Tentang Hyunjin dan Kerinduannya

1085 Kata
Meski memiliki wajah tampan dan cukup populer di sekolah namun Hyunsu justru menarik diri dari pergaulan. Hyunsu tidak ada waktu untuk bermain bersama teman-temannya. Dia bisa dibilang tidak punya teman di sekolah. Sepulang sekolah dia langsung bekerja di toko Pak Kim lalu pulang ke gosiwon untuk beristirahat. “Apa kau makan dengan baik Hyunsu?” Bibi Jung kembali menelepon Hyunsu. Beliau akan menelepon Hyunsu setiap tiga hari sekali. Akhir-akhir ini Hyunsu jarang bisa menjawab panggilannya karena sedang bekerja. Tidak hanya kerja di toko Pak Kim, Hyunsu juga bekerja di minimarket. Dia bekerja dari pukul dua belas malam hingga tiga pagi. Sebenarnya Hyunsu tidak bekerja setiap hari di minimarket. Dia hanya menggantikan jika ada pekerja yang terpaksa harus pulang cepat. “Aku makan dengan baik, Bibi. Bibi juga makan dengan baik kan?” Tanya Hyunsu. “Tentu saja, kau tidak perlu khawatir.” Sebenarnya keadaan Bibi Jung sedang tidak baik. Warung yang dia kelola tidak banyak pengunjung sekarang. Dia merasa bersalah karena bulan kemarin harus mengurangi uang jatah kiriman Hyunsu. “Apa uang yang aku kirimkan cukup?” Tanya Bibi Jung. Perempuan itu memastikan Hyunsu makan dengan baik dan juga memastikannya tidak kekurangan uang. “Cukup kok, Bi.” Pak Kim memberikan gaji yang cukup besar pada Hyunsu. Dia bahkan mendapat bayaran dari pekerjaan paruh waktu lainnya. Lelaki itu berterima kasih pada Hyunsu karena secara tidak sengaja Hyunsu membuat hubungannya dengan Dabin membaik. Hyunsu menggigit bibirnya, mungkin ini saatnya untuk bilang pada Bibi Jung. Tapi Hyunsu kesulitan untuk menjelaskannya. Bibi Jung pasti akan marah besar jika tahu Hyunsu bekerja paruh waktu dan bukannya belajar dengan baik. “Bibi,ada yang ingin aku bicarakan. Semoga Bibi tidak marah mendengarnya,” tukas Hyunsu dengan hati-hati. Di seberang sana Bibi Jung tampak tengah menanti apa yang Hyunsu ingin bicarakan dengan d**a berdebar, “Ada masalah apa, Hyunsu? Kau tidak berbuat yang aneh-aneh kan di Seoul?” Tanya Bibi Jung. Perempuan itu selalu memberi nasihat pada Hyunsu agar hidup dengan baik di Seoul dan tidak melakukan hal yang membuatnya menyesal di kemudian hari. Kehidupan di Seoul sangat bebas, jadi Bibi Jung khawatir jika Hyunsu terseret ke dalam kehidupan bebas di kota besar. Namun di sisi lain Hyunsu anaknya tidak neko-neko jadi Bibi Jung tidak khawatir tentang itu. “Tidak kok, kau tenang saja, Bibi. Aku tidak mungkin mengecewakanmu,” kata Hyunsu. Bibi Jung menarik napas lega di ujung sana. “Lalu ada apa Hyunsu? Kenapa kau terdengar begitu serius?” Tanya Bibi Jung. Hyunsu sebenarnya ingin bercerita bahwa dia bekerja paruh waktu tapi melihat Bibi Jung yang selalumengkhawatirkan dirinya anak itu mengurungkan niatnya. Dia terpaksa menyusun kebohongan pada Bibi Jung. “Bibi, aku mendapat beasiswa dari sekolah jadi mulai bulan depan Bibi tidak perlu membayar biaya sekolahku. Bibi bisa menyimpan uangnya untuk keperluan yang lain,” kebohongan itu lolos begitu saja dari bibir Hyunsu. “Benarkah?” Terdengar nada antusias, bangga dan senang dari bicara Bibi Jung. “Aku senang sekali jika begitu. Kau memang benar-benar hebat, Hyunsu. Aku bangga padamu,” tukas Bibi Jung. Hyunsu hanya bisa tersenyum pahit dari kejauhan. Dia tidak bermaksud membohongi Bibi Jung namun dia tidak ada pilihan lain. Dia hanya ingin Bibi Jung berhenti mencemaskannya dan satu hal dia tidak ingin melihat dirinya terus merepotkan Bibi Jung. “Apa benar tidak apa-apa jika kukurangi jatah bulanannya?” Tanya Bibi Jung dengan ragu. “Tidak apa-apa, Bi, maaf jika aku terus merepotkan Bibi,” tukas Hyunsu. Hyunsu merasa tidak enak karena meskipun bukan keluarganya namun Bibi Jung menjaga Hyunsu dengan baik. “Jangan berkata seperti itu, Kau tidak pernah merepotkanku. Aku sudah menganggapmu seperti anakku sendiri,” kata Bibi Jung. Hyunsu tahu Bibi Jung selalu tulus merawatnya namun dia tidak bisa bergantung kepada Bibi Jung. “Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan, Hyunsu.” Ujar Bibi Jung dengan hati-hati. Mendadak perasaan Hyunsu menjadi was-was, “Ada apa, Bibi?” tanya Hyunsu. “Sebenarnya beberapa hari yang lalu Hyunjin datang menemuiku. Dia tahu kau pergi ke Seoul bersamaku dan dia memohon padaku untuk meminta alamatmu di Seoul. Hyunjin sangat khawatir padamu Hyunsu. Dia benar-benar tulus padamu.” Jelas Bibi Jung. “Apa Bibi Jung memberikan alamatku?” Mendengar nama Hyunjin semua rasa sakit itu kembali. Sebenarnya bukan salah Hyunjin karena Hyunjin selalu baik padanya. Hanya saja semenjak ibunya selalu memuji Hyunjin dan terus membandingkan dirinya dengan Hyunjin, sejak saat itu dia membencinya. Hyunsu benci dibanding-bandingkan.Hyunsu benci ketika ibunya selalu menghargai kerja keras Hyunjin dibanding dirinya. “Aku sudah berusaha menolaknya namun Hyunjin selalu datang ke kedai. Jadi aku terpaksa memberinya. Maafkan aku Hyunsu,” sesal Bibi Jung. Hyunsu tidak tahu harus menjawab apa. “Jika Hyunjin datang ke sana, bicaralah padanya. Tidak apa-apa jika kau tidak mau kembali ke sini tapi setidaknya bicaralah dengannnya. Dia terlihat sangat merindukanmu,” imbuh Bibi Jung. “Sekali lagi maafkan aku Hyunsu.” Mendengar Bibi Jung minta maaf, Hyunsu merasa tidak enak, dia tidak mungkin marah pada Bibi Jung hanya karena masalah ini. “Tidak apa-apa BIbi. Jika Hyunjin ke sini aku akan bicara baik-baik dengannya,” tukas Hyunsu. Sebenarnya akhir-akhir ini Hyunsu merindukan Busan. Dia rindu melihat pantai yang selalu dia kunjungi di akhir pekan. Makan-makanan di kedai Bibi Jung. Harga makanan di Busan jauh lebih murah daripada Seoul. Tapi memikirkan kembali ke Busan, Hyunsu tidak sanggup jika dia harus serumah dengan Hyunjin dan ibunya lagi. Hyunsu sudah terlanjur memilih jalan hidupnya sendiri. Mau tidak mau dia harus bertahan sampai akhir. “Baiklah, kau jangan lupa makan malam ya, Hyunsu. Jika uang yang aku kirimkan kurang, kau bilang saja. Aku akan mengirimkan uang tambahan untukmu,” tukas Bibi Jung. “Bibi tidak usah khawatir aku makan dengan baik di sini. Bibi jaga kesehatan.” Tukas Hyunsu sebelum menutup telepon. Namun belum sempat Hyunsu memejamkan mata, sebuah panggilan telepon berdering. Hyunsu menatap sebuah nomor asing yang tertera di sana. Dia tidak pernah memberikan nomor teleponnya pada orang asing maupun teman sekolahnya jadi wajar saja jika Hyunsu terkejut ada nomor asing yang meneleponnya. “Halo,” Hyunsu menjawab telepon dengan nada datar. Tidak ada sahutan di ujung sana. Hanya ada sebuah deru napas yang memberat. “Siapa ini?” Hyunsu bertanya lagi. Hingga beberapa detik kemudian tak ada yang menjawab. “Jika kau hanya main-main aku akan menutup teleponnya,” kata Hyunsu. Namun belum sempat Hyunsu memencet tanda merah di teleponnya sebuah suara terdengar dengan lirih di ujung sana. “Hyunsu, bisakah kau menolongku, ini aku Jeyoon.” Mata Hyunsu melebar begitu mendengar nama Jeyoon, setelah sekian lama menghilang Jeyoon akhirnya balik lagi namun kini suaranya terdengar lemah. Apa yang terjadi dengannya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN