Dasar Perempuan Iblis

1072 Kata
Pelan-pelan Park Hajoon bisa menjalani kehidupan normal seperti biasanya. Sudah enam  bulan Hajoon belajar dengan guru privat, kegiatannya kini bukan hanya bermain game maupun mengurung diri di dalam kamar. Pelan-pelan Hajoon mulai terbiasa dengan keramaian. Lisya merasa bersyukur karena pada akhirnya dia bisa melihat putranya bangkit dari keterpurukan. “Kita mau ke mana? Kau tidak akan membawaku ke tempat yang aneh kan?” Tanya Hajoon pada Ara. Ara dengan tenang menyetir di sebelah Hajoon dia tampak tenang menyetir sambil fokus pada jalanan. “Pikiranmu selalu saja aneh-aneh. Aku hanya akan membawamu hangout. Sudah enam bulan tapi kau masih saja suka mendekam di goa kesayanganmu itu,” tukas Ara. Hari ini malam minggu. Ara sudah jengah melihat adiknya hanya tertawa di depan komputer dan bermain game seharian. Kata dokter keadaan Hajoon sudah lebih baik. Hajoon juga sudah bisa keluar karena beberapa bulan ini panic attacknya tidak kambuh. “Itu bukan goa tahu! Tapi comfort zone,” ralat Hajoon tak terima karena Ara menyebut kamar kesayangannya dengan sebutan goa. “Kau tidak akan membawaku ke bar atau club kan? Aku tidak mau hanya jadi supir cadanganmu dan membawamu pulang dalam keadaan mabuk,” protes Hajoon. Beberapa waktu yang lalu Hajoon masih ingat Ara meneleponnya dalam keadaan mabuk dan memintanya menjemputnya di Club. Itu pertama kalinya Hajoon keluar sejak terakhir kali saat dia dikerjai Ara beberapa waktu yang lalu. Tidak ada tangan gemetar atau keringat dingin. Hajoon juga tidak lagi takut berada di kerumunan atau pergi ke luar. Anak itu jauh lebih baik sekarang. “Sekali lagi kau berpikir aneh-aneh aku akan menrurunkanmu di jalan,” tukas Ara. “Ini bukan berpikir aneh-aneh, aku kan hanya menebak,” Hajoon membela dirinya. “Aku hanya akan membawamu ke kafe Hajoon, berhenti berpikiran konyol seperti itu,” tegas Ara. Hajoon pun diam. Jujur dia malas untuk keluar malam minggu ini tapi Ara tiba-tiba saja datang ke kamarnya dan minta Hajoon untuk menemaninya ke pesta ulang tahun temannya. Hajoon ingin menolak namun berdebat dengan Ara adalah hal sulit. Jadi Hajoon terpaksa mengabulkan permintaannya. “Kau tenang saja, pestanya tidak akan membosankan kok,” kata Ara. Hajoon tak menyahut. Dia membiarkan Ara mengoceh semaunya. *** Lima belas menit kemudian mobil Ara berhenti di sebuah kafe yang cukup vintage, Hajoon hampir tertidur di perjalanan jika Ara tidak membangunkannya, “Hajoon, turun,” perintah Ara. Hajoon mengerjapkan matanya. Dia tidak sadar bahwa mereka sudah sampai. Ara sudah berdiri di samping mobil dan membukakan pintu untuk Hajoon sementara sang adik masih menguap sambil mencoba membuka matanya. “Jangan bertingkah aneh di dalam, jangan bikin aku malu tahu,” pesan Ara sebelum mereka masuk. Hajoon menekuk wajahnya, “Jika kau malu pergi denganku mending aku pulang saja deh, Kak,” tukas Hajoon. Anak itu membuka pintu mobil dan bermaksud untuk pulang, namun Ara terlebih dahulu meraih kerah hoodie Hajoon. “Aku tidak bermaksud begitu. Ayo cepetan masuk ih,” tukas Ara menarik tangan sang adik. Tidak seperti yang Hajoon bayangkan, pesta ini tidak berlangsung mewah dan berlebihan. Orang-orang tampak santai dengan pakaian sederhana. Ara juga hanya mengenakan gaun sederhana selutut berwarna pink,sementara Hajoon datang dengan mengenakan hoodie, sepatu converse dan juga celana jeans miliknya. Pantas saja Ara tidak memprotes penampilannya sepertinya pesta ini hanya berlangsung sederhana. “Jane!” Ara melambaikan tangan pada seorang perempuan berambut pirang dengan lisptik warna nude itu begitu memasuki kafe. Jane tersenyum begitu melihat Ara. Hajoon bisa melihat Ara dan Jane adalah teman dekat karena begitu Ara melambaikan tangan Jane langsung berlari ke arahnya. “Hai, terima kasih sudah datang ke pestaku Ara,” tukas Jane menyambut Ara dengan hangat. Hajoon mengambil hape di sakunya. Lebih baik dia bermain game saja daripada menanggapi obrolan basa-basi mereka. “Oh ini siapa? Apa dia pacarmu, Ara?” Jane baru menyadari keberadaan Hajoon setelah beberapa detik. Ara menggeleng dengan cepat,”Bukan , dia adikku,” tukas Ara. “Wow, adikmu tampan sekali pantas saja kau tidak ingin mengenalkannya padaku,” puji Jane. Meskipun dipuji Hajoon tak lantas larut dalam pujiannya, “Thanks,”  Hajoon menjawab singkat. “Kak aku akan duduk di sana kau lanjut saja dengan teman-temanmu. Jangan minum terlalu banyak,” kata Hajoon pada Ara. Ara mengangguk, tanpa membuang waktu Hajoon segera duduk di sofa yang ada di pojokan. “Adikmu sedikit pemalu ya, manis sekali dia,” gumam Jane dengan pandangan b*******h, Ara tahu arti tatapan Jane pada Hajoon, “Dia adikku, aku tidak akan membiarkannya menjadi mangsamu, Jane,” ancam Ara. “Aku tidak bermaksud menjadikannya mangsaku kok, Kau tenang saja. Ayo kita ke sana,” Jane mengamit lengan Ara dan mengajaknya menghampiri teman-temannya namun perempuan itu tidak melepaskan tatapannya pada Hajoon. Ara diam-diam mengerti tanda bahaya sedang ditujukan pada Hajoon. Di a tidak akan membiarkan Hajoon menjadi mangsa Jane malam ini. Setengah jam berlangsung dan Hajoon hanya sibuk dengan gadget di tangannya. Namun pandangannya beralih ketika sebuah band tampil di atas panggung. Mereka membawakan sebuah lagu yang akrab di telinga Hajoon yaitu Great Escape. Hajoon mulai menikmati penampilan mereka. Hal yang membuat Hajoon teratrik adalah gitar listrik yang tengah dimainkan oleh salah satu pemain band yang ada di depan sana. Gitar itu tampak indah sekali. Hajoon ingin sekali belajar gitar listrik namun dia masih berusaha mengumpulkan uang untuk membelinya.  Tanpa sadar Hajoon bergumam sambil bersorak. Sudah lama rasanya dia tidak pergi ke konser atau festival rasanya kini dia merindukan hal tersebut. Seperti sebuah kebebasan yang akhirnya Hajoon dapatkan kembali.Hingga lagu berakhir dia tampak menikmati band yang ada di depan sana. Hajoon bahkan terlalu larut dalam lagu yang mereka nyanyikan. Malam ini tidak seburuk yang dia pikirkan. “Kau sepertinya sangat menyukai band yang tampil di depan sana.” Terlalu asyik memperhatikan band yang tengah tampil, Hajoon tak sadar Jane sudah duduk di dekatnya. Perempuan itu tampak mengenakan pakaian minim yang kurang bahan. Hajoon mengalihkan pandangannya. “Sorry  sepertinya aku harus pergi,” Hajoon berusaha menghindar namun Jane menarik Hajoon hingga Hajoon tak sengaja duduk di pangkuannya. Jane mengurung Hajoon dalam pelukannya. Hajoon berusaha menolak. Namun Jane membisikkan sesuatu di telinganya, “Jika kau menolakku akan kupastikan lelaki itu memperkosa kakakmu,” Jane menunjuk seseorang yang tengah memeluk Ara. Ara kelihatan sangat mabuk dan kini dia tengah berada di dekapan lelaki asing itu. “b******k! Teganya kau melakukan itu pada temanmu sendiri!” Hajoon mengumpat sementara Jane tampak tersenyum seperti iblis. “Jadi apa keputusanmu Hajoon? Menemaniku di sini atau membiarkan lelaki itu membawa kakakmu di hotel?” Jane menyunggingkan senyuman penuh kemenangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN