My Guardian Sister

1060 Kata
Hajoon terjebak. Namun dia tidak ingin diam begitu saja. Jane mulai melakukan sesuatu yang tak pantas padanya. Perempuan itu memegang dagu Hajoon, dari tatapan matanya Hajoon tahu bahwa Jane b*******h namun tidak dengan dirinya. Jangan salah paham, Hajoon adalah lelaki normal namun dia tidak ingin melakukan ini pada Hajoon. Dia tidak ingin terlibat dalam pergaulan bebas. “Hajoon, kiss me,” tatap Jane dengan mata yang penuh kabut nafsu. Tangannya bergerak mengelus pipi Hajoon. Hajoon berusaha menghindar, namun ancaman Jane kembali terngiang di telinganya. “Apa kau memilih untuk membiarkan kakakmu menjadi mangsa lelaki itu?” Jane mengancam Hajoon lagi. “Sial!” Hajoon mengumpat hatinya benar-benar kesal. Bolehkah dia egois sekarang? Hajoon selalu bermimpi ciuman pertamanya akan dia berikan kepada gadis yang dia sukai namun haruskah dia mengorbankan ciuman pertamanya demi melindungi sang kakak? “Come on  Hajoon!” Desak Jane. Hajoon tidak punya pilihan. Dia berharap ada seseorang yang menolongnya namun semua orang sibuk menikmati pesta, sebagian dari mereka mabuk dan kecil harapan bagi Hajoon untuk mendapat pertolongan. Dia tidak kenal siapa-siapa di sini. Hajoon menarik napas berat, “Mom, Dad, God, I am sorry,”   desis Hajoon dalam hati. Jane tersenyum, “Good boy.” Gumamnya bahagia. Hajoon mulai memangkas jarak antara Jane dan dirinya. Perempuan itu tidak menutup matanya. Jane merupakan seorang pecandu ciuman dan dia sudah melakukannya lebih dari puluhan kali jadi tidak heran jika dia tidak menutup matanya saat ini. Jarak bibir Hajoon tinggal beberapa senti ketika anak itu merasa kerahnya ditarik dari belakang. “Jangan lakukan itu, bodoh!” Hajoon mengenali suara seseorang yang tengah menyelamatkan dirinya. Siapa lagi kalau bukan Ara, “Kakak,” desis Hajoon merasa lega sekaligus berterima kasih pada Ara. Ara menarik Hajoon dan meminta sang adik berdiri di belakangnya. “Dasar Jalang, beraninya kau menjebak adikku!” Teriak Ara tidak terima. Ara sudah punya firasat sejak Jane memandang Hajoon seperti harimau yang kelaparan. Jane memasukkan obat di dalam minuman Ara. Namun tanpa jane ketahui Ara berhasil menukar minumannya, semua itu tak lepas dari bantuan sang bartender Josh. Ara sengaja berpura-pura mabuk dan memperhatikan Jane, Rupanya benar Jane menjebak Hajoon dengan menggunakan dirinya sebagai ancaman. Ara ingin sekali menampar dan menjambak rambut Jane sekarang namun Hajoon menahan tangannya, “Jangan membuat masalah, Kak, ayo kita pulang saja,” ajak Hajoon dengan tubuh yang gemetar. Ara menatap Jane dengan tatapan kesal, “Kita masih belum selesai Jane, akan kupastikan kau membayar perbuatanmu,” ancam Ara sambil menarik Hajoon pergi dari sana. Hajoon masuk ke mobil dengan tenang. Ara merasa sangat bersalah. Niatnya membawa Hajoon ke pesta karena dia tahu akan ada band di pesta, Ara tahu sang adik sangat menyukai band dan musik, karena itu Ara membawanya ke sana. “Maafkan aku, Hajoon, aku tidak bermaksud—“ Ara merasa sangat bersalah pada Hajoon sementara Hajoon tidak ingin membicarakan hal itu, “Sudahlah Kak, tidak usah dibahas. Jangan beritahu mama dan papa masalah ini, aku tidak ingin mereka marah,” kata Hajoon memotong ucapan Ara. Ara mengangguk. ** Rasanya ini sudah puluhan kali sejak Do Yun memandangi drum di sudut ruangan tanpa melakukan apa-apa. Pikirannya berkecamuk. Hampir seminggu dia belajar memegang stik drum kembali dan tidak ada perasaan trauma maupun keringat dingin yang dia alami. Haruskah dia mencoba memainkan drum sekarang? Jam sudah menunjukkan pukul satu malam dan sudah tidak ada orang di restoran. Ini artinya kesempatan bagi Do Yun untuk bermain drum. Do yun sudah mendapat izin dari Joon Woo. Lelaki itu justru akan senang sekali jika Do Yun bermain drum kembali. “Apa aku bisa?” Do Yun bermonolog. Keraguan muncul di benaknya. “Bagaimana jika trauma itu muncul lagi?” Dia kembali bergumam. Padahal Hain sudah bilang bahwa keadaan Do Yun sudah membaik tapi anak itu masih meragukan dirinya sendiri. “Mau sampai kapan kau bersikap bodoh seperti itu?” Lagi-lagi Aeyong masuk ke restoran tengah malam. Seperti biasa dia pasti habis berlatih dance dengan teman-temannya. “Aeyong, kenapa kau kemari?” Tanya Do Yun dengan bodohnya. Anak itu menyembunyikan stik drum di balik punggungnya. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang kamu sembunyikan? Aku sudah melihatnya, Do Yun,” kata Aeyong. Do Yun meringis. Gagal sudah dia menyembunyikan stik drum di balik tubuhnya. “Jika kau ingin memainkannya, mainkan saja. Kau tidak tahu mungkin hasilnya tidak seburuk yang kau bayangkan,” kata Aeyong. Gadis itu menggeret salah satu kursi yang sudah dibersihkan Do Yun lalu duduk di sana layaknya penonton. “Anggap aja aku tidak ada,” ujar Aeyong dengan santai. Bagaimana Do Yun bisa menganggap Aeyong tidak ada jika berlatih sendiri saja dia masih merasa ragu apalagi berlatih di hadapan orang lain. Aeyong tak tahan dengan keraguan Do Yun. Gadis itu berjalan mendekati Do Yun dan menarik tangannya. “Kau hanya membuang waktu jika terus begini,” kata Aeyong. Aeyong membawa Do Yun duduk di depan drum . “Aeyong, aku tidak bisa,” tukas Do Yun. Aeyong mendelik lalu menyentil telinga Do Yun pelan. “Kau belum mencoba sudah bilang tidak bisa, dasar pengecut,” kata Aeyong. Aeyong sudah mendengarnya dari sang ayah. Dia tidak pernah menyangka jika Do Yun mengalami trauma seperti itu. Anak itu tampak polos dan pemalu, terkadang dia hanya menurut dan melakukan apapun yang Baek Jung minta. Do Yun tidak pernah protes dan selalu diam. Aeyong mengepalkan tangannya sebagai isyarat jika Do Yun mundur, anak itu akan mendapat tinju dari Aeyong tentu saja itu tidak serius.Mau tidak mau Do Yun harus memainkan drum di hadapannya. Do Yun menyentuh cymbal satu per satu,  bagian drum yang bentuknya menyerupai piringan. “Jangan mundur lagi,” ancam Aeyong. Do Yun mengangguk Dia memejamkan mata dan meyakinkan dirinya. Bermain drum tidaklah mudah, rasanya bukan kau asal memukul sesuatu, namun tanganmu harus pas dengan irama dan ketukan. Dowoon memulai ketukan drumnya, dia menghitung dalam hati, lalu seolah tersihir tangannya menari dengan indah memainkan instrumen tersebut. Ini pertama kalinya Aeyong melihat Do Yun bermain drum dan dia terlihat sangat keren. Entah sudah berapa kali Aeyong bersorak dan bertepuk tangan layaknya penonton. Do Yun tersenyum dibalik kursi drum miliknya. Aeyong benar, semua ini tak semenakutkan yang Do Yun pikirkan. Do Yun hanya terlalu takut untuk memulai. Padahal kenyataannya tidak semenakutkan itu. Ini pertama kalinya drum dan stik di tangannya bukan menjadi sesuatu yang menakutkan bagi driinta. Do Yun rasanya ingin menangis. Dia akhirnya bisa memaikan drum, sesuatu yang paling dia sukai di dunia ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN