit, musik dan juga game. Rasanya Hajoon tidak membutuhkan dunia luar lagi. Dia mulai terbiasa menjalani hidup seperti itu. Lisya menutup pintu kamar Hajoon dengan tatapan sedih. Sampai kapan Hajoon akan mengurung diri? Dia bahkan tidak bisa membeli makanan di supermarket sendirian.
Ara menatap mamanya dengan tatapan yang sama. Dia sedih melihat adiknya. Bukan tanpa alasan yang membuat Hajoon harus mendekam di dalam kamar sepanjang hari. Hajoon memiliki banyak alergi. Dia tidak bisa minum s**u, berjalan di luar seperti orang lain, dia juga tidak dapat memakan buah sedikit pun. Sejak kecil Hajoon sudah mengidap banyak alergi, dia juga alergi sinar matahari, jadi dia tidak bisa jalan-jalan atau menikmati udara segar seperti yang lainnya. Selain itu ada satu hal lagi yang membuatnya tidak bisa keluar dari rumah.
Kamar dan game seperti tempat persembunyiannya, Hajoon juga tidak belajar di sekolah seperti yang lainnya, Lisya membebaskan Hajoon untuk menjadi apa yang dia mau, tapi melihat Hajoon yang seperti ini dia benar-benar sedih.
“Haruskah kita memaksanya keluar?” Gumam Ara meminta pendapat Lisya. Lisya menggeleng, “Aku tidak yakin bahwa itu akan berakhir dengan baik,” jawab Lisya dengan penuh keraguan. Ara ingin sekali mengajak Hajoon keluar, dia iri dengan teman-temannya yang bisa menghabiskan waktu bersama dengan adiknya entah pergi ke kafe, festival, toko buku atau menonton film. Meski agak sedikit menyebalkan namun Hajoon tidak semenyebalkan itu jika diajak jalan.
“Kata dokter dia sudah cukup membaik, mungkin dia hanya butuh waktu untuk kembali melihat dunia,” ujar LIsya. Satu hal yang Lisya sadari andai dia tahu sejak awal mungkin dia tidak terlambat menyelamatkan Hajoon. Trauma itu benar-benar membekas di diri Hajoon.
“Aku harap semoga dia lekas kembali seperi Hajoon yang dulu,” gumam Ara. Hajoon yang dulu menyukai dunia luar, dia gemar bermain skateboard dan basket bersama teman-temannya. Hajoon juga gemar ke toko buku untuk membeli komik dan pulang sambil membawa burger dan cola dari restoran cepat saji yang berada di ujung jalan. Tiap malam minggu Ara dan Hajoon pasti suka menghabiskan waktu nongkrong di restoran cepat saji berawalan huruf M itu hingga restoran hampir tutup.
Hajoon menyukai musik dan restoran itu selalu memutar musik-musik kesukaan Hajoon. Hajoon suka musik-musik hip hop juga pop sering kali dia mengagumi para musisi jalanan dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton festival. Ara rindu Hajoon yang dulu .
“Aku pergi dulu, jika kau dan Hajoon butuh apa-apa jangan lupa telpon mama, papa akan pulang telat kali ini, kau dan Hajoon bisa makan duluan,” gumam Lisya sambil memeluk Ara. Ara mengangguk. Selain sebagai kakak, Lisya juga terkadang berperan sebagai ibu kedua bagi Hajoon. Pasalnya sejak kecil orang tua mereka sibuk bekerja. Ara paham bahwa orang tuanya harus mencari uang untuk membiayai dia dan Hajoon karena itu dia tidak keberatan menjalankan perannya sebagai kakak sekaligus ibu.
“Hati-hati di jalan, Mom,” gumam Ara sambil memeluk balik Lisya. Lisya melepaskan pelukannya dan melambaikan tangan pada Ara, “Baik-baik di rumah, Honey,” gumam Lisya. Ara mengangguk. Selepas kepergian Lisya, Ara mendadak mendapat ide, mungkin ini sedikit buruk tapi tidak ada salahnya untuk mencoba.
Ara berjalan menuju ke kamar Hajoon, “Joon. Wanna some burger and cola?” tawaran Ara seperti oase di padang pasir. Jika Hajoon harus memilih satu makanan yang akan dia makan seumur hidup mungkin dia akan memilih burger dan cola sebagai pilihannya.
Hajoon memutar kursinya dengan wajah yang antusias, tapi matanya penuh selidik, dia curiga jika ini bukan hanya tawaran biasa, “What do you want?’ tanya Hajoon tanpa basa-basi. Perlu digaris bawahi, jika seorang kakak tiba-tiba menawarkan makanan yang kamu suka bisa jadi dia sedang ada maunya.
“I don’t want anything. I just offer you,” jawab Ara. Ara dan Hajoon lebih sering menggunakan bahasa Inggris jika berada di rumah, namun mereka juga lancar berbahasa korea terlebih saat mereka makan malam. Lisya mengajarkan pada mereka agar tidak lupa pada tanah kelahirannya, meskipun mereka sudah lama tinggal di California tapi Lisya tidak ingin mereka melupakan negara asalnya.
“Serius?” Tanya Hajoon tak percaya. Ara mengangguk, sepertinya sang kakak memang sedang baik, jadi tidak ada salahnya untuk mengiyakan tawarannya. “Can I have double cheese?” Hajoon menyebutkan pesanannya. Lisya sudah hafal pesanan Hajoon, seperti dugaan Ara bahwa adiknya akan meminta dua hamburger, dan cola dengan ukuran Large.
“Pastikan kau memakan cookies buatan mama sebelum aku kembali, jangan lupa minum vitamin dan obatmu Hajoon,” pesan Ara. Hajoon sudah kembali sibuk dengan headphone dan komputer di deoannya.
“Hajoon! Kau dengar aku tidak sih,” teriak Ara dengan kesal. Perempuan itu berteriak tepat di kuping Hajoon. Hajoon yang memakai headphone saja masih bisa mendengar teriakan Ara. Hajoon melepas headphonenya dan menatap Ara dengan wajah kesal.
“Aku bisa dengar, Kak. Kau tidak perlu berteriak,” gumam Hajoon sambil mengusap-usap telinganya yang berdenging. Ara tersenyum puas karena melihat adiknya yang kesal. Perempuan itu berjalan ke luar kamar Hajoon tanpa merasa bersalah.
“Dasar kakak menyebalkan!” Teriak Hajoon dengan kesal. Ara bisa mendengarnya, namun dia tidak ada niatan untuk berbalik dan membalas ucapan Hajoon. Perempuan itu tersenyum tipi, dia sudah memikirkan rencana agar Hajoon bisa melihat dunia lagi. “Hajoon, aku percaya kamu bisa keluar dari lorong gelap ini.” Gumam Ara dengan penuh tekad.
Ara sudah siap menangung risiko dari rencananya, dia juga sudah memikirkan plan B jika rencananya gagal. Dia berharap Hajoon bisa melewati step ini dengan baik.