Luka Dalam yang Disimpan Do Yun

1074 Kata
Do Yun terus memikirkan perkataan Joon Woo beberapa saat yang lalu. Haruskah dia pergi ke psikolog dan berusaha untuk menyembuhkan trauma. Setelah berpikir berkali-kali Do Yun akhirnya menerima bantuan Joon Woo. Hari ini Baek Jung memberikan Do Yun libur. Do Yun memanfaatkan hal itu untuk pergi ke psikolog. Do Yun tidak pergi sendiri karena Joon Woo menemaninya siang ini. Dia harus berbohong pada Baek Jung bahwa dia mendapat pekerjaan paruh waktu sebagai supir pengganti siang ini. “Jangan terlalu tegang, Do Yun. Semua akan baik-baik. Mereka tidak akan menggigitmu,” tukas Joon Woo mencoba menenangkan Do Yun. Do Yun tampak tegang dan anak itu menjadi pendiam sekarang. Dengan senyum kaku dia mengangguk. Mereka sudah berada di depan ruang tunggu menanti giliran Do Yun masuk. “Paman akan menemaniku kan?” tukas Do Yun dengan wajah khawatir. Joon woo mengangguk, “Tentu saja, aku tidak akan meninggalkanmu.” Ruangan itu bercat abu-abu dengan konsep yang sederhana. Wangi aromaterapi langsung tercium begitu Do Yun masuk ke ruangan . Seorang perempuan menyambutnya dengan senyuam. “Halo selamat datang,” sambutnya ramah. Joon Woo dan Do Yun tersenyum lalu memberikan salam. “Duduklah,” psikolog tersebut bernama Hain. Hain mempersilakan Do Yun dan Joon Woo duduk. Belum mulai bercerita saja telinga Do Yun memerah. Salah satu kebiasaan Do Yun saat dia sedang malu adalah telinganya memerah secara alami. “Bisakah kau beri tahu siapa namamu?” Hain menatap Do Yun dengan sangat lembut. Ini pertama kalinya Do Yun bertemu dengan psikolog. Sesi konsultasi harusnya berlangsung antara Do Yun dan Hain saja namun Hain mengizinkan Joon Woo mendampingi keponakannya karena Hain tahu pasti tidak mudah menceritakan apa yang Do Yun alami padanya. “Yoon Do Yun,” jawab Do Yun dengan singkat. Joon Woo kemudian menjelaskan pada Hain apa yang membuatnya membawa Do Yun ke sana. Do Yun tak berani mengangkat kepala.Setiap kali bertemu dengan orang yang baru pertama kali dia temui pasti dia merasa sangat malu. “Baiklah, Do Yun. Jangan anggap ini sebagai sesi konseling tapi anggap aku sebagai temanmu dan kita sedang bercerita sekarang. Do Yun, apa kau punya hal yang paling kau sukai?” Tanya Hain. Do yun tampak diam beberapa menit, “Mungkin seperti sebuah hobi. Apa kau punya hobi Do Yun?” Hain tampak memperlakukan Do Yun dengan baik. Dia tidak memaksa anak itu untuk bicara namun menuntunnya bicara pelan-pelan. Do Yun masih diam. Sulit baginya untuk menjawab apa yang paling dia sukai di dunia ini karena jawabannya adalah hal yang paling sering menyakitinya saat ini. “Jika tidak bisa menjawab tidak apa-apa, Do Yun,” ujar Joon Woo mengelus pundak Do Yun. Hain pun mengangguk, “Kau tidak perlu menjawab jika tidak ingin, Do Yun, mungkin aku---“ Hain bermaksud untuk mengganti pertanyaannya namun beberapa saat kemudian Do Yun membuka suara. “Aku suka bermain Drum.” Jawabnya dengan suara lemah. “Wah, benarkah. Kau hebat sekali Do Yun. Yang kudengar bermain drum sangat sulit. Bolehkah aku tahu kenapa kau menyukai drum?” tanya Hain. Joon Woo menatap Do Yun dengan tatapan bangga. Dia bisa melihat Do Yun bisa lebih terbuka pada Hain. Meski ini pertemuan pertama mereka namun Joon Woo yakin Do Yun bisa membaik nantinya. “Karena ayahku,” Ada nada bergetar ketika Do Yun menjawab pertanyaan  Hain, seperti sebuah luka lama yang pada akhirnya terbuka lagi karena pertanyaan Hain. “Apa kau baik-baik saja, Do Yun?” Hain bisa membaca raut wajah Do yun yang berubah. Anak itu tengah bergulat dengan pikirannya sendiri. Tangannya pun gemetar. Hain meraih tangan Do Yun dan menyalurkan rasa hangat dari sentuhan tangannya. “Jika itu berat, kau bisa menceritakannya padaku saat kau siap, mungkin sebaiknya kita sudahi saja sesi kali ini,” kata Hain lembut. Sebagai seorang psikolog Hain tahu bahwa Do Yun adalah sosok yang pemalu dan ini baru pertemuan pertamanya jadi wajar jika Do Yun tidak bisa membagikan semua ceritanya pada Hain. Joon Woo pun mengangguk. “Aku akan menceritakannya padamu,” jawaban itu meluncur begitu saja dari Do Yun. Joon Woo sudah membayar tiga puluh ribu won untuk konsultasi di sini selama dua jam dan mereka baru menghabiskan waktu tiga puluh menit. Do Yun tidak ingin  uang tersebut terbuang sia-sia. “Apa kau benar-benar siap, Do Yun?” tanya Hain. Do Yun mengangguk dia menegakkan posisi duduknya, “Baiklah aku akan mendengarkan ceritamu,” imbuh Hain. Do Yun berusaha mengendalikan tangannya yang bergetar. Anak itu ingin lepas dari semua rasa sakit yang dia alami. Dia ingin bebas dan bisa memegang kembali stik drum yang sangat dia sukai.Dia rindu momen saat dia bermain drum dengan senyum lebar di wajahnya. “Aku sangat menyukai drum sejak kecil. Ayahku adalah seorang musisi namun gagal di tengah jalan. Dia yang mengajariku bermain drum,” Joon Woo menatap wajah Do Yun dengan tegang. Do Yun sedang membuka sebuah luka yang tidak mudah dia katakan selama ini. Wajah anak itu tampak datar seperti tanpa emosi dan dia mengatakannya dengan sangat berani. Joon Woo mungkin akan lebih tenang jika Do Yun menangis sekarang namun anak itu seperti tengah menahan emosinya. “Ayahku mulai berubah saat bandnya gagal dan dia selalu minum tiap malam. Sejak saat itu dia sering memukuliku dan ibuku. Setiap kali mabuk Ayah selalu mengambil stik drum dan memukulku selama puluhan kali hingga stik drum itu patah. Teriakan ibu, suara stik drum yang patah itu terekam jelas di telingaku. Setiap kali aku berusaha menyentuh stik drum kembali, tubuhku gemetar. Aku selalu teringat apa yang dilakukan oleh ayahku, “ cerita panjang itu lolos dari bibir Do Yun. Mata Joon Woo berkaca-kaca dia bisa memahami perasaan keponakannya. Meski dia sangat pendiam namun Joon Woo tidak tahu bahwa Do Yun menyimpan luka seperti itu. “Do Yun, aku tahu bahwa ini tidak mudah bagimu. Terima kasih sudah menceritakan semuanya. Kamu kuat sekali Do Yun. Terima kasih sudah melewati masa-masa sulit sejauh ini.” Tukas Hain. Ini pertama kalinya dia mendengar kata-kata sehangat ini. Sebuah rasa bersalah kini menerkam hati Do Yun begitu saja. Bayangan di saat Do Yun menusukkan pisau ke perut Yoon Il Jung muncul begitu saja. “Kita akan melanjutkan---“ Belum sempat Hain meneruskan ucapannya. Do Yun menunduk dan menitikkan air mata. Bukan hanya itu Do Yun menangis dengan sangat kencang. Ini pertama kalinya Do Yun menangis sekencang itu. Joon Woo merengkuh tubuh Do Yun dan menyalurkan kehangatan di balik pelukannya. “Tidak apa-apa. Menangis saja, Do Yun,” ujarnya dengan lembut. Do Yun sudah melewati banyak hal selama ini. Anak itu berhak untuk menangis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN