Meet Park Hyunsu

1106 Kata
Busan, 2009 Hyunsu berjalan dengan senyum di wajahnya. Hari ini dia berhasil memenangkan kompetisi menyanyi lagi. Hyunsu berjalan dengan penuh percaya diri. Dia ingin segera menunjukkan pada orang tuanya bahwa dia menang dalam kompetisi. d**a Hyunsu semakin berdebar ketika langkahnya semakin dekat dengan rumah. Park Hyunsu mengulum senyum, cuaca mendadak lebih cerah hari ini. Dia menyapa para perdagang yang dia lewati dengan wajah bahagia. “Hyunsu-ah, kau sudah pulang?” sapa seorang ahjumma yang menjual teobboki di pinggir jalan. Hyunsu berhenti dan menjawab sapaannya sambil memberikan salam. Lelaki itu membungkuk 90 derajat lalu menjawab sapaan sang ahjumma, “Iya, ahjumma,” gumamnya sambil menyunggingkan senyumnya. Hyunsu berjalan mendekati kedai teobboki milik ahjumma. Senyum mengembang di bibirnya. “Kau terlihat senang sekali, apa kau memenangkan kompetisi lagi?” tanya sang bibi dengan pandangan senang. Hyunsu adalah sosok murid yang pendiam dan tak banyak bicara namun dia cukup dekat dengan bibi penjual teobboki. Setiap pulang sekolah Hyunsu pasti mampir kemari, kadang Bibi Jung yang meminta Hyunsu untuk mampir dan seringkali dia memberikan makanan gratis pada Hyunsu. Hyunsu mengangguk menjawab pertanyaan Bibi Jung, “Iya, Bi,” gumam Hyunsu dengan wajah bahagia yang tak bisa ditutupi. “Aigo, kau memang berbakat Hyunsu, aku senang mendengarnya. Karena kau menang kompetisi hari ini maka kau boleh makan sepuasnya.” Ujar Bibi Jung dengan wajah bahagia. Wanita paruh baya itu mengambil piring kemudian meletakkan teobboki dalam jumlah yang banyak ke atas piring. “Bibi, kau tidak perlu melakukan itu,”ujar Hyunsu dengan wajah tidak enak. Bibi Jung seperti orang tua kedua bagi Hyunsu. Dia selalu menjadi tempat cerita bagi Hyunsu tentang dunia sekolahnya dan apa saja yang mengganjal di pikirannya. Selain itu Bibi Jung juga sangat baik, dia sering memberikan Hyunsu hadiah dan juga makanan. Meski Hyunsu menolaknya, Bibi Jung akan selalu melakukannya. Setiap kali Hyunsu datang, Bibi Jung selalu merasa bahagia. Dia seperti melihat anaknya yang sudah lama tiada. Bibi Jung pernah memiliki anak dan meninggal dalam sebuah kecelakaan, dia juga memiliki satu anak lagi yang sekolah di luar negeri. Setiap kali melihat Hyunsu dia seperti melihat anaknya, terlebih Hyunsu jug berbicara dalam logat Busan yang kental. Anaknya Bibi Jung meninggal saat dia berusia seperti Hyunsu sekarang. “Kau tidak boleh menolak pemberian orang tua, Hyunsu. Ini makanlah, kau harus menghabiskannya,” gumam Bibi Jung sambil meletakkan sumpit di samping piring Hyunsu. Hyunsu tidak mungkin menolak pemberian Bibi Jung jika seperti ini. Dia mengambil sumpit lalu tersenyum, “Terima kasih atas makanannya,” gumam Hyunsu sambil tersenyum. “Makan yang banyak, Hyunsu,” ujar Bibi Jung. Hyunsu mengangguk lalu makan Teobboki di hadapannya dengan lahap. “Wah, Teobboki buatan Bibi memang yang paling enak,” puji Hyunsu. Hyunsu tidak sedang menyanjung Bibi Jung, tapi Teobboki buatan Bibi Jung memang enak sekali, rasanya kenyal dan juga pedasnya pas. Teobboki merupakan makanan yang terbuat dari kue beras dengan tekstur yang kenyal dibumbui dengan saos pedas yang nikmat. “Terima kasih pujiannya, Hyunsu,” gumam Bibi Jung sambil tersenyum. Hyunsu menghabiskan makanannya dengan pelan. Hyunsu tidak akan pernah melupakan kebaikan Bibi Jung, suatu hari dia akan membalasnya. *** Park Hyunsu baru saja membuka pintu di rumahnya ketika suara tawa sang mama terdengar. “Eomma, aku pulang,”  gumam Hyunsu lalu menutup pintu dengan pelan. Lelaki itu melepaskan sepeatunya dan meletakkannya di rak yang berada di dekat