Kerumunan orang di depan sekolah semakin banyak murid yang datang. Mereka bersorak bak menonton sebuak pertandingan besar. Barin dan John berhasil menyeret Dae Jung ke depan sekolah, Mereka menyibak kerumunan dengan susah payah.
“Austin benar-benar gila. Bisa-bisanya dia berurusan dengan preman seperti mereka.” Komentar seseorang yang berada di depan Dae Jung . Baron terus menyeretnya menyibak kerumunan hingga berada di barisan depan sekarang.
“Sepertinya Austin bakal kalah kali ini “ Tukas yang lain. Dae Jung sama sekali tak tertarik dengan apa yang mereka bicarakan. Orang-orang di sini aneh, mereka melihat orang berkelahi dengan antusias. Bahkan beberapa diantara mereka memasang taruhan. Apa pantas tindakan ini dilakukan? Pihak sekolah pun tidak mau ikut campur dan membiarkan semua ini.
“Kau mau ke mana?” Tanya Baron yang melihat Dae Jung diam-diam menarik diri dari kerumunan. Dae Jung memang memanfaatkan kesempatan Baron yang tengah fokus melihat ke depan, namun ternyata lelaki itu menoleh. John merangkul pundak Dae Jung dan mendorongnya hingga dia berada di barisan paling depan sekarang.
“Kau harus lihat ini Dae Jung. Ini pasti akan menarik,” celetuk John. Dae Jung menarik napas berat.
Tak bisakah Dae Jung kabur sekarang? Dae Jung rasanya tidak ingin melihat pertarungan konyol ini. Sementara itu di depan sana Austin tengah berhadapan dengan lima orang preman berbadan besar. Anak itu tampak tenang seolah dia tidak sedang dalam masalah besar.
“You wanna die?”
Tatapan salah satu preman benar-benar mengerikan. Mereka membawa pemukul baseball dan juga senjata tajam. Sementara Austin hanya berdiri tanpa membawa apa-apa.
“Bukankah sudah kuperingatkan jangan pernah datang ke sini.” Austin memperingatkan mereka dengan tatapan tajam. Austin benci menjadi pusat perhatian. Jika ingin berkelahi Austin memilih berkelahi di luar area sekolah. Austin benci pada mereka yang selalu menjadikan dirinya bahan taruhan dan menyorakinya saat berkelahi.
“Kau tidak memenuhi janjimu, Austin!” Teriak salah satu diantara mereka. Mereka sudah memasang kuda-kuda. Sepertinya pertarungan akan pecah sebentar lagi. Para penonton tampak tengah menyerahkan uang taruhan mereka. Dae Jung tampak memperhatikan tanpa berkomentar apa-apa. Mungkin dia satiu-satunya murid di sini yang tidak memasang taruhan.
“Aku bilang aku akan membayarnya akhir bulan ini. Kenapa kalian tak sabar,” teriak Austin. Austin melempar tasnya dan bersiap untuk bertarung. Tatapan matanya tampak mengintimidasi, “Baiklah jika ini yang kalian inginkan akan aku turuti,” tukas Austin.
Anak itu tidak peduli lagi pada kerumunan. Austin menatap sekeliling dengan tatapan penuh kebencian. Pandangan matanya bertemu dengan Dae Jung yang berada di barisan depan. Austin tak menyangka jika Dae Jung akan ada di barisan paling depan dan menatapnya dengan tatapan seperti itu. Di dalam pikirannya Austin mulai membenci Dae Jung karena anak itu sama saja seperti yang lainnya. Pasti Dae Jung percaya apa yang mereka katakan tentang Austin.
“Maju kalian. Aku tidak peduli kalian maju satu-satu atau bersamaan aku akan menghabisi kalian,” tantang Austin.
“b******k!”
Para penonton tampak tegang. Meski sendiri, kemampuan bela diri Austin tidak bisa diremehkan. Austin memang terkenal sering berkelahi tapi dia juga andalan sekolah ini. Austin sering memenangkan kejuaraan karate yang diadakan tingkat nasional dan internasional. Bakatnya benar-benar luar biasa. Meskipun begitu Austin sempat menolak tawaran untuk masuk ke tim nasional dan mengikuti olimpiade. Tak ada yang tahu apa alasannya yang mereka tahu Austin memang benci menjadi seorang atlet sejak dulu.
Dua orang preman melangkah kea rah Austin. Anak itu sudah bersiap. Wajahnya benar-benar tenang. Satu diantara mereka mengarahkan bogem mentah ke arah anak itu, namun dengan gerakan cepat Austin menghindar. Satu pukulan lolos. Satunya mengarahkan pemukul baseball ke arah Austin, namun Austin berhasil menahannya dengan tangan kanannya dan melancarkan tendangan ke arah perut laki-laki itu. Satu musuh di depannya tersungkur dengan cepat. Sementara tiga lainnya tampak mengawasi Austin dan menunggu giliran untuk bertarung.
Duakh!
Austin mencengkeram kerah preman satunya lalu menghujaninya dengan dua pukulan sekaligus. Darah mengalir di sudut bibirnya. Preman itu tampak kewalahan dengan kemampuan bela diri Austin. Anak itu berpostur tinggi dan juga tegap tapi gerakannya lincah dan gesit. Setiap serangan berhasil dia patahkan.
Dua preman sudah tersungkur dan tak berdaya. “Masih mau lanjut?” tantang Austin. Berbanding terbalik dengan keadaan sang preman, Austin bahkan tidak terluka sedikit pun. Dua preman kembali maju ke arah Austin, mereka menyerang secara bersamaan. Namun Austin berhasil memberikan bogem mentah pada kedua preman. Dae Jung tampak mengamati pergerakan Austin. Ini pertama kalinya Dae Jung melihat orang sekeren Austin, Kemampuan bela dirinya patut diacungi jempol.
Austin terlalu sibuk dengan kedua preman di hadapannya hingga tidak sadar bahwa preman di belakangnya masih punya kekuatan untuk berdiri. Para penonton bersorak setiap kali Austin berhasil memukul sang preman, sementara para murid yang memasang taruhan untuk sang preman tampak memasang wajah kesal karena sepertinya mereka akan kalah taruhan.
Duakh!
Meski fokus ke depan Austin masih bisa mengamati pergerakan musuhnya di belakang. Kini giliran bos para preman yang maju. Pertarungan berlangsung dengan alot. Namun Austin tampak baik-baik saja menghadapinya.
Dua preman di belakang mereka tampak merencanakan sesuatu. Dae Jung tampak mengamati dari jauh. Mereka memegang pemukul baseball di tangan kanannya. Dae Jung bisa membaca serangan mereka, selagi Austin sibuk dengan bosnya mereka akan menyerang Austin dari belakang. Tanpa sadar Dae Jung menggenggam erat jemarinya. Anak itu teringat tentang masa lalunya. Rasa sakit kembali menghujam jantungnya. Rasa sakit itu, bayangan mamanya menangis karena Dae Jung kembali membuat Dae Jung merasa bersalah.
Dae Jung sedang menimbang sesuatu. Haruskah dia membantu Austin? Anak itu bisa terluka parah jika mendapat pukulan dari belakang. Dae Jung tidak bisa membayangkan lukanya akan separah apa. Sementara itu di sisi lain orang-orang justru bersorak dan berdoa untuk kekalahan Austin agar menang taruhan.
Dua preman itu tampak ragu-ragu namun satu diantara mereka akhrinya tampak maju dan bersiap menyerang Austin dari belakang. Austin tengah terdesak, lelaki itu terus terkena pukulan meski dia sudah menghindar sebaik mungkin. Sang preman sudah bersiap melancarkan pukulannya.
“Dasar pengecut,” gumam Dae Jung sambil menggenggam jemarinya.
Duakh!
Otak Dae Jung tidak dapat berpikir dan dia tidak dapat menemukan alasan yang tepat kenapa dirinya akhrinya maju dan terlibat dalam pertarungan ini. Dae Jung berhasil melakukan serangan dari samping sebelum sang preman berhasil memukul kepala Austin. Dae Jung datang di saat yang tepat. Austin menatap Dae Jung tak percaya. Sepertinya dia sudah salah menilai Dae Jung. Anak itu tidak seburuk yang dia pikirkan.