Mungkin Dae Jung satu-satunya orang yang beruntung mendapat Host Family yang benar-benar baik. Dae Jung tidak menyangka bahwa dia akan tinggal di rumah sebesar ini. Rumah ini bahkan lebih besar daripada rumahnya yang ada di Ilsan. Rumah ini terdiri dari dua lantai dengan halaman belakang yang luas lengkap dengan fasilitias kolam renang dan kebun buah yang sangat luar. Halaman depannya dihiasi dengan taman bunga yang indah dan tertata.
Dae Jung menyeret kopernya masih dengan tatapan takjub. Begitu Dae Jung sampai di sini seorang pembantu langsung menyambutnya ramah.
“Dae Jung ya?” tanyanya sambil tersenyum. Dae Jung tersenyum. Seorang perempuan dengan pakaian sederhana membukakan pintu untuknya setelah lelaki itu mengangguk.
“Apa benar ini rumahnya Tuan Stepehen dan Nyonya Lavi?” tanya Dae Jung. Pembantu itu mengangguk. “Benar, kau tidak salah rumah kok,” katanya.
“Syukurlah, aku hampir tersesat tadi.”
Dae Jung hampir salah rumah. Dia sengaja naik bus ke rumah ini. Namun sayangnya dia turun di halte yang salah jadi dia sempat berputar-putar di kompleks perumahan yang salah. Namun beruntungnya kompleks rumah ini tidak jauh dari tempat tersesat Dae Jung.
“Oh My God, You must be so tired,” gumam pembantu itu dengan nada kasihan. “Namaku Brilinda. Kau bisa memanggilku Linda, aku pembantu di rumah ini. Senang berjumpa denganmu Dae Jung,” ujar Linda menyambut Dae Jung ramah. Dae Jung membalas senyumannya. Brilinda mengunci pintu gerbang dan berjalan menghampiri Dae Jung yang tampak mengamati rumah ini. Dia penasaran tentang pemilik rumah ini.
“Rumahnya bagus bukan?” ujar Brilinda membuat lamunan Dae Jung buyar. Dae Jung merasa malu karena dia terlihat sedikit norak di hadapan Brilinda.
“Iya bagus sekali,” jawab Dae Jung malu-malu. Jika rumah ini ada di Seoul pasti harganya mahal sekali, karena harga sewa sepetak tanah di Seoul saja sangat mahal. Brilinda melirik ke arah koper Dae Jung. Dae Jung hanya membawa dua buah koper besar dan ransel. Barang-barang lainnya akan dia ambil secara bertahap. Dia masih punya waktu selama tiga bulan untuk mengosongkan kamarnya.
“Mau aku bawakan kopernya?’ Linda menawarkan bantuan. Namun Dae Jung segera menggeleng, “Tidak usah Mrs Linda, aku bisa membawanya sendiri,” tolak Dae Jung yang tidak ingin merepotkan Linda.
“Aku sudah bilang kau bolah memanggilku Linda. Kenapa memanggilku dengan sebutan Mrs?’ gumam Linda.
“Maaf aku belum terbiasa memanggil nama begitu saja di sini.” Beberapa orang di sini tidak membedakan usia. Jika sudah akrab mereka bisa memanggil dengan sebutan nama saja. Namun Dae Jung belum terbiasa dengan itu. Rasanya tidak sopan.
“Apa aku terlalu tua untukmu? Bagaimana kalau aku memanggilmu Miss Linda saja? Karena kau masih terlihat sangat muda,” puji Dae Jung yang membuat Linda langsung merasa tersanjung.
“Apa kau sedang menggodaku, Dae Jung. Aku ini sudah menikah dan punya anak tiga. Kau jangan menggodaku seperti itu,” kata Linda sambil tersenyum. Dae Jung memang pandai sekali merebut hati orang dengan pujiannya. Lelaki itu pandai menyenangkan hati orang.
“Tentu saja tidak. Lihatlah wajahmu yang bersinar itu aku malah mengira kau pemilik rumah ini tadi,” kata Dae Jung. Linda tak bisa menyembuhkan wajahnya yang terlihat malu. “Kau ini benar-benar pandai sekali bicara ya,” kata Linda.
Mereka kembali terlibat dengan obrolan-obrolan ringan sambil berjalan menuju pintu. Dae Jung banyak bertanya tentang kehidupan Linda dan sudah berapa lama dia bekerja di sini. Dae Jung selalu penasaran akan hal baru jadi dia sering kali banyak bertanya tentang apapun. Selain itu Dae Jung pandai dalam memuji orang dengan tulus. Dia juga mudah bergaul dan pandai menyesuaikan keadaan.
“Semoga kamu betah tinggal di sini, Dae Jung?” kata Linda dengan raut wajah tak terbaca. Entah kenapa Dae Jung merasa ada yang aneh dengan sikap Linda. Sejak tadi dia bercerita tentang rumah ini namun tak sedikitpun menyinggung tentang pemilik rumahnya. Setiap kali Dae Jung menanyakan tentang pemilik rumah, raut wajah Linda berubah, seakan ada sesuatu yang ditutupi.
Prang!
Tangan Linda baru saja akan memegang gagang pintu ketika sebuah suara benda yang berbenturan di lantai terdengar. Dae Jung benar-benar terkejut, namun berbeda dengan wajah Dae Jung, Linda justru tampak baik-baik saja.
“Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Dae Jung dengan wajah khawatir. Linda menyunggingkan senyumnya. Linda tampak tenang dan seolah keadaan ini adalah hal yang normal baginya.
“Kau bisa tunggu di sini dulu, Dae Jung. Jangan masuk sebelum aku memintamu masuk,” kata Linda. Dae Jung mengangguk tak berani bertanya lagi. Linda masuk ke dalam rumah dengan sedikit panik, Perempuan itu lupa menutup pintu yang berada di depan Dae Jung.
Dae Jung agak terkejut dengan pemandangan di hadapannya. Banyak pecahan keramik yang berserakan di lantai juga beberapa barang yang terlihat dibanting dengan sengaja. Kepala Dae Jung berkecamuk. Ada banyak pertanyaan di sana yang membutuhkan jawaban.
“Nyonya apa kau baik-baik saja?”
Pandangan mata Dae Jung langsung teralih ke dalam rumah ketika seseorang berteriak tak jauh dari tempatnya berdiri. Seorang perempuan paruh baya dengan tampilan elegan tampak membanting barang-barang yang ada di hadapannya. Linda berlari dengan sangat tergesa. Sementara itu Dae Jung tampak mengamati dari kejauhan. Dia ingin masuk namun lelaki itu kembali teringat kata-kata Linda.
“What’s going on?’ Batin Dae Jung ingin tahu. Hari pertama kepindahannya kenapa diwarnai dengan hal seperti ini.
Linda berlari ke arah perempuan yang tengah memegang guci di tangannya. Guci itu tampak mahal, mungkin bernilai ratusan juga, Dae Jung bisa melihat barang-barang di rumah ini bukan barang biasa. Terlihat dari beberapa perabot rumah ini yang dapat Dae Jung kenali sebagai merek terkenal.
“Nyonya, tolong jangan lakukan ini,” Linda berusaha menghentikan perempuan itu. Tangannya memegang erat tangan Lavi agar tidak membanting barang lagi. Lavi Peterson adalah pemilik rumah ini, membanting barang-barang di rumah ini bukan hal baru baginya.
“Kembalikan anakku! Kembalikan!”
Teriak Lavi dengan wajah frustasi. Perempuan itu meracau dan memanggil nama anaknya. Tangannya berusaha meraib barang-barang di sekitarnya untuk dibanting.
“Nyonya, aku mohon sadarlah, jangan membanting barang lagi, “ Linda tampak kewalahan menghentikan Lavi untuk membanting barang lagi. Namun tenaga Lavi lebih besar. Linda terlempar ke lantai karena dorongan Lavi. “b******k, jangan menghalangiku!” Teriak Lavi dengan tatapan tak suka pada Linda.
“Kau lelaki b******k yang sudah mengambil nyawa anakku. Cepat kembalikan!” Pandangan mata Lavi berubah menyeramkan. Perempuan itu membawa sebuah pecahan guci di tangannya. Posisi Linda terjebak di lantai. Perempuan itu tampak ketakutan.