You Did It, Do Yun!

1049 Kata
Bagi sebagian orang memiliki impian adalah sesuatu yang mahal. Tidak semua orang merasa punya hak untuk bermimpi. Sebagian lainnya harus merelakan mimpinya karena takdir yang tidak berpihak padanya. Sementar bagi Do Yun, dia harus merelakan hal yang paling disukainya karena luka yang dia alami di masa lalu. Sudah dua bulan Do Yun bertemu dengan Hain. Jika biasanya dia didampingi dengan Joon Woo maka kini Dowoon mulai terbiasa bertemu dengan psikolognya sendiri. Do Yun merasa berhutang budi pada Joon Woo namun dia berjanji dalam hati bahwa Do Yun akan membalasnya suatu hari nanti. “Bagaimana kabarmu Do Yun?” Sapa Hain dengan ramah. Hain bisa merasakan peningkatan yang sangat pesat pertemuan demi pertemuan dirinya dengan Do Yun. Saat pertama kali bertemu dengan Hain. Do Yun masih sangat tertutup. Meski dia menangis di pertemuan pertama namun tak lantas Do Yun menceritakan semuanya. Butuh tahapan bagi Do Yun untuk mempercayai seseorang setelah luka yang dialaminya selama bertahun-tahun wajar saja jika Do Yun mengalami trauma. “Aku baik,” jawab Do Yun singkat masih dengan ekspresi wajah malu-malu. Setiap kali bertemu dengan orang lain Do Yun merasa sungkan untuk menatap matanya. Bahkan dengan teman-teman di sekolahnya sekaligus. Do Yun terkenal sangat pendiam dan tidak banyak bicara. Sekolah hanya seperti tempat singgah dia datang untuk belajar lalu pergi ke restoran Baek Jung. Hain bertanya pertanyaan-pertanyaan ringan sebelum sesi konselingnya masuk ke hal yang lebih berat. Do Yun tipe orang yang harus dipancing terlebih dahulu, Hain mengambil sebuah totebag yang berisi sesuatu yang sangat familiar bagi Do Yun. Kau pasti bisa menebak isinya bukan, hal yang paling dia suka adalah drum dan hal yang paling dia takuti adalah stik drum. Pupil Do Yun bergertar menatap benda yang ada di hadapannya. “Apa yang kau lihat Do Yun?” Tanya Hain. Hain sengaja menyempatkan diri dan membeli lima pasang stik drum dengan merek Promark. Hain tidak tahu stik drum mana yang terbaik untuk Do Yun. Dia bertanya kepada pemilik toko alat musik mana stik drum dengan merek yang baik dan sang pemilik memberikan rekomendasi Hain stik drum merek Promark. “Stik Drum,” Hain bisa merasakan napas Do Yun memberat. Meskipun begitu anak itu masih mau menjawab pertanyaan Hain. “Iya, benar sekali ini stik drum. Apa kau menyukai stik drum, Do Yun?” Sebagai seorang pemain drum atau drummer Do Yun tentu sangat menyukai stik drum. Dulu sebelum Il Jung berubah lelaki itu selalu memberikan stik drum dan membantunya latihan. Tangan Do Yun akrab dengan benda di hadapannya ini. Namun entah sejak kapan dia lupa bagaimana memegang setik drum ini. Trauma itu selalu datang saat dia mencoba memegangnya. “Kau mau memegangnya Do Yun?” Tanya Hain dengan lembut. Tangan Do Yun sudah terulur ke depan namun begitu Hain ingin meletakkan stik drum di tangannya anak itu terlebih dahulu menariknya. Anak itu menggeleng. “Apa begitu sulit memegangnya, Do Yun?” Tanya Hain. Do Yun mengangguk. Hain tidak ingin memaksa Do Yun. Sesi konselingnya memang berjalan sedikit lambat karena Do Yun masih belum mau terbuka padanya. “Do Yun, coba kau lihat ini. Stik ini indah sekali bukan? Andai aku bisa memainkannya. Aku pernah melihat drummer bermain drum dengan keren meski aku tidak tahu cara memainkannya namun aku suka. Hm, apalagi saat dia memutar stiknya seperti ini,” Hain mencoba memutar stiknya namun stik drum di tangannya malah terjatuh di meja. Perempuan itu memungut lagi stik drumnya lalu mencoba memutarnya lagi. Namun stik drum itu terjatuh kembali. Awalnya Do Yun tidak tertarik apa yang Hain bicarakan. Namun memutar stik drum adalah salah satu keahlian Do Yun. “Bukan seperti ini,” Do Yun merebut stik drum dari tangan Hain. Hain tertegun ketika Do Yun dengan lihai memutar stik drum tersebut. Terlihat sangat mudah dan tidak sulit sama sekali. Namun bukan hal itu yang membuat Hain tertegun. Do Yun tanpa sadar telah memegang stik drum yang selama ini menjadi sumber traumanya. Ini sungguh kemajuan yang pesat. Hain mengulum senyumnya. Dia tidak mau Do Yun tersadar bahwa kini dia tengah memegang stik drum di tangannya. “Jika kau memutarnya ke arah sini maka stik drumnya akan jatuh. Kau harus memutarnya dengan cara seperti ini.” Do Yun mencontohkan cara memutar stik drum dengan benar. Hain tampak memperhatikannya dengan wajah serius. Do yun memberikan stik drum itu kembali pada Hain. Tak ada efek gemetar atau keringat dingin yang Do Yun lihat. Hain berpura-pura memutar stik drum itu kembali dan menjatuhkannya, “Bukan seperti itu,” Do Yun kembali mengambil stik drum dan menjelaskannya pelan-pelan. Hain mengambil kembali stik drum dari tangan Do Yun. Perempuan itu menatap Do Yun dengan tatapan bangga. “Kenapa Nuna menatapku seperti itu?” Tanya Do Yun dengan tatapan tak mengerti. Hain menarik napas sebelum memberitahu apa alasan Hain menatapnya dengan tatapan seperti itu. “Do Yun, apa kau sadar? Kau baru saja memegang stik drum.” Deg! Jantung Do Yun berdetak lebih kencang namun masih dalam tahap wajar, Do Yun menunduk. Setelah selama ini dia selalu mengalami tangan gemetar, keringat dingin dan histeris saat memegang stik drum. Kini tak ada lagi perasaan seperti itu. “Nuna,”  rintih Do Yun dengan tatapan tak percaya. “Kamu lihat kan? Ini hanya stik drum Do Yun. Stik ini tidak akan menyakitimu lagi. Kau menyukai drum bukan? Cobalah untuk kembali mengejar mimpimu. Pelan-pelan jangan berlari begitu saja. Aku yakin suatu hari nanti kau bisa mewujudkan impianmu. Aku akan datang ke pertunjukanmu jika kau menjadi pemain drum suatu hari nanti. Apa stik drum sekarang masih menakutkan bagimu?” Do Yun kembali memandang stik drum di meja. Dia meraba letak jantungnya dan merasakan jantungnya berdetak seperti biasa Tak ada keringat dingind an sesak napas. Semuanya baik-baik saja, “Tidak,” Do Yun menjawab pertanyaan Hain sambil menggeleng. “Kalau gitu apa kau mau memegangnya sekali lagi?”Tanya Hain. Do Yun meletakkan tangannya pelan-pelan. Anak itu terlihat ragu namun tangannya terus mendekat ke arah stik drum. Ketika jemarinya menyentuh permukaan stik drum Do Yun rasa rindu memegang stik drum ini membuncah menutupi segala rasa trauma yang selama ini Do Yun rasakan. Do Yun merasa takjub. Dia tak percaya bisa mengalhkan sumber ketakutannya selama ini. “Nuna aku berhasil,” gumam Do Yun dengan mata berkaca-kaca. Bukan hanya Do Yun yang ingin menangis tapi juga Hain, “Iya, Do Yun, kamu berahasil. Kamu melakukannya dengan baik.” Puji Hain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN