Hyunsu pikir bahwa telepon yang dia terima adalah penipuan. Hingga beberapa saat dia masih belum beranjak dari tempat duduknya.Suara lemah di seberang sana terasa bukan seperti Jeyoon. Namun lelaki itu tahu nomornya dan menyebut nama lengkapnya, mana mungkin jika itu bukan Jeyoon.
“Hyunsu, ini aku. Tolong aku,” kini napas Jeyoon terasa berat. Berbagai pertanyaan bersarang di kepala Hyunsu namun ini bukan saatnya untuk bertanya Jeyoon mendapat nomornya darimana.
“Kau di mana sekarang?” tanya Hyunsu dengan nada bicara dingin. “Aku akan mengirimkannya lewat pesan,” Kata Jeyoon. Hyun mengambil jaket dan memakai sandal selopnya. Masih ada waktu dua jam hingga kerja paruhnya dimulai, jadi dia masih bisa menemui Jeyoon.
Sebuah notifikasi masuk ke hape Hyunsu, siapa lagi jika bukan Jeyoon. Kebetulan Hyunsu tahu daerah yang dimaksud Jeyoon karena dia sering mengantar barang pesanan ke sana. Beruntungnya masih ada bus yang menuju ke sana jadi Hyunsu bisa menghemat ongkos.
Hyunsu berjalan dengan cepat menuju halte dan beberapa saat kemudian bus yang dia tunggu datang. Sepertinya semesta tengah mendukungnya hari ini. Hyunsu melirik jam di hapenya, tak ada lagi pesan dari Jeyoon, entah kenapa dia merasa khawatir.
Sejak pertemuan pertama Jeyoon dan Hyunsu saat itu, Jeyoon tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Bahkan Pak Kim tidak tahu di mana Jeyoon tinggal. Hyunsu merasa berhutang budi pada Jeyoon karena sudah mengenalkannya pada Pak Kim. Dia ingin membalas kebaikan Jeyoon, setidaknya Hyunsu ingin membelikan makanan enak pada Jeyoon.
Hyunsu turun dari bus. Gang yang dia tuju begitu gelap dan sepi. Sebuah tempat yang trategis untuk aksi kejahatan. Mendadak pikiran Hyunsu ke mana-mana. Bagaimana jika Jeyoon menjebak Hyunsu ke sini? Hyunsu mencoba menghalau pikirannya sendiri. Anak itu kembali mengecek GPS di tangannya . Menurut GPS miliknya dia sudah sampai ke tempat yang dituju.
“Jeyoon kau di mana?” Hyunsu berteriak dengan nada tenang. Dia mencoba mengamati sekitar, namun tak ada tanda-tanda Jeyoon di sana. Hyunsu mencoba berjalan ke dalam lorong, “Kau di mana Jeyoon?” tanya Hyunsu. Hampir lima menit dia memanggil nama Jeyoon namun tidak ada yang bersuara.
Hyunsu mencoba menajamkan pendengarannya, siapa tahu dia melewatkan sesuatu. “Hyunsu,” jantung Hyunsu berdetak kencang antara takut dan juga kaget. Dia mencoba memicingkan matanya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, sekitar seratus meter, di balik tumpukan kardus Hyunsu melihat sebuah tangan melambai lemah dari sana. Hyunsu mencoba menghapus pikiran buruk bahwa tangan itu bukan tangan milik manusia. Bukannya lari dia malah mendekat ke arah datangnya suara.
Di balik tumpukan kardus itu tubuh Jeyoon tergeletak lemah menunggu pertolongan. Wajahnya pucat bibirnya gemetar. Hyunsu segera menopang tubuh Jeyoon, “Apa kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi?” tanya Hyunsu dengan panik.
Tangan Jeyoon kembali terangkat dan menunjuk tumpukan plastik di hadapannya. Lorong ini seperti lorong pembuangan barang bekas, meski tidak bau namun banyak sekali barang bekas yang tertumpuk di sini.
“Tolong carikan obatku?” tukas Jeyoon. Kening Hyunsu berkerut, “Obat?” Hyunsu ingin bertanya lagi namun ini bukan saat yang tepat untuk banyak bertanya. Hyunsu segera berlari ke tempat yang ditunjuk Jeyoon setelah menyandarkan tubuh Jeyoon pada posisi yang lebih baik.
Hyunsu mengobrak-abrik tumpukan plastik dengan tidak sabaran. Dia mencari satu per satu obat yang dimaksud oleh Jeyoon. Jeyoon terlihat sangat lemah di sana. Dia bahkan tidak bisa berdiri dan berjalan untuk saat ini.
“Bertahanlah Jeyoon, aku sedang mencarinya, “ ujar Hyunsu dengan tatapan memohon. Dia tidak bisa membayangkan jika harus kehilangan Jeyoon. Dia belum membalas hutang budinya pada Jeyoon jadi dia berharap Jeyoon baik-baik saja.
Hyunsu benar-benar mencari dan mengamati satu per satu plastik yang ada di sana, dia mengangkat beberapa kantong plastik besar dan mengangkatnya. Namun tidak ada obat di sana. “Sabarlah Jeyoon aku akan segera menemukannya,” ujar Hyunsu bertekad. Jeyoon mengangguk lemah. Hyunsu harus bisa menemukan obatnya agar Jeyoon selamat.
Setelah mencari selama lima menit dan hampir putus asa Hyunsu menemukan sekantong obat berwarna putih dari balik kantong plastik. Raut wajah kecewa langsung terlihat dari Hyunsu. Meski dia bukan ahli obat-obatan namun dia bisa mengenali apa yang ada di tangannya sekarang. “Apa ini yang kau cari?” Gumam Hyunsu dengan nada dingin. Jeyoon mengangguk, “Tolong berikan padaku, Hyunsu,” lirih Jeyoon. Hyunsu menatap Jeyoon dengan tatapan bimbang. Saat ini dia dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Haruskah dia membuang obat ini? Tapi bagaimana jika Jeyoon mati karena tidak mengonsumsinya? Hyunsu benar-benar bimbang. Di saat terdesak seperti ini hanya satu orang yang terpikirkan di kepalanya. Liow.
Hyunsu tidak mungkin membawa Jeyoon ke rumah sakit, karena dokter pasti akan tahu jika Jeyoon seorang pecandu. Hyunsu tidak punya pilihan lain selain memanggil Liow.
“Kau pikir aku tidak punya kerjaan apa? Seenaknya kau memanggilku di tengah malam seperti ini.” Gerutu Liow.
“Maafkan aku, Hyung,” Hyunsu mulai memanggil Liow dengan sebutan Hyung. Liow sering berkunjung ke toko Pak Kim jika ada waktu luang tentu saja dengan menyamar, jika tidak mungkin fansnya akan mengikutinya. Kau tahu. Sekarang Liow manggunakan metode penyamaran yang berbeda. Dia datang dengan penampilan seperti pengemis, benar-benar totalitas, dia bahkan sampai menyewa pakaian robek-robek segala.
“Dia baik-baik saja, Hyunsu. Kau tidak perlu khawatir,” Liow meletakkan secangkir the hangat dan mendorongnya ke atas meja di depan Hyunsu. Anak itu tampak rapuh, “Kau pasti sangat terkejut tadi?” ujar Liow.
Liow baru sampai di apartemen ketika hapenya berdering. Hari ini jadwalnya padat sekali hingga dia tidak bisa pergi ke tempat ayahnya. Liow sengaja memberikan nomernya pada Hyunsu, dia juga menyimpan nomor Hyunsu di ponselnya. Liow meminta Hyunsu untuk menjaga sang ayah dan mengabarinya jika sesuatu terjadi. Betapa kagetnya Liow karena Hyunsu tiba-tiba menghubunginya. Namun dia bisa bernapas lega ketika Hyunsu mengatakan bahwa Pak Kim baik-baik saja.
“Hyung, tolong aku,” itu kata pertama yang terucap dari bibir Hyunsu setelah menjawab keadaan Pak Kim baik-baik saja.
“Kau di mana?” Liow langsung mengambil masker jaket dan keluar dari apartemennya. Manajernya sempat menegurnya namun lelaki itu tidak peduli. Liow sudah menganggap Hyunsu seperti adiknya sendiri, jadi dia pasti akan segera berlari jika Hyunsu butuh pertolongan.
“Apa Hyung tidak terkejut dengan semua ini?” lirih Hyunsu. Liow menggeleng. Ini bukan pertama kalinya Liow melihat seseorang yang kecanduan obat terlarang, jadi dia tidak terkejut akan itu. Apalagi dia berkarir di dunia hiburan, Liow juga pernah mellihat temannya sendiri mengalami keadaan yang sama seperti Jeyoon. Jadi dia tahu apa yang Hyunsu rasakan.