pintu.Tak ada jawaban dari sang mama. Hyunsu masuk ke dalam rumah. Rumah ini tidak begitu luas, hanya ada ruang tamu, ruang makan dan dapur yang menjadi satu dan tiga kamar, tidak luas dan tidak sempit. Hyunsu berjalan ke ruang tengah yang langsung terhubung dengan ruang makan dan dapur. Semakin dekat langkahnya dia mendengar tawa nyaring dari ibunya juga sang kakak. “Omo! Hyunjin kau memang benar-benar hebat, aku senang sekali karena kau berhasil masuk ke Seoul University,” gumam Park Bora dengan tatapan wajah bangga pada anak sulungnya, Pak Hyunjin. Dia tak henti-hentinya memuji Hyunjin. Hyunjin terlihat bahagia mendapat pujian dari Bora. Hyunsu menatap mereka dengan tatapan iri, seumur hidup Hyunsu tidak pernah dipuji seperti itu. Hyunsu mendekap piala dan sertigikat yang berada di dalam ranselnya. Tadinya dia berniat untuk menunjukkannya pada Bora, namun sepertinya Hyunsu akan mendapat omelan dari Bora lagi jika dia tahu kalau Hyunsu memenangkan kompetisi menyanyi. Bora sangat benci Hyunsu ingin menjadi penyanyi. “Katakan apa yang kau butuhkan, Eomma akan menyiapkannya untukmu. Kau tinggal katakan saja apa yang kau inginkan,” ujar Park Bora dengan wajah bahagia. “Eomma tidak usah melakukan itu. Jika aku ingin membeli sesuatu, aku bisa gunakan uang hasil kerja paruh waktuku,” tolak Hyunjin dengan lembut. Bora mengusap rambut Hyunjin dengan lembut dia merasa bangga dengan putra bungsunya. “Kau ini benar-benar anak baik. Aku bangga denganmu,” gumam Bora dengan tatapan bahagia. Baru saja Hyunjin mau menanggapi perkataan Bora, dia menoleh dan menyadari keberadaan Hyunsu. “Hyunsu, kau sudah pulang?” tanya Hyunjin dengan ramah. Hyunsu hanya diam tak berniat membalas ucapan sang kakak. Dia benci Hyunjin. Bora selalu membanggakan Hyunjin, sementara itu dia tidak pernah bangga pada Hyunsu. Meskipun Hyunsu sudah berusaha keras untuk belajar, namun Bora seperti hanya memiliki putra yang pantas dibangakan yaitu Hyunjin. “Iya,” jawab Hyunsu singkat. Hyunjin tersenyum ke arah Hyunsu, sebuah senyum yang membuat Hyunsu muak dengannya, “Kemarilah ayo kita makan bersama,” ajak Hyunjin. Hyunsu menggeleng, dia tidak ada niatan merusak momen saling memuji kedua orang tersebut. Lebih baik Hyunsu mendekam di kamar dan menghabiskan waktu mendengarkan musik kesukaannya. “Aku sudah makan,” ujar Hyunsu beralasan, “Kalian makan saja berdua,” gumam Hyunsu dengan raut wajah sedih. Hyunsu melenggang pergi begitu saja sebelum omongan Park Bora terdengar, “Hyunsu, kau benar-benar tidak sopan dengan kakakmu,” ujar Bora dengan wajah murka. Hyunsu menghentikan langkahnya, dia berbalik kemudian membungkuk 90 derajat pada mereka, “Maafkan aku, Hyung,” gumam Hyunsu meminta maaf, kemudian dia menatap ibunya, “Maafkan aku, Eomma,” gumam Hyunsu sambil menahan air mata di pelupuk matanya. Anak itu harus segera pergi dari sana, dia tidak ingin mereka melihat dirinya menangis. “Kau benar-benar tidak sopan,” gumam Park Bora dengan keras. Hyunjin merasa tidak enak pada Hyunsu, adiknya pasti mendengar pembicaraannya dengan bora, dia tidak ingin Hyunsu salah paham dengannya. “Eomma, jangan bicara seperti itu . Mungkin saja Hyunsu memang sudah makan, biarkan dia ke kamarnya,” bela Hyunjin . Hyunsu tidak tahan lagi, dia segera berbalik dan masuk ke dalam kamarnya. Rasa sesak memenuhi d**a Hyunsu. Sampai kapan dia harus melihat semua ini. Terus dibandingkan dengan Hyunjin dan tidak akan pernah mendapatkan kasih sayang yang sama dari Bora. Tanpa sadar air mata menetes dari sudut mata Hyunsu. Hyunsu menggigit bibirnya sambil menangis. Hatinya terasa sangat sakit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN